x

Iklan

Amirudin Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menumbuhkan Budaya Menulis Siswa

GLS yang diprogramkan Kemendikbud sepantasnya menciptakan budaya membaca dan menulis di sekolah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Belum lama (20/4), sekolah saya memperingati Hari Kartini. Peringatan Hari kartini tahun ini terdiri dari beberapa kegiatan. Diantaranya ada lomba mewarnai, membuat tumpeng, busana adat, lomba menulis cerita tentang R.A Kartini serta wisata sejarah dengan mengunjungi Musium Linggarjati. Pada tanggal 21 April (puncak kegiatan) seluruh warga sekolah diwajibkan memakai pakaian adat. Khusus bagi perempuan diharuskan mengenakan baju kebaya.

Tulisan ini akan menyoroti secara khusus tentang lomba menulis cerita R.A Kartini. Kenapa? Karena diantara sejumlah rangkaian kegiatan yang ada, lomba menulis memiliki nilai penting yakni menanamkan kegemaran menulis. Dari gemar diharapkan terbangun budaya munulis di sekolah. Sebab, selama ini budaya  menulis sangat lemah. Jangankan di kalangan peserta didik, para guru pun sangat sedikit yang terbiasa menulis. Bahkan, kewajiban meneliti sebagai syarat kenaikan pangkat  tak sedikit yang menempuhnya dengan cara instan.

Kegiatan lomba menulis diikuti oleh kelas 4, 5 dan 6. Awalnya anak-anak diberi bacaan tentang RA Kartini. Mereka diberi kesempatan membacanya dalam waktu 30 menit. Setelah itu bacaan diambil. Mereka diberi selembar kertas HVS. Menulis pun dimulai. Panitia tak membatasi waktu, juga tulisan. Mereka bebas menulis sebanyak mungkin sesuai kemampuan yang dimilki. Kegiatan  dilaksanakan di luar kelas. Mereka boleh menulis di teras, depan perpustakaan juga halaman. Maka suasananya pun menjadi berbeda. Lebih menarik. Lebih meriah. Mereka nampak senang. Namun demikian, tak sedikit yang mengeluh. Pak, Bagaimana? Saya tidak menulis. Kebahagian mereka rupanya karena belajar di luar kelas semata. Selebihnya tidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keluhan tersebut wajar. Sebab kegiatan seperti ini tak pernah dilakukan sebelumnya. Menulis bukan sesuatu yang mudah bagi mereka yang baru memulainya. Kemudian menulis membutuhkan bekal bacaan yang cukup. Tak mungkin bisa menulis kalau tak membaca. Pertanyaannya, apa mereka sudah terbiasa membaca? Ini juga problem. Terkait minat baca peserta didik, Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Itu 20 tahun lalu.  Bagaimana dengan sekarang?

Sekarang, seperti diakui oleh mantan Mendikbud Anies Baswedan, mengutip data UNESCO, persentase minat baca Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Data lain menyebutkan, berdasarkan sebuah survei,  Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).

Bagaimana dengan minat baca siswa? Rasanya tak jauh berbeda dengan data tersebut. Yakni sangat minim. Memprihatinkan. Minat baca di kalangan pelajar tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Alasan ini mendorong Menteri Pendidikan mengeluarkan Permendikbud Nomor  23 Tahun 2015  tentang Penumbuhan Budi Pekerti PBP. PBP adalah kegiatan pembiasaan sikap dan prilaku positif yang dilakukan oleh guru, peserta didik dan warga sekolah bertujuan untuk membentuk generasi berkarakter baik. Dan diantara pembiasaan tersebut adalah membaca selama 15 menit sebelum KBM dimulai.

Tulisan peserta didik dikoreksi dan dinilai oleh wali kelasnya masing-masing. Dari setiap kelas diambil tiga orang sebagai pemenang lomba. Berdasarkan pantauan saya selama menilai tulisan anak-anak, ada beberapa hal yang layak jadi catatan bersama, para guru. Diantaranya, budaya instan yakni mengambil jalan pintas. Sebagian anak mencontek tulisan orang lain. Sehingga ada beberapa tulisan yang  sama persis. Mereka mengambil jalan pintas dengan menjiplak karya temanya. Kejujuran belum terbangun. Dan ini menjadi kebiasaan buruk dunia pendidikan di Indonesia. Bahwa praktek kecuraangan telah menyatu dalam sistem pendidikan Indonesia. Contoh nyata dan memalukan adalah soal kecurangan dalam UN. UN menjadi ajang perebutan gengsi yang menghalalkan segala cara. Karena itu, UN dirubah fungsinya agar tidak sakral lagi. Adia juga yang menulis ulang (baca:menjiplak) bacaan. Plagiat sudah dimulai sejak di bangku sekolah. Ini berbahaya.

Kemudian masih banyak siswa yang tak mampu menulis. Mereka hanya menulis berapa kata, berapa kalimat. Ini bisa dipahami. Menulis bagi mereka mungkin hal baru. Mereka belum terbiasa mengurai apa yang ada dalam pikiran dalam bentuk tulisan. Sebab pembelajaran terkait menulis juga sangat minim jika tidak menyebutnya tidak ada sama sekali.  

Pengalaman di atas kudu menjadi perhatian bagi para guru. Harus diakui bahwa kita belum berhasil mengantarkan peserta didik pada budaya menulis. Masih jauh. Biasa membaca saja masih belum. Peserta didik belum senang membaca. Sebab itu dibutuhkan keteladanan dari kita,  gurunya. Ini membutuhkan komitmen dan tekad kuat dari guru. Tekad kuat tersebut wajib diawali dengan diri sendiri. Banyaklah membaca. Sisihkan rizki anda untuk membeli buku. Ajak peserta didik guna mencintai buku. Baru kemudian menulis.

Jangan anda perintahkan siswa membaca setiap pagi, tapi anda sendiri tak membacanya. Jika mereka diwajibkan membawa buku bacaan dari rumah, kenapa anda sendiri tak pernah membeli buku? Keteladan sangat berpengaruh besar. Dalam hal ini saya melihat titik utama kelemahan guru Indonesia terkait literasi (baca-tulis) ada pada soal keteladanan. Coba seberapa banyak guru yang aktif menulis? Tak banyak. Bisa dihitung dengan jari.

Di samping keteladanan, pembiasaan membaca dan menulis juga penting dilakukan sejak dini. Sisipkan membaca dan menulis dalam setiap materi pembelajaran. Menulis bukan hanya saat belajar pelajaran bahasa Indonesia. Menulis kudu diintegrasikan dengan semua mata pelajaran. Coba sisipkan menulis sebagai hidden kurikum (kurikulum tersembunyi).  Tugas ini memang berat. Tapi pengaruhnya sangat besar bagi anak. Dan itu harus dilakukan. Bukankah Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sudah dicanangkan oleh Pemerintah?

Akhir kata, GLS yang diprogramkan Kemendikbud sepantasnya menciptakan budaya membaca dan menulis di sekolah. Ini tanggungjawan semua warga sekolah. Kaitan dengan hal ini, guru wajib menjadi motor utama. Ke depan, peserta didik harus dilatih menulis lebih lagi. Dan keteladanan guru sangat berpengaruh dalam hal ini. Kewajiban guru memerankannya.Wa Allahu Alam

 

Ikuti tulisan menarik Amirudin Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler