x

Iklan

MardiyahChamim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah Badai Pilkada Berlalu

Sebuah diskusi yang menarik dan produktif, bersama Ian Wilson dan Marcus Mietzner. Tarik-ulur kelas, politik identitas, populisme di panggung Pilkada DKI

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Sebuah ajakan mampir di kotak pesan telepon saya. “Mbak, ayo diskusi, refleksi, curhat, sembuhkan diri dari luka-luka pilkada,” begitu bunyi pesan Ririn Sefsani dari Kemitraan. Saya langsung mengiyakan. Asyik. Akhirnya ada diskusi yang produktif, bukan sekadar baku hantam dan galau berjamaah di ruang media sosial. 

 

Sabtu siang, 22 April 2017, saya datang ke Sekolah Tinggi Hukum Jentera, tuan rumah siang itu. Judul diskusinya menggetarkan, Pilkada DKI Jakarta: Kelas, Identitas, dan Populisme Elektoral — sebuah tema yang mencerminkan tarik-ulur emosional dan babak-belur yang kita alami sedikitnya dalam setahun terakhir. Narasumber utama adalah Ian Wilson, Indonesianis dari Universitas Murdoch, Australia, yang menghabiskan tiga tahun terakhir meneliti kehidupan kampung-kampung miskin di Jakarta Utara. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ada dua puluh orang hadir dalam diskusi itu. Ada Marcus Mietzner dari ANU Australia, Philips Vermonte dan Christine Susana Tjhin dari CSIS, Yunus Husein, Megi Margiyono, Monica Tanuhandaru dan Ririn Sefsani dari Kemitraan, dan tentu tim tuan rumah yang keren, yakni Bivitri Susanti, Gita Putri Damayana, dan Eriyanto Nugroho. Saya rekam perbincangan gurih siang itu dalam tulisan ini.

 

Pertentangan Kelas 

 Ian Wilson membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan reflektif tentang polarisasi dalam Pilkada DKI. “Sering kali disebut bahwa pilkada ini adalah tes pada komitmen pluralisme. Apakah betul demikian? Apakah ini pernyataan hiperbolik?” Wilson kemudian menceritakan pengamatannya di kampung-kampung Jakarta dalam tiga tahun terakhir. Jakarta Utara dipilih Ian Wilson karena di wilayah inilah terjadi kontras hunian mewah dan perkampungan kumuh yang mencolok. Wilson mengingatkan, pengamatannya --meskipun intensif dan berlangsung tiga tahun--boleh jadi tidak mewakili keseluruhan gambar Jakarta karena hanya dilakukan di kampung-kampung di Jakarta Utara. 

 

“Tiga tahun lalu saat mengawali riset, sentimen etnik, identitas agama, tidak saya temui di kampung-kampung Jakarta,” kata Wilson. Ketika itu, Joko Widodo masih gubernur. Masyarakat antusias menyambut pendekatan Joko Widodo yang tiap hari blusukan ke kampung, masuk saluran air, berdialog dengan masyarakat. Ada harapan tumbuh, Jokowi dianggap sebagai politikus yang lain dari biasanya. Fokus perhatian penduduk adalah bagaimana mengurusi pencaharian, perekonomian, tak ada urusan soal identitas. Namun, perlahan-lahan, suasana berubah ketika Jokowi pergi ke Istana dan Basuki Tjahaja Purnama menduduki kursi Gubernur DKI. 

 

Perubahan lebih menguat muncul seiring dengan pola kebijakan Basuki yang blak-blakan dan tegas, kalau tidak bisa dibilang bertangan besi. “Ada 1.500-2.000 keluarga digusur setiap tahun. Kalau setiap keluarga, katakanlah rata-rata punya 10 orang pemilih, bisa dibayangkan akibatnya pada pemilihan,” kata Wilson. Di Kampung Akuarium, penduduk hanya diberi waktu sepuluh hari. Di Bukit Duri, proses gugatan ke PTUN juga diabaikan. Tak ada dialog. Tentara dan gas air mata dikerahkan. “Ahok ini meniru buku teks penggusuran ala Sutiyoso,” kata Wilson. 

 

Bagi kelas menengah yang mapan, penggusuran dianggap sebagai langkah penting untuk kepentingan publik, misalnya untuk normalisasi sungai. Namun, di level bawah, perasaan yang muncul adalah kenapa orang kecil yang dikorbankan. “Kelas menengah ke atas enteng saja bilang ini untuk kepentingan publik, karena bukan mereka yang dipaksa membayar.” Plaza Semanggi, banyak bangunan di Kemang, misalnya, melanggar tata ruang. Tapi mereka tak digusur dan cukup membayar kompensasi dan denda. “Ini berbeda sekali dengan pendekatan buat rakyat kecil di Kampung Akuarium, di Luar Batang, dan lain-lain.” 

 

Pada situasi seperti ini, celakanya, Balai Kota DKI susah dijangkau oleh orang kecil. Gubernur Basuki banyak mempertontonkan adegan marah-marah di youtube, pendukungnya menyebut aktivis yang mengadvokasi penggusuran sebagai penjual kemiskinan. “Media lebih banyak fokus pada pemberitaan pers conference di Balai Kota, bukannya datang ke lokasi-lokasi penggusuran. Buzzer sibuk membuat eufemisme bahwa itu bukan penggusuran tetapi relokasi,” kata Wilson. Partai politik, anggota legislatif, apalagi, tak ada yang mendatangi dan blusukan ke kampung-kampung.  Memang, ada organisasi seperti LBH Jakarta, Urban Poor Consortium (UPC), dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) yang mendampingi warga, namun jumlahnya sedikit dan tidak sebanding dengan kompleksitas Jakarta. “Bayangkan, kebuntuan dan suasana frustrasi yang dihadapi orang kecil.”

 

Sepanjang 2014-2017, Wilson mewawancara mendalam dan secara periodik lebih dari 100 keluarga. Dari waktu ke waktu, sentimen etnik dan identitas agama semakin menguat terungkap. Awalnya, orang tidak menyinggung soal pribumi, Tionghoa, dalam wawancara. Tapi, setelah Ahok menyebut mereka penghuni ilegal, kriminal, merugikan orang banyak, sentimen etnis jadi menguat. “Orang sakit hati disebut ilegal, bahkan kriminal, padahal sudah puluhan tahun mereka tinggal di situ.” Pendekatan ini jauh berbeda dengan yang dilakukan Joko Widodo saat menggusur penduduk di sekitar waduk Ria-Rio --yang terasa nguwongke, memanusiakan, karena warga diajak berdialog. “Warga bilang, mereka sebetulnya mau digusur, tapi jangan bilang mereka warga ilegal dan jalankan proses ganti rugi secara baik-baik.” 

 

Wilson juga mewawancara nelayan yang dipindahkan ke rumah susun, 25 kilometer jaraknya dari pantai. Keluarga nelayan ini harus menyisihkan uang tak sedikit untuk transportasi. Rumah susun itu memang nyaman, jauh lebih baik dari kondisi rumah mereka dulu. Tapi, di rumah susun diterapkan ketentuan tak boleh jualan makanan seperti di kampung. “Mereka bilang rumah susun itu seperti akuarium tanpa air. Pelan-pelan kami bisa mati,” kata Wilson, akademisi yang ulet dan pernah 10 tahun riset tentang kehidupan preman dan ormas di Jakarta. 

 

Di tengah situasi yang seperti menghadapi tembok buntu ini, kelompok-kelompok garis keras memanfaatkan situasi. “Mereka lakukan itu jauh sebelum kasus penistaan agama, dengan ayat Al Maidah, muncul.” Tiga tahun meneliti di kampung-kampung di Jakarta Utara, juga 10 tahun sebelumnya meneliti jaringan preman di Jakarta, membuat Ian Wilson yakin bahwa sebetulnya masyarakat umum tidaklah menyukai FPI. “Banyak yang benci sikap arogan FPI yang suka mengafirkan orang,” kata Wilson, “Tapi, satu hal yang patut dicatat: FPI ada di lapangan. Mereka ada di kampung-kampung dan mendengar curhat warga.” Tumbuhnya sentimen anti Cina, anti non muslim, gerakan ABAH (asal bukan Ahok) ini betul-betul dimanfaatkan FPI dan kelompok garis keras lain, jauh sebelum Anies-Sandi muncul sebagai kandidat melawan pasangan Ahok - Djarot. 

 

Demo 411, 212, yang menyedot perhatian nasional membuat rakyat yakin bahwa ada jalur alternatif menyampaikan dan mendesakkan aspirasi. Setelah semua jalur normal buntu, ke mana lagi mereka berpaling? Kegellisahan inilah yang ditangkap dan digunakan sebagai strategi oleh kubu Anies - Sandi, dengan Tim Oke-Oce yang rajin datang ke kampung-kampung. 

 

“Saya masih yakin, sebagian besar orang yang memilih Anies-Sandi memandang politik identitas sebagai tools, alat, dan bukan sebagai goal.” Ketika televisi menayangkan hasil hitung cepat yang memenangkan Anies, di kampung-kampung orang berangkulan dan bersorak-sorai. “Mereka senang bukan karena suka  Anies menang, tapi karena sosok Ahok yang dianggap menyengsarakan mereka telah tersingkir,” kata Wilson. 

 

Philips Vermonte dari CSIS mempertanyakan statemen Ian Wilson tentang ketidakpuasan kebijakan Ahok yang kemudian mengerucut pada politik identitas. Apabila memang betul masyarakat tidak puas, kenapa hal ini tidak tertangkap dalam berbagai survei? Philip bertanya, “Kenapa survei kepuasan kinerja Ahok mencapai 70 persen?” Pertanyaan yang kemudian dijawab sendiri oleh Philip. “Mungkin, survei-survei selama ini juga bias kelas menengah.” Gagal menangkap dinamika yang terjadi sebenarnya di lapangan, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah. 

 

Pemerintahan Ahok-Djarot pun tak luput dari kontroversi mengenai kualitas good governance. Umpamanya, penggunaan dana off budget (CSR dan dana kompensasi) untuk pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur kota. Di satu sisi, kata pendukungnya, jalur CSR dan kontribusi perusahaan ini adalah jurus jitu. Jalur ini dianggap sebagai jalan keluar bagi kebuntuan sistem anggaran yang kerap disandera proses politik dengan DPRD. 

Namun, tak sedikit yang  mengkritik soal penggunaan dana CSR dan dana kompensasi perusahaan ini. “Tidak ada proses diskusi publik, hanya berdasar keputusan eksekutif, yang sebetulnya menyalahi proses good governance,” kata Monica Tanuhandaru dari Kemitraan. Di Kalijodo, misalnya, terpampang papan nama Sinarmas yang sangat besar. Begitu pula di Jalan Diponegoro, ada papan nama Gajah Tunggal. "Buat saya ini tidak etis dan berlebihan," kata Monica. Di luar negeri, nama perusahaan penuyumbang cukup ditaruh di papan kecil. "Hal-hal semacam ini membuat pemerintahan terkesan dititipi agenda pengusaha."

 

Politik Identitas 

 Marcus Mietzner, akademisi dari Australian National University, sedikit berbeda membaca dinamika Pilkada DKI. Politik identitas memang benar memainkan peran penting, terutama di putaran kedua. Sejak awal, berbagai survei menegaskan bahwa ada 40 persen pemilih Jakarta yang tak akan memilih Ahok. Berbagai survei juga meneguhkan ada 35 persen pemilih Jakarta yang setia mencoblos Ahok. Pertarungan kedua kubu karenanya akan fokus bagaimana merebut suara 25 persen pemilih Jakarta. 

 

Putaran pertama, Ahok menang 42 persen. Nah, pada jeda antara putaran pertama dan kedua ini, Mietzner yakin, terjadi penguatan politik identitas, memainkan sentimen etnik dan agama. “Survei kepuasan kinerja Ahok menunjukkan 70 persen. Tinggi sekali. Tak ada di seluruh dunia ini politikus gagal terpilih kembali dengan tingkat kepuasan setinggi itu,” kata Mietzner. Politikus Amerika, misalnya, sudah cukup puas jika angka kepuasan kinerja menyentuh 30 persen, hebat sekali jika sampai 50 persen. Lalu, kenapa bisa Ahok gagal? “Saya yakin ini karena politik identitas.” 

 

Ketimpangan, rasa ketidakadilan, buruknya komunikasi politik kubu Ahok, memang memperparah situasi. Mungkin ini sebabnya selisih suara kubu Ahok - Anies lumayan lebar. Padahal, tadinya para pengamat yakin bahwa selisih suara bakal tipis dan ketat. 

 

Mietzner mengingatkan, politik identitas sebetulnya bukan praktik baru di Indonesia.  Pada masa pilkada 2012, Fauzi Bowo melawan Joko Widodo, sebetulnya politik identitas juga digunakan. Ketika itu Ahok, sebagai pasangan Joko Widodo, juga diserang dengan label kafir dan non muslim. “Jadi, jangan kita pura-pura bahwa politik identitas ini baru dan semua tiba-tiba terkejut,” kata Mieitzner.  

 

Sampai saat ini pun, menurutnya, belum ada kandidat dari etnis Cina yang berhasil memenangi pemilihan di daerah yang penduduknya mayoritas muslim seperti di Jakarta. Ada yang menang di daerah yang lebih heterogen, bukan daerah yang mayoritas muslim. “Saya yakin, tanpa kasus Al Maidah pun, politik identitas akan dimainkan dan Ahok akan kalah,” kata Mietzner. Tampaknya Mietzner benar, terutama di tengah situasi civil society yang masih seperti saat ini.

  

Masyarakat Madani 

 Masyarakat madani, civil society, yang berdaya adalah kunci mewujudkan situasi yang inklusif dan bhinneka. Sayangnya, panggung Pilkada DKI ini membuktikan bahwa masyarakat kita belum solid. Sehari sebelum diskusi, saya bertemu kawan lama yang curhat tentang bagaimana kubu Ahok bergerak di lapangan. 

 

Pada suatu kali, menurut teman saya ini, mari sebut namanya Dini, dia diminta memobilisasi ibu-ibu dari beberapa kampung di Jakarta. Kepada para ibu ini, Dini menjanjikan nantinya akan ada pembentukan koperasi yang membantu perekonomian warga. Kemudian, ibu-ibu diajak mendatangi sebuah acara bertema kebhinnekaan di sebuah hotel. 

 

Para ibu menumpang bus menuju hotel tempat acara. Beberapa selebritas duduk di panggung, membahas kebhinnekaan. Tak ada satu pun bahasan tentang koperasi atau bagaimana membantu perekonomian warga. Bahkan, tak sedikit pun sapaan dari para tokoh itu kepada ibu-ibu, apalagi kemauan mendengar apa problem keseharian yang dihadapi warga.  Acara seperti itu berulang dua kali, tetap tak ada pembahasan tentang koperasi. Pada undangan ketiga, Dini memutuskan tak lagi mengajak ibu-ibu itu datang. “Kasihan mereka, cuma jadi alat,” katanya. 

 

Di hari lain, di kampung ibu-ibu itu, datang Tim Oke Oce yang membawa perangkat, membuat workshop sederhana, dan menyediakan fasilitasi pemasaran produk home industry. Kita boleh berdebat kedalaman, bahkan membully, Oke Oce. Tapi, bagaimana pun, persoalan ekonomi dengan pendekatan praktis ala Oke Oce jauh lebih punya kekuatan dibanding  topik “merawat kebhinnekaan”. 

 

Megi Margiyono menambahkan hal yang senada. Tim Ahok sepertinya tersedot pada isu kebhinnekaan, kurang kreatif menampilkan isu lain seperti perekonomian, permukiman, dan lainnya. Akibatnya, tidak muncul perluasan diskusi dan audiens. Topik pembicaraan tentang Ahok, sayangnya, terfokus pada penistaan agama. Blusukan yang jadi keunggulan Joko Widodo ditinggalkan, dan jurus itulah yang kemudian diadopsi kubu Anies-Sandi. 

 

Ririn Sefsani, dari Kemitraan, menggarisbawahi tumpulnya kemampuan membaca persoalan yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Aktivis Jaringan Rakyat Miskin Kota pun sering kali kesulitan mengetuk pintu dan mengajak warga berbicara. “Ini karena terlalu sering kontrak politik dengan pemimpin diingkari. Mereka tak merasa perlu lagi berbicara,” kata Ririn.  Persoalan ekonomi, ketidakadilan, ketimpangan, tentu tidak pas jika direspon dengan isu kebhinnekaan tanpa menyinggung persoalan riil, misalnya persoalan ekonomi dan permukiman. 

 

Christine Susana Tjhin menambahkan, “Kita tampaknya gagal memotret keberagaman di dalam masyarakat, termasuk keberagaman di kalangan muslim sendiri. Kita cenderung simplistik untuk segala hal.” Kita dengan mudah memberi label kafir, pro pengusaha, untuk pendukung Ahok-Djarot. Label kaum bumi datar, intoleran, juga dengan mudah ditimpakan pada pendukung Anies-Sandi. Baku label ini terjadi dengan nada merendahkan, diperparah buzzer di kedua kubu.  

 

Simplifikasi ini berakibat menguatnya stereotyping pada etnis Cina, yang selama ini terus berusaha diperangi. Hal-hal baik yang dilakukan Ahok, terobosan seperti Kartu Jakarta Pintar, perluasan ruang hijau, juga inisiatid pembangunan rumah sakit khusus kanker, seperti tertutup dari pembahasan publik. “Sayang sekali, kan,” kata Christine. 

 

Jembatan yang Terbakar 

 Kini, badai pilkada sudah berlalu. Bagi gubernur dan wakil gubernur baru, tugas berat adalah melampaui, paling tidak menyamai, kerja keras Ahok. Partisipasi publik, dialog, inklusivitas, menjadi pekerjaan rumah harus dikerjakan Anies-Sandi. 

Pekerjaan rumah terbesar kita adalah bagaimana menjahit dan menyembuhkan luka-luka yang tertinggal. Marcus Meitzner yakin bahwa politik identitas masih akan laku di kalangan politikus. Termasuk di panggung pilpres 2019 yang hanya dua tahun lagi. “Apalagi jika Anies memutuskan maju ke pilpres, saya duga dia akan tetap menggunakan politik identitas seperti saat ini,” katanya. 

 

Namun, apabila Anies memutuskan tidak berlaga di 2019, dia masih bisa diharapkan berupaya membangun kembali jembatan yang sudah terbakar (atau sengaja dibakar demi mendulang suara) di masa kampanye. Jelas bukan PR yang mudah. “Di beberapa kasus, Joko Widodo bisa mengabaikan kemauan Megawati dan PDIP, Ridwan Kamil juga bisa tak selalu segaris dengan Gerindra. Jadi, saya berharap Anies tidak terseret agenda kelompok garis keras pendukungnya,” kata Philips Vermonte. 

 

Persoalannya, Mietzner mengingatkan, “Yang dihadapi Anies bukan sekadar partai politik, tapi kelompok garis keras.” Partai politik bagaimana pun adalah produk demokrasi, sedangkan kelompok garis keras bekerja dengan cara memaksakan kebenaran versi mereka sendiri. “Ini dua hal yang berbeda,” kata Mietzner.

 

Sore itu, saya bertanya kepada Ian Wilson tentang skala prioritas. Mana yang sebaiknya didahulukan, soal kebhinnekaan atau keadilan ekonomi. “Well, it is like chicken and egg,” katanya. Semata berfokus pada kebhinnekaan dan memaklumi ketimpangan, ketidakadilan, akan menjadi bumerang menyakitkan. “Itu yang kita lihat terjadi di Amerika hingga akhirnya orang memilih Trump.”  Tentu, terlalu dini untuk menyimpulkan akan ke mana garis pemerintahan Anies-Sandi. “Kita semua perlu mengawal dengan kritis.” (Mardiyah Chamim) ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik MardiyahChamim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler