x

Cara Baru Pembiayaan Vaksinasi

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cara Baru Pembiayaan Vaksinasi

Tingkat cakupan vaksinasi nasional Indonesiana masih lebih rendah daripada tingkat cakupan global.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.

Perawatan rumah sakit di Jakarta, Bali, dan Yogyakarta memakan biaya US$ 340-530 per pasien, hampir setara dengan pendapatan satu keluarga sebulan. Pada September 2016, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyetujui agar vaksin demam berdarah dapat tersedia luas di pasaran.

Hanya, Indonesia masih memiliki tingkat cakupan vaksinasi nasional yang lebih rendah daripada tingkat cakupan vaksinasi global. Sistem penyediaan vaksin terhambat oleh beberapa kendala, termasuk sarana-prasarana kesehatan publik yang terbatas dan reaksi publik yang beragam terhadap kampanye imunisasi setelah skandal vaksin palsu yang terjadi baru-baru ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tantangan utama lain adalah biaya. Meskipun biaya untuk delapan vaksin wajib dalam Program Imunisasi Indonesia ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional, vaksin untuk penyakit yang tidak termasuk dalam program tersebut, seperti demam berdarah, harus dibeli sendiri oleh pasien, yang harganya tak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Menurut laporan WHO tahun 2016, pemerintah Indonesia mendanai 83 persen dari total pengeluaran imunisasi rutin. Sedangkan donor eksternal, seperti Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), mendanai sisanya. Tapi, sejak tumbuh menjadi negara dengan tingkat penghasilan menengah, Indonesia bertekad melepaskan diri dari ketergantungan terhadap GAVI dan mencapai pendanaan mandiri pada 2018.

Saat ini, Indonesia mengalami kasus demam berdarah tertinggi per tahun di Asia Tenggara, meskipun biaya vaksinasinya hanya sekitar US$ 26 juta, atau 8 persen dari biaya setiap tahun untuk penyakit ini. Kesenjangan pendanaan dapat mengakibatkan gangguan lebih besar terhadap imunisasi terjadwal dan bahkan menambah jumlah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.

Milken Institute Asia menganalisis model-model potensial untuk mengatasi kendala penyediaan vaksin. Dalam lokakarya pada Juli 2016 oleh lembaga ini, praktisi kesehatan membahas sumber dana baru dan peningkatan kekuatan pendanaan sektor publik untuk menarik investor swasta, misalnya dana pengadaan terkumpul, obligasi dampak pembangunan, dan program bantuan langsung tunai bersyarat. Informasi lebih rinci tentang solusi yang dibahas tersedia dalam laporan "Model-model Pembiayaan Baru untuk Program Vaksinasi di Asia Tenggara" (Desember 2016).

Dana gabungan melibatkan sumber publik dan swasta untuk membuat pendanaan yang berkelanjutan buat vaksin baru. Lembaga donor, seperti badan atau yayasan bilateral ataupun multilateral, akan memberikan dana awal. Perusahaan lokal kemudian memberikan jumlah donasi yang sama melalui program tanggung jawab sosial mereka. Selain komitmen pendanaan, donor dapat memanfaatkan daya tawar secara kolektif untuk mengakses pasokan vaksin baru yang stabil dengan biaya lebih rendah.

Model obligasi dampak pembangunan dapat digunakan untuk mengatasi kurangnya petugas kesehatan. Dengan model ini, investor memberikan dananya kepada pihak perantara, seperti UNICEF, agar memberikan hibah untuk program pelatihan dan retensi petugas kesehatan. Pihak yang mendapat manfaat dari penyediaan pelayanan vaksin yang lebih efektif, seperti pemerintah, lalu memberikan sebagian pengeluaran yang berhasil dihemat kembali ke investor. Model ini bermanfaat bila kita dapat mengukur keterkaitan antara intervensi dan penghematan. Tantangannya ada pada bagaimana melakukan mitigasi risiko yang harus ditanggung investor jika programnya tidak berhasil.

Program bantuan langsung tunai bersyarat memberikan pembayaran tunai atau natura dalam bentuk bahan pangan pokok kepada keluarga yang membawa anak mereka untuk divaksin. Jenis kampanye ini, yang dilakukan oleh pemerintah dan industri, dapat meningkatkan kesadaran dan kepercayaan publik terhadap manfaat vaksinasi. Program seperti ini memberikan insentif kepada keluarga untuk terlibat dalam upaya perubahan perilaku sehingga memiliki dampak positif jangka panjang bagi kesehatan anak dan berpotensi memperbaiki keseluruhan situasi sosio-ekonomi keluarga. Mempertahankan program seperti ini dapat menghadapi tantangan finansial dan harus mempertimbangkan sensitivitas budaya untuk mencegah gangguan terhadap tradisi lokal.

Sumber baru pembiayaan vaksin adalah kebutuhan yang mendesak. Persetujuan pemerintah atas vaksin demam berdarah bisa menjadi katalis. Sumber pembiayaan baru dan berkelanjutan diperlukan untuk membuka jalan agar vaksin dapat diakses oleh seluruh masyarakat.

Oleh:

Belinda Chng

Direktur Kebijakan dan Program Milken Institute Asia

Lena Sun

Princeton-in-Asia Fellow di Milken Institute Asia

Jarir At-Thobari

Dosen Fakultas Kedokteran UGM

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 25 April 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu