x

Iklan

TechnoArt University

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pecinta Alam Telkom University Kenang Hari Bumi

Sarasehan dimaksudkan sebagai bentuk perenungan bahwa menjaga ekosistem alam sudah sangat prioritas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bandung, (26/4) - Ratusan mahasiswa dan masyarakat penggiat konservasi dari berbagai daerah berkumpul di Gedung Manterawu Telkom University dalam helatan Sarasehan Nasional Pencinta Alam (SNPA), gelaran tersebut sekaligus sebagai renungan khidmat dalam rangka memperingati Hari Bumi yang jatuh pada 22 April setiap tahunnya.

“Salah satu tujuan kegiatan ini untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi kritis ekosistem saat ini khususnya di pulau Jawa kepada pencinta alam maupun aktivis konservasi dan lingkungan agar dapat menjalin kerja sama yang sinergis dan berkelanjutan dalam berperan menyelamatkan dan memulihkan ekosistem” jelas Ketua Pelaksana Niken Galuh Ramadhani, Rabu (26/4). 

Niken menjelaskan, SNPA ini merupakan kegiatan yang akan dilaksanakan secara rutin oleh Astacala, perhimpunan mahasiswa pecinta alam Telkom University. berawal dari ide reuni anggota Ekspedisi Harimau Jawa yang dilakukan 20 tahun silam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melalui tema “Pencinta Alam Menyelamatkan dan Memulihkan Ekosistem Pulau Jawa, diharapkan muncul kesadaran pencinta alam untuk segera beraksi merumuskan gagasan-gagasan konkret yang dapat direalisasikan dalam menyelamatkan dan memulihkan ekosistem. Niken menyebutkan kegiatan sarasehan pencinta alam terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu diskusi panel, workshop dan pemutaran film dokumenter, yang berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 20.00 WIB.

Dalam sesi diskusi panel Astacala menghadirkan narasumber dari Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor (PDLKWS), Wahyu Giri selaku salah satu peneliti dalam Ekspedisi Harimau Jawa, Rosdi Bahtiar Martadi dari Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL), dan Eko Teguh Paripurno selaku Presidium Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), serta moderator oleh Siti Maimunah yang merupakan mantan Koordinator Nasional JATAM dan peneliti dari Sajogyo Institute.

Dalam pemaparan pertama oleh Sasmita Nugroho dari PDLKWS, Ia memamparkan keadaan ekosistem Jawa saat ini yang sebenarnya sudah tak layak lagi dihuni berdasarkan pendekatan hidrologi. “Ketersediaan air di Jawa sudah sangat timpang antara kebutuhan dan ketersediannya” jelas Sasmita Nugroho.

Selanjutnya, Wahyu Giri atau yang akrab disapa Cak Giri, menjelaskan peran penting karnivor sebagai puncak rantai makanan dalam menjaga keberlangsungan ekosistem. Ia menceritakan pengalamannya berjuang bersama tim Ekspedisi Harimau Jawa untuk membuktikan keberadaan Harimau Jawa (panthera tigris sondaica) yang telah dinyatakan punah oleh WWF pada tahun 1996.

Selain itu, Ia juga menambahkan bahwa ada indikasi kekeliruan dalam menyatakan punah Harimau Jawa. ”Sebuah spesies dinyatakan punah jika dia tidak ditemukan selama 2 kali jumlah masa hidupnya dengan penelitian intensif” kata Wahyu Giri menambahkan.

Menurutnya, Harimau Jawa yang memiliki masa hidup hingga 25 tahun, membutuhkan waktu 50 tahun untuk dinyatakan punah. Tercatat Harimau Jawa terakhir yang terlihat, berdasarkan penelitian Steidensticker & Soejono, adalah pada tahun 1976. Itu berarti pada tahun 2026 Harimau Jawa baru layak dinyatakan punah.

Sementara itu, Rosdi Bahtiar Martadi juga ikut menambahkan bagaimana ketika suatu spesies langka dinyatakan punah di suatu kawasan konservasi, pemerintah dapat dengan mudah menurunkan status kawasan tersebut menjadi kawasan produksi. Seperti yang terjadi di Tumpang Pitu saat ini, kawasan yang berjarak 4 km dari Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sedang mengalami kisruh mengenai rencana pembukaan lahan penambangan emas.

“Padahal dalam kajian AMDAL tertuang bahwa kawasan Tumpang Pitu di dalamnya terdapat habitat bagi Macan Tutul Jawa yang statusnya kini terancam” kata Rosdi Bahtiar Martadi.

Di sisi lain, Eko Teguh Paripurno memaparkan belakangan keterdesakan manusia untuk memenuhi kebutuhan menjadikan manusia makin gencar melakukan ekspolitasi alam. Asas keserasian dan kesetimbangan ditinggalkan. “Dan, kita, pencinta alam, disadarai atau tidak, sebenarnya telah jauh hari memahami kebutuhan akan perlunya kseselarasan alam dan keselarasan lingkungan” tutupnya.[]

Aleksander Vilmo

Ikuti tulisan menarik TechnoArt University lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler