x

Iklan

Wayan Agus Purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Ahok Kalah

Buzzer-buzzer adalah mereka yang populer namun tanpa akar. Di akar rumput tentu saja mereka kalah jumlah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada DKI Jakarta

Mengapa Ahok kalah? Berbagai analisis telah dikemukakan para pengamat politik.Saya ingin memberikan pandangan sederhana dan personal.

Pendukung Ahok terdiri dari kelas menengah, kelompok tengah cenderung liberal. Mereka umumnya kaum terdidik dan bermain sosial media. Nyaris mayoritas pesohor Twitter dengan puluhan ribu pengikut mendukung Ahok. Selebritis dalam arti sesungguhnya juga ada di barisan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di lingkaran buzzer Ahok, setidaknya saya lihat di Twitter, mereka menerapkan strategi total football, serang terus mereka yang berseberangan dengan Ahok.

Mereka terus menyerang kelompok Islam (konservatif) di sosial media. Efeknya, yang tersinggung bukan cuma yang konservatif, yang Islam moderat pun kena kepret. Jangan heran di putaran kedua, tim kampanye sibuk mendekatkan diri pada kelompok ini. Mulai dari peci hingga program umroh.

Buzzer-buzzer adalah mereka yang populer namun tanpa akar. Di akar rumput tentu saja mereka kalah jumlah. Buktinya, Ahok tersungkur. Saya kira, sebagian dari buzzer (jangan-jangan semua malah) ini awam berpolitik. Dalam politik, tidak bisa kita terus menerus menerapkan strategi pukul-pukul-pukul. Sebab, strategi pukul-pukul-pukul terus menerus bakal membawa geram. Pendukung Ahok mesti belajar dari Presiden Jokowi, yang sering menerapkan strategi pukul-rangkul. Setelah dipukul, harus dirangkul.

Itulah yang terjadi misalnya saat hubungan Ahok dengan Tempo memanas. Nyaris tidak ada upaya dari lingkaran inti Ahok untuk meneduhkan situasi. Mereka justru menerapkan strategi serang terus menerus, menjadi kompor, meninggikan tensi dan berupaya membangun demarkasi. Ketika Tempo membuat kesalahan, mereka membangun aneka propaganda dan berbagai prasangka.

Barangkali mereka lupa, Tempo itu organisasi yang terdiri dari banyak kepala. Ada banyak pendukung Ahok, dan juga sebaliknya banyak pula pendukung Anies. Saya termasuk orang yang suka dengan kinerja Ahok meskipun kemudian ada banyak kritik tentang caranya mengelola Jakarta.

Namun, serangan terus menerus lama-kelamaan membuat pendukung Ahok di Tempo jenuh, sekaligus berpikir ulang melabuhkan dukungan. Barangkali pendukung Ahok model ini lupa, warga Tempo pemilih Ahok ini punya keluarga, teman atau tetangga yang bisa dipengaruhi pilihan politiknya.

Politik membutuhkan kepala dingin, orang-orang yang luwes bergaul dan tentu saja tidak baperan. Lawan politik bukan musuh. Sebab, lawan dalam politik pada satu titik akan menjadi kawan dalam merebut satu kepentingan. Toh, tidak selamanya kita pasti bakalan berbeda dalam segala hal. Ketika kepentingan bertemu, saat itulah lawan menjadi kawan.

Di Jakarta, kota modern namun dengan kesenjangan menyedihkan, pertarungan politik tidak melulu soal-soal rasional. Mereka yang menang adalah mereka yang berhasil menyentuh sisi personal dan emosional pemilih. Dalam konteks Jakarta hari ini, hal itu bisa berupa politik identitas hingga perasaan kehilangan harapan.

Pada akhirnya, politik adalah kerja nyata di akar rumput, bukan pertarungan wacana dari jempol tangan. Di Jakarta, pemilih ada di kampung-kampung, bukan sekumpulan seleb Twitter yang nongkrong di Grand Indonesia atau Plaza Senayan. Ratusan ribu follower di Twitter tak ada artinya dengan Haji Lulung yang jumlah pemilih jauh lebih sedikit tapi konkrit. Itulah demokrasi.

Apa pun itu, selamat untuk Pak Anies dan tetap semangat untuk Pak Ahok. Dalam politik, Anda bisa mati berkali-kali.

Ikuti tulisan menarik Wayan Agus Purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler