x

Kartini, Feminis dari Balik Tembok

Iklan

Husein Jafar Al Hadar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Spiritualitas Kartini

Refleksi teologis Kartini tercecer dalam surat-suratnya pada periode 1899-1903.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kartini, perempuan pada pengujung abad ke-19, ketika masyarakat muslim Indonesia belum tersentuh gagasan pembaruan Islam, telah memukau melalui surat-surat tentang dirinya (sebagai wanita). Namun dia juga menyimpan pesona lain: refleksi tentang Tuhan-iman dalam visi dan sifatnya yang paling orisinal: membebaskan serta memajukan.

Refleksi teologis itu memang sepotong-sepotong dan tercecer dalam surat-suratnya pada periode 1899-1903. Namun ada sebuah benang merah.

Refleksi Kartini tentang Tuhan adalah bagian dari konstruksi utama pemikirannya tentang gender dan pendidikan. Ia menggugat manusia, yang entah bagaimana, bisa bertuhan tapi tak berkemanusiaan. Alih-alih, sebagaimana digugat Kartini dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899: "Agama (yang) harus menjaga kita dari dosa, tapi (justru) berapa banyak dosa diperbuat oleh orang atas nama agama?"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kartini membangun refleksinya atas diktum monoteisme, sebagaimana diungkap dalam suratnya bertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny Van Kol. Dalam konteks monoteisme, di surat bertanggal 20 Agustus 1902, Kartini membangun sebuah tesis hasil elaborasi dengan apa yang populer di masyarakat religius saat itu dengan istilah "kecemburuan Tuhan". Bagi Kartini, lantaran Dia Esa, maka Dia Pencemburu.

Namun, tulis Kartini, betapa pun Dia kecewa dan menghukum mereka yang menyekutukan-Nya, itu lantaran kasih-Nya. "Ah, sekiranya peringatan itu dipahami secara lebih baik, alangkah banyak penderitaan pahit yang bisa dihindari oleh umat manusia," kata Kartini.

Kartini menegaskan bahwa Dia cemburu lantaran tak ingin manusia menyembah selain yang pantas disembah. Sebab, itu akan menyisakan tata kehidupan yang tak egaliter dan tak bebas. Tuhan yang diciptakan-bukan menciptakan-niscaya sebuah selubung egoisme dan strategi manusia yang hendak mencandu dan memperbudak manusia lain atas nama-Nya. "Jalan pada Allah dan jalan ke arah kebebasan sejati hanyalah satu," tulis Kartini dalam surat bertanggal Oktober 1900 kepada Ny M.C.E. Ovink Soer.

Dalam konteks itu, kita dapatkan rangkaiannya dalam surat Kartini kepada Dr N. Adriani bahwa kecemburuan Tuhan bukan kemudian menjadi legitimasi bagi egoisme agamawan dengan menjadikannya argumen akan restu Tuhan pada satu agama. Bagi Kartini, Tuhan Yang Maha Esa itulah yang dipahami, dihayati, bahkan dipanggil dengan "nama" berbeda-beda oleh tradisi agama-agama. "Yang Tuan namakan Tuhan dan kami sebut Allah," tulisnya.

Imannya sangat luas menerima perbedaan ekspresi agama dalam mengimani Tuhan. Ia tak punya masalah dengan itu, sembari teguh pada imannya. Ia masuk ke kedalaman "samudra" tauhid dan mengelaborasi ekspresi kebertuhanan dalam kehidupan sosial: aku ber-Tuhan, maka aku berkemanusiaan.

Tanpa menafikan Tuhan sebagai "Yang Mahakuasa", sebagaimana dia tulis pada satu-dua suratnya, Kartini memilih untuk memberi titik tekan dan merayakan keberimanan akan Tuhan sebagai "Yang Pengasih dan Penyayang". Yang pertama adalah aspek jalaliyah (maskulin) dan yang terakhir adalah aspek jamaliyah (feminin) Tuhan.

Titik tekan pada aspek jamaliyah ini bisa dipahami lantaran relevansi dan kontekstualisasi dengan bangunan pergolakan pemikiran Kartini secara umum dalam ranah feminisme. Karena itu, Tuhan dalam ke-jamaliyah-an itu disebutkan hampir di semua suratnya yang bernuansa religius. Bagi Kartini, aspek jamaliyah Tuhan itu membawanya pada hubungan dia yang intim dengan Tuhan, sehingga ia menyebut-Nya dengan sebutan-sebutan yang intim pula: Seseorang (Iemand), Bapa, Cahaya, dan Kata Hati atau Kata Nurani (Geweten atau Conscience).

Ketika Kartini menghayati Tuhan sebagai Kata Nurani, itu sebuah refleksi etis. Ia bertolak dari kekesalannya terhadap etika agamawan yang harus dipatuhi tanpa pengetahuan atau tanya. Karena itu, misalnya, ia mendesak untuk mendapatkan Al-Quran terjemahan. Baginya, apa arti etika yang dijalani tanpa pengetahuan, apalagi kesadaran, layaknya seorang budak atas tuannya. Ia memilih menghayati hati nuraninya sebagai instansi untuk mengukur benar-salah, baik-buruk, surga-neraka. Baginya, hati nurani adalah "rumah"-Nya.

Dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 kepada E.C. Abendanon, ia menulis: "Lama benar dan jauh benar kami mencari. Kami tidak tahu bahwa apa yang kami cari begitu dekat dengan kami, selalu di sekeliling kami, dan ada pada kami. Yang kami cari ada dalam diri kami." Ini sesuatu yang mengingatkan kita pada ungkapan sufi Jalaluddin Rumi bahwa ia mencari Tuhan di rumah-rumah ibadah, tapi tak menemukan-Nya lantaran Dia justru "bersemayam" dalam dirinya.

Refleksi Kartini tentang Tuhan mengingatkan kita pada syair Persia dan Turki yang populer di kalangan sufi, seperti dikutip Annemarie Schimmel dalam Jiwaku Adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam: "Tidak semua wanita adalah wanita/Tak semua pria adalah pria/Tuhan tidak menyamakan jari-jari dari satu tangan." Bagi orang beriman yang sejati, tulis Schimmel, tak ada perbedaan pria dan wanita dalam menyangkut cinta Tuhan.

Oleh: Husein Ja’far Al Hadar

Mahasiswa Tafsir Quran Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 26 April 2017

Ikuti tulisan menarik Husein Jafar Al Hadar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler