x

Iklan

Hisyam(Kores Karawang) Luthfiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibu Bumi Bunuh Diri, Potret Hilangnya Sawah di Karawang

Seniman Karawang memotret alihfungsi lahan lewat sebuah drama satir. Ia menyindir petani yang kerap menjual sawah Ibu Bumi yang kecewa lalu bunuh diri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

INDONESIANA, Karawang - Malam itu, gedengan atau hamparan tempat menjemur padi di Sekolah Tani Organik Kaliaget disulap menjadi tempat pertunjukan. Latarnya adalah leuit atau bangunan tradisional tempat menyimpan padi. Terlihat

dua rancatan atau alat memikul padi, dipasang jadi ornamen, makin menguatkan nuansa kehidupan petani jaman dulu, di Desa Pasirawi, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Kamis, 20 April 2017.

Inilah pertunjukan teater sekelompok anak muda di Karawang. Mereka memasukan isu ketahanan pangan, kerusakan lingkungan dan sengketa lahan ke dalam lakon Ibu Bumi Bunuh Diri. Warga Rawamerta dilibatkan langsung, menjadi pemain dan penabuh gamelan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

***

Lampu di sudut gedengan itu tiba-tiba menyala. Diiringi musik gamelan hidup, seorang perempuan cantik berkebaya terlihat berdiri di dekat leuit. Ia adalah Ibu Bumi, representasi dari Dewi Sri atau Dewi Padi dalam tradisi masyarakat petani.

Endang Kahfi, sutradara pertunjukan itu menggambarkan Ibu Bumi memiliki enam anak, mereka adalah Udara, Akar, Rerumputan, Air, Matahari dan Petani.

Penonton tertawa saat adegan kelahiran enam anak Ibu bumi ke dunia. Dengan cara yang lucu, 6 orang aktor satu-persatu keluar dari sarung, tak jarang tingkah laku gokil-gokilan dan sinting-sintingan mereka peragakan. Sebagai dewi pelindung pertanian, Ibu Bumi dan anak-anaknya memang bertugas membantu petani.;

Penonton yang rata-rata penduduk desa di Rawamerta seolah diingatkan jika pertanian adalah pekerjaan bekerjasama, sinergi antara manusia dengan alam. Banyak adegan Ibu bumi, dan keenam anaknya membantu warga desa mulai dari menanam padi, hingga panen raya. Para pemain yang kebanyakan anak petani selalu terlihat lincah, energik dan cerdas. 

Keceriaan itu berlangsung hingga adegan panen raya. Musik gamelan yang riuh membuat penonton ikut menari. Bahkan para pemain mengajak penonton ke arena pertunjukan. Belasan gadis cilik larut dalam pesta itu mereka semua menari. Tak tanggung-tanggung dua turis asal Swiss, Joy Stekhoven dan Felix Boewing ditarik ke panggung untuk menari bersama.

Keceriaan warga desa mendadak lenyap ketika hasil panen mendadak buruk, padi mereka puso lantaran air sudah kena polusi dari pabrik-pabrik industri, walhasil Ibu Bumi menyekolahkan salah satu anaknya untuk  kuliah ke kota. Ibu Bumi dan semua anaknya sepakat memilih Rumput untuk sekolah ke kota. "Biar kami yang menjaga desa. Kamu cari ilmu ke kota dan ajari kami nanti. Jangan sia-siakan sawah dan hewan yang kami jual untuk biaya kuliahmu," pesan seorang petani kepada Rumput.

Endang Kahfi, sutradara pertunjukkan itu mengatakan, rumput dipilih sekolah ke kota lantaran ia bisa tumbuh di mana saja, tapi akan berbahaya jika tidak dirawat. "Artinya tanpa pendidikan dan akhlak yang baik, rumput akan tumbuh liar. Namun jika dididik dengan benar, rumput akan sedap dipandang mata. dibiarkan," ujar Endang.

Konflik muncul setelah Rumput pulang ke Rawamerta. Saat bertemu dengan kelima saudaranya, ia mendadak angkuh dan menjadi kurang akrab. Rumput sudah tak seperti dulu, kini ia memakai toga dan terlihat congkak.

Rumput menjadi berubah semenjak ia kenal dengan seorang pengusaha. Digambarkan sebagai perempuan cantik, pengusaha itu berhasil menggoda Rumput dengan bergepok -gepok uang. Mereka makin dekat ketika pengusaha tersebut ingin mendirikan pabrik dan perumahan di Rawamerta. Pelan-pelan mental cukong tumbuh pada diri Rumput, walhasil Rumput membujuk sejumlah petani desa untuk menjual sawahnya. Terdengar suara rumput membujuk para petani "Karena hasil panen tidak sebanding dengan pekerjaan petani yang berat. Ini uang banyak buat kamu asal kau jual sebagian sawahmu,"

Namun tidak semua petani terbujuk. Seorang petani cilik dengan lantang menolak menjual sawahnya. "Urang mah moal ngajual sawah dan urang mah darah patani (saya tidak akan menjual sawah karena saya darah petani)" Sosok ibu bumi muncul dan menasehati anak-anaknya. Terdengar suara lirih. "Besar kecil hasil panen petani harus tetap bersyukur,"

Endang, 23 tahun mengibaratkan pentasnya sebagai hiburan tradisional. Ia mengajak penonton yang mayoritas warga Desa Pasirawi untuk menertawakan diri mereka sendiri. "Untuk mengingatkan bahwa Pertanian di Karawang tidak sedang baik-baik saja. Rawamerta adalah garda terakhir pertanian, ketika Rawamerta ditembus oleh pabrik, sawah di Karawang akan semakin hilang," ujar Endang.

Dengan pentas ini, Endang mencoba menyajikan potret gejala alihfungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang. Lagu oray-orayan berkumandang dalam nuansa satire muram.

"Beusi-beusian ditancebkeun dina sawah, tong ka sawah sawahnage jadi imah,

Limbah-limbahan dikocorkeun kana leuwi, tong ka leuwi, leuwina oge jadi industri

Semen-semenan diawurkeun kana beton, tong ka kebon kebonna ge jadi beton.

(Berbagai besi ditancapkan ke sawah, jangan ke sawah, sawahnya sudah berubah jadi rumah

Macam-macam limbah dibuang ke sungai, jangan ke sungai, sungai sudah berubah milik industri

Macam-macam semen dituang dalam beton, jangan ke kebun kebunnya sudah jadi beton)"

Ekosistem sawah di desa itu diceritakan mulai memburuk. Sejumlah hewan yang berada di sawah pelan-pelan punah. Terlihat para pemain berdoa supaya alam tetap seimbang. Kemurungan tiba-tiba berganti dengan suasana seram. Tiba-tiba terdengar suara "Ular bukan musuh,"dari apanggung.

Para petani diingatkan ihwal peran ular di sawah, namun dengan cara ekstrim yaitu lewat atraksi ular. Penonton dibuat kaget dengan dua peti dan dua karung berisi ular. Dengan bergantian, seorang perempuan cantik diapit oleh dua lelaki bertato

menari bahkan berciuman dengan ular. Mereka menari bersama belasan jenis ular dari ular kobra sampai King Koros. Puncaknya penonton bergidik ngeri ketika tiga penari ular itu membiarkan lidahnya digigit ular. "Ini sangat mengerikan. Saya benar-benar tegang," kata Joy Stekhoven, seorang turis asal Swiss.

Penonton kembali tidak dibuat santai. Mereka disuguhi adegan perkelahian antara sekelompok centeng melawan petani desa. Endang memperlihatkan bahwa para cukong bisa menggunakan segala cara untuk menguasai lahan petani, termasuk dengan kekerasan. Belasan petani terkapar. Adegan memilukan terlihat saat seorang petani diberangus. Ia berteriak dengan lantang. "Nepi ka paeh aing moal ngajual sawah aing (Sampai mati, saya tidak akan menjual sawah milik saya)".

Saat semua mendadak kacau, sosok ibu bumi hadir. Ia muncul saat para petani terkapar, Lalu ia memberi pesan lewat sebuah sajak :

"Sujudlah pada awal penciptaan. Kasih kuberi selama ini, anakku kesatria padi, bukan beton atau besi. Hari ini kau ludahi bumi, maka kalian selamanya akan tersakiti," Setelah membaca sajak itu ibu bumi bunuh diri.

Adegan terakhir ditutup dengan adegan perkelahian. Saat ibu bumi mati, tiba tiba muncul sosok Badawang. Seorang pria bertopeng putih dengan tubuh jangkung memakai rumbai- rumbai. Ia diibaratkan sebagai murka bumi. Ia membantu para petani yang bangkit membuat perlawanan para centeng. Rumput, sang pengkhianat pun akhirnya dipasung. Sudah bisa ditebak, sang Rumput yang melihat ibu bumi sudah mati mendadak sadar akan kesalahannya. "Demi rupiah aku menjual sawah, maafkan aku ibu," Ia lalu menangis meraung-raung, menghampiri jenazah ibu bumi "Aku ingin menjadi anakmu, kembali menjadi petani,"

Penampilan lalu ditutup dengan kalimat yang biasa para petani ucapkan pada anak-anak meraka. "Wahai para generasi, hayu urang melak deui (Wahai para generasi mari kita menanam lagi)"

HISYAM LUTHFIANA

Ikuti tulisan menarik Hisyam(Kores Karawang) Luthfiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler