x

Iklan

Ridhony Hutasoit

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tut Wuri Handayani, Quo Vadis?

Semboyan pahlawan bukan sekedar pelengkap logo. Semboyan pahlawan adalah relikui dan eksistensi perjuangannya yang terus hidup walau dirinya telah tiada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”  (di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan) adalah slogan yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara, seorang pahlawan bangsa dan negarawan yang telah mencerminkan sejatinya pendidik. Saya yakin, beliau sudah memikirkan bahwa pendidikan sebagai suatu sarana untuk memperoleh kemerdekaan utuh suatu bangsa. Bukan sekedar kemerdekaan fisik, melainkan jauh lebih dalam lagi kemerdekaan secara spirit. Kemerdekaan secara spirit dapat dicapai dengan rasa aman, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat di dalamnya. Hal ini sejalan dengan tujuan bernegara yang tertuang dalam UUD 1945.

Pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan bangsa. Salah satu ciri bangsa yang cerdas adalah ketika memiliki guru yang berkualitas. Kualitas guru bukan hanya soal bagaimana meramu ilmu untuk dapat dimengerti siswa, akan tetapi jauh lebih dalam lagi, guru yang berkualitas adalah guru yang mampu menggerakkan siswanya untuk dapat terus berkembang dalam hal nilai hidup dan karakter. Karakter adalah satu kekuatan dalam manusia untuk dapat meresponi diri dan lingkungan dengan terukur dan konsisten untuk etis. Karakter memandu manusia untuk tahan uji terhadap dan menjadi pemenang dalam perbagai tantangan kehidupan. Selain itu, karakter memiliki sisi “magis” yang dapat saling memengaruhi di luar dirinya untuk terinspirasi bahkan turut terduplikasi. Namun, pertanyaannya bagaimana siswa dapat berkarakter jikalau gurunya belum mencapai posisi karakter yang lebih untuk diteladani?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mutu Tunjangan Sertifikasi Guru

Tunjangan sertifikasi guru (TPG) adalah upaya yang lazim dari negara untuk menjamin sang guru dapat tercukupi kebutuhannya. Harapan besarnya, guru dapat fokus membina murid sampai dengan tuntas, baik kognitif, psikomotorik, hingga afektif. Sisi kognitif, guru sudah dibekali dengan silabus, buku pelajaran  atau referensi lain sehubungan dengan keilmuan yang akan ditranfer pada anak. Sedangkan psikomotorik, sarana olah raga termasuk metode pelatihan fisik dapat membantu siswa cekatan dan sehat jasmani. Nah, bagaimana dengan afektif. Suatu senyawa pendidikan yang perlu dicapai karena sisi afektif sangat dominan dalam menstimulus terbentuknya karakter. Afektif adalah hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, termasuk didalamnya menggelola perasaan tersebut. Pengelolaan perasaan akan membawa kepada suatu tindakan yang tepat dalam meresponi hal yang terjadi di luar diri anak. Namun pertanyaan sederhana, bagaimana afektif ini dapat dilatih jikalau sekolah menjadi tempat yang dienggani siswa untuk didatangi? Buktinya tidak sedikit siswa yang sangat gembira jikalau ada pengumuman libur, dan makin sukacita jikalau libur tersebut diperpanjang.

Masa kini, sekolah belum menjadi tempat yang mengasyikan untuk didatangani. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa datang ke sekolah hanya sebagai beban hidup. Sekolah belum dapat memikatkan hati siswanya. Apa penyebabnya? Tak lain adalah Guru.

Septinus George Saa adalah seorang anak kelahiran tanah Papua, tapi dia adalah anak kebanggaan Indonesia yang sanggup menjadi pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dengan makalah yang berjudul Infinite Tiangle and Heaxagonal Lattice Networks of Indentical Resistor. Fasilitas pendidikan di papua, termasuk kualitas guru di sana tentu belum sebaik dan selengkap di Pulau Jawa. Tapi mengapa dia dapat dengan brilian berprestasi seperti ini. Karena gurunya Prof. Yohanes Surya sudah berhasil mengafeksikan fisika dalam diri siswa SMU Negeri 3 Jayapura ini. Maka tak heran, ketika bercerita soal fisika, Saa akan dengan senang dan gembira menceritakan seluk beluk ilmu tersebut dari A-Z dan mengeluarkan segala daya untuk memahami dan mengembangkan ilmu tersebut, tanpa disuruh. Kehadiran Prof. Surya pun sebagai pengajar sepatutnya memberikan inspirasi bagi semua guru di Indonesia, bawa tidak ada satu pun murid/siswa yang bodoh, semua memiliki dimensi bakat dan keunikan diri masing-masing. Saya yakin hasil akhir yang cemelang ini memerlukan proses yang tidak mudah. Saya yakin Prof. Surya bertubi-tubi dalam melakukan investasi diri demi menjadikan Saa seseorang yang memiliki keterkaitan rasa dengan fisika. Investasi ini bukan sekedar dana, tapi juga waktu dan rasa yang dituangkan dalam kegigihan dan kesabaran yang dilalui hari demi hari. Jauh lebih dalam lagi, mengapa Prof. Surya mau melakukannya hingga menggapai tanah timur yang seringkali orang dari Pulau Jawa enggan ke sana? Saya yakin Prof. Surya sangat memahami rasa dalam panggilan dirinya sebagi seorang guru/pendidik. Tapi, pertanyaan selanjutnya sudahkah guru kita paham atas rasa dalam profesi/panggilannyanya hingga bisa segigih ini? Atau merujuk pada TPG tadi, sudahkah TPG membentuk guru yang gigih dan terfokus membina anak-anak didiknya, atau jangan-jangan terlena untuk mengurus kelengkapan administrasi TPG.

Sudah puluhan atau ratusan triliun negara menggelontorkan uang rakyat demi mencukupkan kebutuhan pembayaran TPG tersebut. Walau tidak bisa diipungkiri sering terlambat dalam pembayarannya. Keberadaan TPG perlu diperhatikan kembali, karena tidak sedikit oknum guru yang tergerus panggilan mulianya sebagai pendidik karena kehadiran sertifikasi ini. Tidak sedikit oknum guru yang berani melakukan manipulasi dokumen demi terpenuhinya syarat mengajar 24 jam seminggu agar memperoleh 100% TPG tersebut. Tidak sedikit oknum guru yang melepaskan diri atau lari dari pembinaan-pembinaan dalam rangka peningkatan kompetensi karena jika ikut tiga hari pembinaan saja dapat menyebabkan satu bulan TPG tidak diterima. Bahkan yang lebih miris lagi, tidak sedikit oknum guru yang telah menerima TPG, masih membuka les privat kepada anak didiknya demi meraup penghasilan lebih. Sungguh, esensi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa mulai sirna ditelan zaman sertifikasi ini.

Jujur, saya sering ikut dilema, ketika melihat perbedaan perjuang guru honorer dan guru PNS di daerahh yang telah menerima sertifikat penuh. Tidak jarang guru honorer malah yang lebih gigih berjuang, bahkan diperalat oleh Guru PNS tersebut untuk menggantikan dirinya mengajar di kelas. Bukan itu saja, saya makin mengelus dada ketika mendengarkan guru-guru yang berada di pelosok yang minim sarana dan minim gaji tapi tetap berbinar teguh ketika ditanya kennapa masih mau Mengajar. Misalnya seorang guru di suatu sekolah yang berlokasi jauh dalam perbatasan antarprovinsi merangkap menjadi kepala sekolah, bagian tata usah, dan pengajar dengan honor Rp300 ribu sebulan, bukan itu saja pembayaran honornya pun dirapel, lebih memiliki afeksi terhadap panggilan profesinya jika dibandingkan dengan guru-guru di kota besar telah cukup memiliki fasilitas dan tunjangan. Hal ini terlihat dalam satu dialog sederhana, ketika guru dipelosok tersebut ditanya mengapa masih mau menjadi guru? Dia hanya sederhana menjawab: “Kasihan anak-anak sini, kalau bukan saya siapa lagi”. Sedangkan guru-guru di kota besar, tidak jarang sibuk mencari cara agar TPG-nya cair dan mencari kedekatan dengan dinas terkait agar tidak dimutasi ke mana-mana.

Atau kasus lain yang pernah saya saksikan sendiri adalah seorang kepala sekolah di suatu Kabupaten. Sekolah ini terletak di gunung yang cukup terjal. Hingga ketika saya ke sana, saya agak takjub karena tidak ada rumah penduduk di sekitar sekolah. Saat itu saya sedang bertugas mengecek fisik pembangunan ruang kelas. Jujur saya sempat menduga bahwa pembangunan kelas tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi. Tapi, pembangunan kelas tersebut melampaui spesifikasi. Sangat rapi dan bagus, bahkan masih terdapat sisa dana dari pekerjaan swadaya tersebut yang digunakan kepala sekolah untuk memperbaiki kelas yang lain. Kondisi ini menjadi anomali karena sekolah-sekolah yang lain yang diperiksa umumnya tidak bersisa dan ada kurang sana sini.  Saat itu saya kagum dengan hasil pembangunan ruang kelas tersebut. Namun yang lebih kagum adalah pernyataannya ketika kami sudah masuk pada diskusi informal, dia berujar:

“Semua orang merasa kasihan ketika saya ditempatkan di sini pak karena saya kepala sekolah senior, bahkan banyak yang gak mau atau takut mutasi ke sini, tapi bagi saya anugerah pak, dan kalau bisa saya memilih tidak mutasi pak dari sini, karena walau jauh dari rumah di Batujajar, saya yakin di sini saya bisa jadi berkah.” (dengan bicara sambil campur berbahasa sunda).

 

Mendengar pernyataan ini,  benak saya kekaguman bahkan berubah menjadi keharuan tersendiri, karena saya masih menemukan pahlawan tanpa tanda jasa dan seorang pendidik sejati.

Jadi perlu rekoleksi, apakah tunjangan sertifikasi guru semakin membawa guru tetap mengarah kepada kemurnian panggilan sebagai pendidik dan agen pencerdas bangsa? Atau jangan-jangan meniup jauh sauh panggilan itu kepada kenyamanan kesejahteraan yang tersedia. Sekali lagi, sering kali dalam tatanan praktis, korelasi kesejahteraan seseorang ternyata memiliki dampak yang belum signifikan untuk memperkuat peran diri dalam suatu profesi. Lantas apakah salah pemberian TPG atau peningkatan kesejahteraan guru ini? Sama sekali tidak. Kesejahteraan sangat diperlukan dan merupakan wujud penghargaan bagi kinerja guru, tapi sangat besar harapan generasi penerus bangsa agar guru-gurunya tidak terfokus hanya untuk mengejar kesejahteraan belaka, kemudiian melupakan bahwa mendidik anak bukan sekedar meniinvestasikan waktu dan ilmu, melainkan realitas investasi rasa wajib tersedia di dalamnya.

Realitas inventasi rasa, akan muncul jika Guru memiliki rasa bangga dan bersyukur atas profesinya, hingga rasa yang kuat atas profesinya bahwa profesinya adalah perpanjanggan tangan Tuhan untuk menyejahterakan Bumi, karena melalui profesi ini akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa yang akan menciptakan perbagai kebajikan dan kebermanfaatan bagi banyak orang jika memimpin dengan integritas dan amanat. Rasa ini akan melahirkan ketulusan dan rela berkorban, misalnya ketika membuat alat peraga di luar silabus tanpa ada dana pengganti karena tahu apa yang akan dilakukan akan membuat anak fokus dan nyaman di kelas serta terinspirasi.

 

Peluang dan Tantangan Guru Masa Kini

Di sisi lain, peningkatan kesejahteraan guru ini, dijadikan peluang oleh oknum-oknum tertentu untuk semakin “mempersulit” guru untuk berkembang dalam karirnya. Sudah rahasia umum kalau kenaikan pangkat guru memerlukan setoran kepada pihak-pihak tertentu, termasuk pengurusan dokumen-dokumen terkait sertifikasi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Saya selalu yakin dalam dunia pendidikan ada  “tranfer energi yang tak terlihat” antara guru dan murid. Guru bukan saja sebagai sumber ilmu, melainkan guru adalah sumber replikasi karakter. Saat guru terbiasa untuk tidak jujur dalam penyelesaian dokumen sertifikasi, dipersulit untuk kenaikan pangkat sehingga “menyuap” pihak-pihak tertentu agar dapat diluluskan, hingga hati dan pikirannya tidak lagi terfokus pada panggilan profesinya melainkan terfokus pada dukumen-dukumen kelengkapan administrasi, bagaimana bisa atau punya kuasa untuk merevolusi karakter muridnya?  Itulah sebabnya keteladanan hidup guru menjadi penting, karena perlu diingat tidak jarang murid memperhatikan dan/atau menemukan sikap/karakter gurunya dalam kesunyian atau tanpa disadari oleh gurunya. Maka tak heran, anak-anak akan mampu membedakan mana guru yang tegas atau pura-pura tegas. Keteladanan hidup yang menjadi garis pemisahnya.  Keteladan melahirkan rasa untuk anak turut terbawa arus pembentukan karakter yang positif. Namun guru masih terjebak dalam “lingkaran setan” ini.

Pada aspek kebinekaan, Guru memiliki peran sebagai pemersatu bangsa yang strategis. Guru adalah penyalur ideologi bangsa yang paling efektif. Bagaimana tidak, hampir rata-rata 5 jam anak-anak bangsa per hari belajar bertemu dan berinteraksi dengan gurunya. Jikakalau saat ini muncul pribadi-pribadi yang ekstrim dalam suatu ideoogi yang bertentangan dengan Pancasila, maka yang perlu dievaluasi adalah gurunya. Apalagi masih ada oknum guru yang turut menyebarkan pembeda manusia/diskriminasi, antara kafir dan non kafir, atau antara pribumi dan non pribumi. Memang tidak bisa dipungkiri pendidikan dan pertumbuhan anak mayoritas dalam keluarga, namun perlu diingat, guru harus menjadi fasilitator antara ideologi kebangsaan dengan anak didik termasuk orang tua. Kondisi ini semakin menekankan pentingnya peran guru untuk mengenal anak hingga mengenal orang tuanya. Guru sepatutnya memiliki hubungan yang intens dengan orang tua. Guru seharusnya memiliki waktu kunjungan ke rumah-rumah murid dan memiliki rekam didik yang jelas atas anak didiknya. Know your Student menjadi hal yang penting untuk dilakukan oleh seorang guru.

Pengenalan yang komprehensif kepada anak didik termasuk orang tuanya akan membawa guru pada intuisi untuk out of the box thinking dalam menghasilkan terobosan untuk menyelesaikan permasalahan pribadi anak, termasuk mengapresiasi prestasi anak. Guru bukan hanya sekedar pemain utama dalam kelas, melainkan guru harus dapat memiliki peranan/pengaruh dalam keluarga anak, tanpa harus mencampuri urusan pribadi keluarga. Sering kali dalam dunia anak, orang tua memerlukan bimbingan atau sekedar rekan untuk mendengarkan “keluh kesah” saat mendidik anak.  Di sini peran guru perlu ada, selain menjadi sumber penjaga ideologi bangsa, peran guru dapat menjadi mediator antar permasalahan relasi antara orang tua dan anak. Nah, jikalau guru dapat melakukan hal ini, guru sudah tepat memahami rasa dalam panggilan/profesinya.

Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang utuh memadukan rasa yang melekat dalam profesi guru dan keberadaan anak didik. Pendidikan bukan hanya memainkan komponen kognitif, psikomotorik dan afektif yang terbatas hanya dalam kelas, melainkan afektif yang merengkuh ke dalam guru dan anak sebagai manusia. Perlu diingat, anak adalah bejana hidup yang memiliki keunikan dan bakat masing-masing yang penangangannya perlu melibatkan kepekaan rasa. Karena pendidikan tanpa dukungan rasa hanya akan menjadikan anak seperti “botol serupa” yang tuangkan dengan berbagai cairan agar penuh. Rasa inilah yang membuat ketertarikan anak untuk bangun dari tidurnya dan semangat pergi sekolah. Rasa ini juga yang dapat memacu serotonin anak untuk dapat mencintai mata pelajarannya. Rasa ini jugalah yang dapat mempengaruhi kelas untuk dapat berkolaborasi saling mengasahkan karakter. Rasa ibarat getaran yang terjadi antara dua garpu tala yang disejajarkan, karena jika satu garpu tala diketuk dan bergetar, maka garpu tala lainnya akan ikut bergetar juga. Rasa menjadikan pendidikan bukan sekedar arena unuk bersaing, melainkan arena untuk bermain dan berbagi. Masih jelas dalam ingatan saya, keterikatan rasa yang dibuat oleh wali kelas saya, baik melalui teladan, perhatian, dan semangat mengajarnya, membuat saya pernah punya cita-cita menjadi seorang guru.

 

 

 

Relikui Semboyan Kemendikbud

Jadi sebelum kita menyuarakan revolusi karakter anak didik, maka pembenahan guru dan rasa dalam profesinya harus direvolusi terlebih dahulu. Guru harus dapat menjadikan kelas atau sekolahnya sebagai ruang bermain, berinteraksi, dan sumber inspirasi yang menarik. Guru adalah terobosan masalah ini. Oleh sebab itu, dukungan kuat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus menjadi tonggak kekuatan guru untuk merealisasikan panggilan mulia ini.

Mengapa Kemendikbud menjadi tonggak kekuatan guru? Karena kemendikbud adalah sumber kebijakan pendidikan termasuk memiiliki peran sebagai pembina dan pengawas dalam pendidikan. Kemendikbud bukan pihak yang menjadi baris terdepan dalam mendidik anak, tetapi para guru, namum Kemendikbud pihak di belakang sebagai tempat berlindung dan sumber dorongan untuk setiap guru tetap setia menjalankan tugasnya. Khususnya guru-guru yang berada di daerah-daerah terpencil hingga daerah-daerah perbatasan. Kemendikbud harus berani merevolusi kebijakan manajemen guru saat ini. Kemendikbud harus berani keluar dari zona nyaman dengan cara melakukan pembenahan terhadap penilaian sertifikasi guru, pemberantasan punggutan liar sehubungan dengan hal-hal yang terkait dengan karir guru. Kemendikbud harus dapat mengeluarkan kebijakan atau peraturan terkait hubungan antara Kemendikbud dengan perangkat daerah yang menangani bidang pendidikan sehingga tidak ada pembeda guru antardaerah. Lebih dalam lagi Kemendikbud harus dapat menciptakan sistem pendidikan yang meletakkan investasi rasa sebagai bagian penting pendidikan, seperti kunjungan guru, rekam didik, hingga berbagai fasilitas agar anak didik dapat senang hadir di kelas dan tidak melulu mengidamkan liburan. Mungkin dengan cara inilah Kemendikbud tidak hanya menjadikan semboyan “tut wuri handayani” sekedar melengkapi penghargaan dan penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara, melainkan menjadi institusi kebanggan bangsa sebagai penerus perjuangannya agar Indonesia menuju kemerdekaan sejati salah satunya melalui kehidupan bangsa yang cerdas.

Oleh Ridhony Hutasoit

Ikuti tulisan menarik Ridhony Hutasoit lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler