x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dr. Oen - Bukan Sekedar Dokter Dermawan tetapi Juga Pejuang

Kisah perjuangan Dr. Oen sebagai seorang pejuang pergerakan kemerdekaan RI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dr. Oen – Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil

Penulis: Ravando

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: xxxii + 272

ISBN: 978-602-412-205-8

 

Orang Solo khususnya dan Indonesia pada umumnya pasti kenal dengan Dr. Oen. Beliau adalah seorang dokter Dermawan di Kota Solo. Namanya diabadikan sebagai nama tiga rumah sakit swasta di Kota Solo, Rumah Sakit Dr. Oen. Satu rumah sakit berada di Kampung Kandangsapi, dan satu rumah sakit ada di kompleks Solo Baru dan satu rumah sakit di Kecamatan Sawit di Kabupaten Boyolali.

Meski telah banyak yang tahu bahwa beliau adalah seorang dokter yang tidak meminta bayaran dari para pasiennya, namun tak banyak yang tahu bahwa beliau adalah juga seorang pejuang kemerdekaan. Buku yang ditulis oleh Ravando ini memberikan banyak informasi tentang kiprah Dr. Oen sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Ravando menggunakan setidaknya 100 halaman (dari halaman 13 – 112) untuk menggambarkan peran Dr. Oen dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Tapi, sebelum membahas peran Dr. Oen dalam pergerakan kemerdekaan, baiklah kita tengok kembali peran Dr. Oen sebagai seorang dokter dermawan. Seorang dokter yang berkarya di Kota Solo, di Rumah Sakit Panti Kosala, sekaligus sebagai dokter Mangkunegaran. Dokter yang memulai praktik pada jam 3 pagi ini memang dikenal sebagai dokter yang dermawan. Siapa saja yang datang kepadanya akan dilayaninya. Bahkan seringkali Dr. oen menggratiskan biaya obat-obatan yang dirogoh dari koceknya sendiri. Tidak jarang beliau juga memberikan ongkos sekadarnya bagi si pasien untuk naik becak atau bus umum (hal. 138). “Tugas seorang dokter hanyalah menyembuhkan orang sakit, tiada lain,” ucapnya. Artinya beliau tidak memperdulikan apakah orang tersebut bisa membayar jasanya atau tidak; apakah ia orang baik atau orang jahat; apakah ia Cina, Jawa, Arab atau etnis lainnya. Siapapun yang sakit harus dilayani untuk disembuhkan.

Dr. Oen memulai karier dokternya di Kediri. Di sanalah ia bertemu dengan istri yang mendampinginya sampai akhir hayat. Ia sempat mengelola klinik pengobatan Tsi Sheng Yuan yang kemudian berubah nama menjadi Panti Kosala di Kota Solo. Klinik Tsi Sheng Yuan sendiri awalnya adalah klinik yang didirikan oleh perkumpulan orang Tionghoa di Solo pada tahun 1933 (hal. 180). Klinik inilah yang menjadi cikal bakal tiga rumah sakit yang menyandang nama Dr. Oen.

Dr. Oen adalah dokter Pura Mangkunegaran. Ia menjadi dokter pribadi Mangkunegoro VII sejak tahun 1944. Bahkan ia sempat meminta supaya boleh mengangkat putra Mangkunegoro VIII sebagai anaknya. Bayi yang diberi nama Wu Yi Sujiwo itu lahir di tangan Dr. Oen. Nama Wu Yi adalah nama yang diberikan oleh Dr. Oen kepada putra Mangkunegoro VIII yang akhirnya menjadi Mangkunegoro IX (hal 142). Meski pada akhirnya Wu Yi Sujiwo tidak jadi secara resmi menjadi anak Dr. Oen, namun hubungan mereka berdua tetaplah seperti ayah dan anak. Hubungan dengan Pura Mangkunegaran ini menunjukkan bahwa Dr. Oen tidak membeda-bedakan suku dalam bermasyarakat.

Keterlibatan Dr. Oen Boen Ing dalam pergerakan kemerdekaan tak lepas dari posisinya sebagai mahasiswa STOVIA. Sekolah kedokteran ini bukan saja menghasilkan lulusan di bidang kedokteran, tetapi juga menjadi tempat penyemaian pemikiran kritis tentang nasionalisme. Sekolah kedokteran ini memang telah menghasilkan banyak tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Bahkan banyak dari eks mahasiswa STOVIA, baik yang lulus maupun yang tidak lulus menjadi tokoh pergerakan. Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantoro, Dr. Moewardi, Dr. Aboe Hanifah, Moeh. Roem adalah nama-nama tokoh pergerakan yang pernah mengenyam pendidikan di STOVIA.

Terinspirasi oleh revolusi di Tiongkok para pemuda Tionghoa peranakan di Hindia Belanda mulai tertarik untuk berorganisasi. Para Tionghoa peranakan ini mendirikan organisasi-organisasi dan penerbitan surat kabar untuk menyebarkan semangat nasionalisme Tiongkok (hal. 12). Tak terkecuali Oen Boen Ing. Ia bergabung dan aktif dengan organisasi Chung Hsioh, yaitu organisasi yang mewadahi pemuda-pemuda Tionghoa. Organisasi yang didirikan pada tahun 1923 ini adalah salah satu organisasi yang memelopori penggunaan kata “Indonesia” daripada Hindia Belanda (hal. 13).

Oen Boen Ing aktif di buletin Chung Hsioh yang bernama Orgaan der Centrale Chung Hsioh sebagai redaktur. Pada umur 22 tahun Oen muda telah membuat artikel yang sangat kritis untuk menanggapi artikel di surat khabar Belanda yang melaporkan kondisi revolusi Tiongkok yang tidak seimbang dan menyudutkan Tiongkok (hal. 21).

Peran lain Oen Boen Ing dalam era pergerakan nasional adalah saat ia ikut serta menyelamatkan klinik Jang Seng Ie. Klinik yang didirikan oleh para peranakan Tionghoa untuk mengatasi kondisi kesehatan yang buruk di Batavia tersebut terancam bangkrut. Oen Boen Ing bersama Souw Sian The bahu-membahu menyelamatkan klinik ini (hal. 59). Klinik Jang Seng Ie akhirnya berganti nama menjadi Rumah Sakit Husada yang tetap berdiri tegak sampai saat ini.

Di awal kemerdekaan (tahun 1945-1950), Oen Boen Ing sudah menjadi dokter di Solo. Ia tak takut menolong para prajurit RI yang terluka akibat class dengan tentara Belanda. Termasuk diantaranya adalah Tentara Pelajar di Surakarta. Bahkan Dr. Oen sering mendatangi para tentara yang terluka di zona merah dengan melewati wilayah Belanda. Dr. Oen-lah yang memasok penisilin untuk mengobati Jenderal Sudirman yang saat itu sakit (hal. 94). Peran yang berbahaya ini dilakukannya karena bagi Dr. Oen siapapun yang sakit wajib ditolong.

Saat orientasi politik keturunan Tionghoa terbelah, antara setia kepada Tiongkok atau memilih untuk menjadi bagian Republik Indonesia, Dr. Oen secara tegas memilih untuk menjadi Indonesia (hal 101). Pilihan ini dilakukannya dengan kesadaran penuh. Meski memilih untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, namun Dr. Oen tidak mau menggati namanya. Sebenarnya Dr. Oen mendapatkan gelar dan nama Jawa dari Pura Mangkunegaran. Ia diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan kemudian dinaikkan menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) OBI Darmohoesodo. OBI adalah singkatan dari nama Tionghoanya, yaitu Oen Boen Ing. Namun dia tetap setia menggunakan nama Oen Boen Ing yang diberikan oleh ayahnya.

Pilihannya untuk mengabdi kepada Indonesia ini membuat Sukarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada tahun 1949 (hal. 107).

Ternyatalah sudah bahwa Dr. Oen bukan saja seorang dokter dermawan, namun ia adalah juga seorang pejuang nasional. Perannya dalam organisasi pemuda Tionghoa Chung Hsioh yang ikut serta membidani lahirnya konggres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda sangatlah penting. Sikapnya untuk membantu tentara republik dan menyuplai penisilin kepada Jenderal Sudirman adalah bukti bahwa ia sangat mencintai Republik Indonesia. Bahkan Presiden Sukarno sempat menunjuknya secara langsung menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Sikapnya yang tidak membeda-bedakan etnik dan agama membuat dirinya diterima oleh semua pihak. Bahkan saat Kota Solo mengalami revolusi sosial di tahun 1949, dan dikhawatirkan akan terjadi kerusuhan anti Cina, Dr. Oen malah dipertahankan oleh masyarakat Surakarta untuk tetap berada di kota. Sebab pelayanannya sebagai seorang dokter sangat dibutuhkan oleh masyarakat (hal. 89). Di kalangan orang Arab, Dr. Oen dikenal sebagai dokternya orang Arab.

Karyanya di dunia kedokteran tak berhenti meski beliau sudah wafat. Beliau tetap memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat Surakarta dan sekitarnya melalui tiga rumah sakit yang mengabadikan namanya, yaitu R.S. Dr. Oen Kandangsapi dan R.S. Dr. Oen Solo Baru serta R.S. Dr. Oen di Sawit Boyolali. Di tengah biaya kesehatan yang semakin mahal ini semoga ada dokter-dokter muda yang meneladani karya beliau. Tidak penting apakah dokter muda tersebut adalah beretnis Tionghoa, Arab, Jawa, Batak, Maluku atau etnis lainnya. Sebab pengabdian seorang dokter tidaklah ditentukan oleh etnisnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler