x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merajut Ulang Keterbelahan Sosial?

Sebagian besar warga sebenarnya tidak memperoleh keuntungan besar secara langsung pada setiap Pemilu, siapapun pemenangnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin saya keliru, tapi saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada analisis yang menyimpulkan bahwa rakyat DKI telah mengalami luka keterpecahan sosial yang dalam, dan butuh waktu lama untuk memulihkannya, karena beberapa alasan berikut:

Pertama, saya percaya pada klaim yang menyebutkan, pemilih DKI adalah pemilih paling rasional dan tidak emosional. Meski sebagian di antaranya relatif mudah terpancing dengan berbagai isu (hoax), tapi karena dasarnya memang rasional, maka setiap persoalan yang muncul dalam Pemilu, pada akhirnya akan disikapi secara rasional. Termasuk soal kekalahan dan kemenangan pada Pilgub DKI. Salah satu ciri utama rasionalitas adalah mudah untuk kembali move on.

Kedua, bahwaintensitas isu SARA selama periode kampanye Pilgub DKI (baca: dugaan kasus penistaan agama oleh Ahok dan serangkaian aksi tentangnya) memang intens bahkan “berdarah-darah”. Tapi kalau mau jujur, ada sebuah fakta yang luput dicermati: pada setiap Pemilu, baik pada level nasional ataupun di tingkat daerah provinsi-kabupaten-kota, isu agama dan suku itu selalu muncul. Tentu dengan intensitas yang berbeda-beda. Isu SARA, terutama agama dan suku, tidak pernah absen dari kontestasi Pemilu di semua level.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, bisa dimaklumi jika kubu PDIP, Megawati Soekarnoputri atau bahkan Presiden Jokowi kecewa dengan hasil kemenangan Anies-Sandi. Mosok kalah dirayakan bersuka ria. Tapi akan menjadi sangat keliru jika disimpulkan bahwa seolah-olah kekalahan Ahok di Pilgub DKI 2017 adalah kekalahan pertama bagi PDIP. Seakan-akan terjungkalnya Ahok dari panggung Pilgub DKI adalah keterjungkalan pertama yang dialami oleh Megawati Soekarnoputri.

Megawati Soekarnoputri bukan ibu yang cengeng. PDIP bukan partai kemarin sore. Politisi dan fungsionaris PDIP bukan politisi yang baru bersentuhan kekalahan. Kekalahan Ahok di Pilgub DKI, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan berkali-kali jatuh bangun yang telah dijalani PDIP.

Kalau nggak percaya – sekedar kilas balik – coba putar ulang rekaman video yang menayangkan penampilan ibu Megawati ketika Sidang Umum MPR tahun 1999, yang melalui rekayasa Poros Tengah, akhirnya Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden RI. Padahal PDIP adalah pemenang Pemilu 1999, artinya Ibu Megawati mestinya yang paling berhak duduk di RI-1. Tapi ibu Megawati tetap legowo menerima psosisi sebagai RI-2, dan segera setelah itu baik-baik saja, malah mungkin tambah tegar.

Keempat, menyimpulkan bahwa isu SARA telah menciptakan poloarisasi sosial warga DKI secara sangat tajam, justru menghina rasionalitas warga DKI. Selama periode kampanye, tentu iya telah terjadi polarisasi yang tajam. Tapi setelah hasil diumumkan, “pemenang ditetapkan”, percaya deh, warga DKI akan menyikapinya secara rasional, dan akan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Keempat, ada kemungkinan bahwa kelompok yang membesar-besarkan efek isu SARA dan efek kekalahan Ahok di Pilgub DKI adalah para “pendukung kagetan” PDIP dan PDIP. Sebagian besar dari mereka mungkin baru pertama kali merasakan pahitnya kekalahan Pemilu. Artinya, mereka bukan basis massa pendukung setia PDIP yang fanatik. Sebab hampir semua basis massa PDIP itu tahan banting, Bung. Tidak cengeng. Kalau giliran menang akan bersuka ria sewajarnya, jika kalah ya kecewa dan bersedih sewajarnya juga.

Kelima, antusiasme warga terhadap berbagai isu – termasuk isu SARA – pada setiap Pemilu boleh jadi diposisikan semacam pelampiasan uneg-uneg, dalam pengertian warga menjadikan setiap isu-isu itu sebagai alasan untuk menghajar kandidat yang dianggapnya tidak berpihak. Tapi setelah Pemilu, setiap warga akan menggeluti dinamika kehidupan ibukota yang memang sudah berat itu. Sebagian besar warga DKI dan juga warga di provinsi-provinsi lainnya, sudah memiliki segudang persoalan keseharian yang sudah berat.

Keenam, sebagian pakar dan pengamat mencoba menarik-narik dan lalu membanding-bandingkan antara isu SARA Indonesia dan kasus konflik Suriah, dengan mengatakan bahwa keterpecahan sosial di Pemilu akibat isu SARA berpotensi men-Suriah-kan Indonesia. Ya, tidaklah, Bung. Analisis dan kesimpulan yang meloncat-loncat seperti ini justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap karakter sosial dan politik di Suriah sebelum konflik (kapan waktu saya menulis artikel khusus tentang ini).

Ketujuh, bahwa dilihat dari sudut apapun: sosial, ekonomi, geografis dan bahkan sejarah – mustahil menafikan isu SARA dalam Pemilu di Indonesia. Berharap meniadakannya secara total adalah ilusi.

Kedelapan, dan jangan lupa juga, tingginya tensi dan provokasi isu SARA selama periode kampanye Pilgub DKI 2017, sesungguhnya tidak muncul tiba-tiba, dan tidak berangkat dari ruang kosong. Ada pemicunya.

Karena itu, pernyataan Kwik Kian Gie dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 25 April 2017 menjadi menarik. Kwik mengajukan pertanyaan yang menggelitik: sudah sekian banyak warga keturunan China yang menduduki posisi kunci dalam struktur pemerintahan (di eksekutif dan legislatif), lalu kenapa resistensi yang sangat kuat dan garang itu justru muncul dalam kasus Ahok?

Kesembilan, saya sangat yakin bahwa rakyat Indonesia pada umumnya, terutama warga DKI yang rasional itu, adalah warga yang tidak mungkin rela “menggadaikan kehidupan berbangsa dan bernegara pada ritme lima tahunan”. Sebab kalau mau jujur, silahkan dikoreksi jika keliru, sebagian besar warga sebenarnya tidak memperoleh keuntungan besar secara langsung pada setiap Pemilu, siapapun pemenangnya.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 27 April 2017 / 30 Rajab 2017

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu