x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Are We Ready for Our Second Life?

Behavioral Change for Leadership Growth:

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: A Journey to Significance  

Para leaders hebat mempersiapkan diri memasuki setiap cuaca dan membangun legacy.  

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Dalam satu encounter di sebuah gedung perkantoran berlantai 22 di Jakarta belum lama ini, saya bersama tiga gentlemen usia 65 - 70 tahun plus seorang lelaki sekitar 40 tahunan. Dari penampilan mereka, para senior tersebut adalah orang-orang yang sudah sangat mapan ekonominya. Dari bahasa dan pilihan kata, mereka menggambarkan memiliki status sosial tinggi.

Para bapak tersebut bicara dengan leluasa. Mereka tanpa sungkan-sungkan ngomong banyak hal, termasuk kehidupan pribadi.

Salah satunya, Mr. Chan, yang didampingi asistennya, si lelaki yang berusia 40 tahun tersebut, di tengah omongan santai itu mengatakan, “Sejak istri saya meninggal setahun lalu,  hidup terasa kosong, nggak tahu mau ngapain. Ketiga anak sudah mandiri, mengelola usaha masing-masing. Cucu-cucu semua di sekolah internasional di Jakarta. Mereka semua sibuk, hanya sekali-sekali datang. Setelah mereka pulang, saya seperti tergantung di awan, sepi….”

Di Jakarta, juga di kota-kota besar lain yang memungkinkan setiap orang yang bersungguh-sungguh dapat naik jenjang karir, berjabatan tinggi, atau sukses membangun usaha, cerita seperti dialami Mr. Chan (nama asli tersimpan) selalu bermunculan. Merasa seperti kehilangan tujuan hidup justru pada saat berjaya secara finansial, dengan status sosial terhormat.

Ada yang karena ditinggal pasangan, ada yang karena anggota keluarga terdekat meninggal, dan ada yang karena kehilangan kehangatan interaksi dengan sejawat. Bahkan ada yang karena memang tidak merencanakan apa saja yang akan mereka lakukan untuk tetap eksis, memiliki aktivitas bernilai tinggi, hidup dalam tatanan baru atau sesudah pensiun.

Para senior, seperti mantan pejabat, bekas CEO atau direksi perusahaan-perusahaan besar, umumnya gamang dan gagap menghadapi proses pergantian irama hidup. Di lingkungan keluarga atau masyarakat dengan melepaskan identitas yang selama ini melekat pada diri mereka memasuki realitas baru. Fakta semacam ini bisa kita dapati juga di negara-negara yang lebih maju.

Dalam buku Triggers (2015), Marshall Goldsmith menceritakan salah satu coaching engagement dengan CEO sebuah perusahaan besar di Eropa. Enam bulan lagi Mr. CEO akan masuk mandatory retirement, meninggalkan 60 ribu orang karyawan yang selama ini dipimpinnya.       

“Apa yang akan Anda lakukan setelah itu?” tanya Marshall Goldsmith.

I have no idea,” jawab Mr. CEO.

Marshall penasaran, “Kalau Anda tahu perusahaan dalam enam bulan lagi akan berubah dan memiliki para pelanggan baru, punya identitas baru, apakah Anda akan merencanakannya?”

“Tentulah,” kata Mr. CEO. “Betapa tidak bertanggungjawabnya kalau tidak.”

Marshall menukik lagi, “Lebih penting mana, perusahaan atau hidup Anda?”

Keberhasilan membangun karir, memimpin lembaga-lembaga penting, atau mengelola bisnis dan jaringan usaha,  bagi banyak orang merupakan tujuan hidup.  Mereka menjadi identified dengan jabatan,  keberhasilan, dan profesi.  

Mereka jadi korban dari niat-niat baik sendiri. Jabatan, kesuksesan, dan asset kemudian menjadi beban, liability.  Demikian mengikat, jadi alasan, excuses sekaligus pembenaran untuk mengelak tantangan atau pergeseran menjadi lebih baik dari level sekarang.

Banyak diantara mereka sangat menikmati  atau bahkan “sangat khusuk” memuja simbol-simbol kesuksesan, sepetti gelar, jabatan, pangkat, kendaraan super mewah, gaya hidup glamour, etc. 

Bahkan ada yang mengumpulkan sederet gelar kesarjanaan di belakang namanya, sementara di depan namanya sebenarnya sudah ada pangkat profesi yang terhormat, sesuai perjuangan dan prestasi.

Itu mengharukan. Soalnya, bagi yang tidak berprofesi mengajar di lembaga pendidikan tinggi, deretan gelar bisa jadi tragedi –  sering jadi bahan olok-olok di lingkungan akademisi.

Peluang untuk menjadi sosok lebih hebat, lebih memberikan manfaat bagi sesama dengan cara yang lebih elegan,  mereka tepiskan.  Golongan ini lupa, di balik kenyataan dalam dimensi saat ini, ada realitas lain yang punya potensi dapat memperkaya diri.

“To be de-identified” merupakan tantangan besar bagi banyak orang, termasuk (atau utamanya?) bagi para eksekutif puncak atau bos di lembaga-lembaga penting.  Melepaskan diri dari simbol-simbol, termasuk tampil dengan namanya sendiri secara utuh tanpa tanda jabatan, pangkat, atau pun gelar, membuat mereka kecut. Ibarat menempuh perjalanan di tengah hujan badai.

Barangkali mereka perlu mendalami kata-kata Vivian Greene, “Life is not about waiting for the storm to pass… it’s about learning how to dance in the rain.”

Bagi orang yang sudah menjalani rute meraih sukses, untuk naik derajat lebih tinggi lagi, memperbesar kontribusinya ke masyarakat, hanya perlu perubahan beberapa sikap dan perilaku.

Karena mereka umumnya mustahil memiliki imperfection di banyak segi. Kalau banyak kelemahan, mana mungkin dapat meraih posisi sekarang.  Mereka hanya perlu lebih bersyukur, berani melihat ke dalam diri, dan rendah hati mengakui ketidaksempurnaan.

Kecenderungan umum manusia adalah over prepared for the first half, under prepared for the second half – ini antara lain dituturkan oleh guru leadership dan manajemen kelas dunia Peter F. Drucker.

Kita umumnya berupaya keras masuk sekolah dan pendidikan terbaik, lulus dengan kategori A (kalau bisa kumlaud),  berkarir di lembaga yang dikenal unggul. Lalu dianggap berhasil dalam mengelola lembaga yang ikut kita pimpin. Seolah-olah selalu menang dalam pertempuran hampir di semua front.

Namun,  banyak yang kemudian seperti kehilangan peta saat menakhodai diri sendiri dalam perjuangan lebih besar,  membangun kehidupan yang lebih bermakna, memberikan kontribusi pada kehidupan bersama. Mr. Chan, pengusaha sukses yang selalu didampingi asisten itu, hanya salah satu contoh. 

Apakah untuk menjadi lebih berarti, memiliki clarity menemukan hidup baru dengan significance mesti  menunggu saat memasuki second half dari perjalanan hidup seseorang?

Menurut Anda bagaimana?

Tentu tidak harus menunggu second half, ya? Pertama, mudah-mudahan Anda setuju, siapa yang tahu kapan second half kita?  Kedua, membangun hidup lebih bermakna sebaiknya dibiasakan sejak saat kita mulai menyadarinya bahwa itu diperlukan untuk memperkuat eksistensi diri.

Untuk mendukung program tersebut, dalam kegiatan coaching saya membiasakan para clients menggunakan Balance Wheel, salah satu tool untuk mengukur keseimbangan hidup setiap minggu.

Berapa banyak waktu dan fokus diinvestasikan untuk keluarga, bisnis/perusahaan. Berapa banyak didedikasikan untuk aktivitas sosial, kesehatan fisik, kegiatan spiritual.

Lantas kapan sebaiknya mulai memberikan kontribusi kepada kehidupan banyak orang, mencapai significance, untuk membangun legacy? Saat paling tepat adalah sekarang.  

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting

Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB