x

Iklan

Wahyu Susilo

Executive Director of Migrant CARE
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kartini dan Perbudakan Modern ~ Wahyu Susilo

Ironisnya, apa yang terjadi, diamati, dialami, dan sekaligus dilawan Kartini pada masa itu masih berlangsung hingga saat ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wahyu Susilo

Direktur Eksekutif Migrant CARE

Dalam kolom di edisi khusus "Gelap-Terang Hidup Kartini" majalah Tempo, April 2013, sejarawan Hilmar Farid berandai-andai, bila Kartini mewujudkan impiannya bersekolah di Belanda, mungkin dia akan menjadi anggota Tweede Kamer--parlemen Belanda--mewakili kaum migran dari SDAP (Partai Sosial Demokrat Belanda). Pengandaian tersebut tentu tidak mengada-ada kalau kita teliti membaca korespondensi Kartini dengan kawan-kawannya dari Belanda yang kebanyakan berpendirian feminis dan sosialis (tepatnya sosial-demokrat).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa mewakili kaum migran? Dalam diri Kartini, yang terungkap dalam artikel dan surat-suratnya, mewujud sosok yang egaliter, internasionalis, dan tidak diskriminatif. Kartini memiliki legitimasi moral dan politik untuk mengartikulasikan aspirasi kaum migran di negara asalnya di koloni Belanda. Sayang sekali, Kartini tak jadi bersekolah di Negeri Kincir Angin.

Jauh sebelum tumbuhnya serikat-serikat buruh di Hindia Belanda, yang merupakan benih dari gerakan antikolonialisme, Kartini telah memikirkan bagaimana meningkatkan harkat hidup kaum buruh dengan meningkatkan pendidikan dan keterampilannya. Tak terbayangkan, di pengujung abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, ada seorang perempuan Jawa mengungkapkan ketertarikannya pada langkah-langkah penguatan serikat buruh dan pendidikan buruh yang diinisiasi oleh Arnold Toynbee. Ketertarikan tersebut terungkap dalam korespondensinya dengan Stella ketika Kartini menyebutkan adanya "Toynbee Work".

Di sisi lain, Kartini sangat menentang patriarki dan feodalisme, meski akhirnya kalah ketika melawan dua penopang utama eksploitasi terhadap perempuan-perempuan Jawa. Apa yang dilihat dan dialami Kartini adalah penundukan dan perbudakan kaum perempuan: pingitan, pemaksaan bekerja pada anak perempuan, perkawinan paksa, dan poligami.

Ironisnya, apa yang terjadi, diamati, dialami, dan sekaligus dilawan Kartini pada masa itu masih berlangsung hingga saat ini. Perlawanan Kartini terhadap penundukan dan perbudakan perempuan adalah sejarah perjuangan perempuan Indonesia, tapi praktik penundukan dan perbudakan itu belum menjadi sejarah, bahkan telah berubah menyesuaikan zaman menjadi bentuk perbudakan modern.

Dalam kamus hak asasi manusia dan hak-hak kaum pekerja, "perbudakan modern" merupakan terminologi populer praktik-praktik yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak bebas/merdeka sebagai pekerja. Praktik-praktik itu antara lain perdagangan manusia, pemaksaan anak untuk bekerja, eksploitasi seksual pada anak dan perempuan, perkawinan di bawah umur, serta penggunaan atau pemaksaan anak sebagai serdadu dalam konflik bersenjata.

Menurut catatan organisasi global melawan perbudakan modern, Walk Free, yang merilis laporan tahunan Global Slavery Index, sejak 2014 hingga 2016 Indonesia selalu masuk daftar 10 besar negara yang warganya terperangkap dalam praktik perbudakan modern. Mereka berada dalam situasi rentan ketika bekerja di sektor maritim (sebagai anak buah kapal), perkebunan sawit, dan rumah tangga.

Mengacu pada catatan kelam ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera bertindak untuk mengakhiri praktik perbudakan di sektor kelautan. Selain membentuk Satgas Anti-Mafia dan Perbudakan Kelautan dan Perikanan, Menteri Susi menyusun Rencana Aksi HAM Sektor Kelautan dan Perikanan. Langkah "Kartini Maritim Indonesia" ini tentu patut diapresiasi. Namun, di dua sektor lainnya, yakni perkebunan sawit dan rumah tangga, belum ada tindakan signifikan untuk mengakhiri perbudakan.

Alih-alih terjadi perbaikan praktik bisnis agar sehat dan ramah HAM di sektor perkebunan sawit, menguatnya isu perbudakan modern di sektor ini direspons secara reaksioner dan negatif oleh kalangan pengusaha serta pemerintah. Tudingan balik bahwa isu perbudakan modern di sektor sawit adalah kampanye negatif dalam persaingan bisnis bukanlah cara yang elegan, karena hal itu hanya merupakan apologia sesaat. Harus ada langkah strategis dan nyata untuk mengakhiri praktik perbudakan itu dengan benar-benar melakukan audit bisnis dan HAM yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk kalangan buruh, di sektor perkebunan sawit.

Di sektor rumah tangga juga belum ada langkah yang signifikan untuk mengakhiri perbudakan modern, baik yang mendera pekerja di dalam negeri maupun yang menjadi buruh migran di luar negeri. Tentu saja, sesuai dengan spirit perjuangan Kartini, jalan keluar yang harus diambil haruslah berlandaskan penghormatan terhadap hak-hak perempuan. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang sudah diusulkan lebih dari satu dekade lalu, masih berada di tumpukan bawah berkas Program Legislasi Nasional.

Nasib serupa dialami buruh migran. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran juga masih berpotensi mendiskriminasi dan membebani buruh migran. Mereka menuntut adanya perbaikan kondisi kerja di luar negeri dan tanggung jawab negara untuk melindungi. Namun kebijakan yang ada cenderung menghalangi mereka untuk bekerja ke luar negeri, dan justru mengembalikan mereka ke domestifikasi perempuan. Jika masih hidup, Kartini mungkin akan menggugat: jangan pingit mereka agar tidak bekerja, melainkan didik dan latih mereka agar terampil, sadar akan hak, dan berorganisasi.

Ikuti tulisan menarik Wahyu Susilo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB