x

Perlunya Amendemen UU Perkawinan

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perlunya Amendemen UU Perkawinan | Binsar M. Gultom

70 persen gugatan perceraian ke pengadilan agama diajukan oleh perempuan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perceraian sekarang bukan lagi hal yang tabu, justru seakan-akan sudah menjadi kebiasaan. Salah satu motifnya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Meski telah ada pengadilan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, perceraian tetap saja terjadi. Bahkan kekerasan tak terelakkan hingga menyebabkan pembunuhan di antara suami-istri.

Sebagai salah satu hakim di peradilan umum sejak 1996 hingga sekarang, saya telah mengadili sekitar 250 perkara perceraian dan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ini belum termasuk kasus kekerasan yang mengakibatkan matinya salah satu pasangan. Ini baru catatan pribadi saya. Bagaimana dengan para hakim lain di seluruh Indonesia? Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, misalnya, selama 2010-2014 saja mencatat, dari sekitar 2 juta pasangan yang mencatatkan pernikahan, 300 ribu di antaranya berakhir dengan perceraian dengan berbagai alasan. Dan, dari jumlah itu, 70 persen gugatan perceraian ke pengadilan agama diajukan oleh perempuan (Harian Nasional, 3 April 2017).

Dalam persidangan, alasan perceraian tersebut beragam, seperti usia yang relatif masih muda sehingga mereka tidak mengerti secara mendalam arti perkawinan, alasan ekonomi, alasan pendidikan, dan perkawinan yang terpaksa karena si wanita hamil lebih dulu. Alasan lain adalah orang tua tidak dilibatkan dalam memilih jodoh dan perbedaan pendapat yang berkepanjangan hingga tidak dapat diselesaikan. Dampak dari semua persoalan tersebut adalah terjadinya percekcokan yang berkepanjangan dan rumah tangga tak lagi menjadi istana keluarga untuk melahirkan keturunan yang berkualitas. Dengan demikian, selain terjadi kekerasan dalam rumah tangga, terjadilah berbagai skandal perselingkuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anehnya, perseteruan dan perselingkuhan tersebut diketahui anak-anak dan keturunannya. Dengan demikian, secara turun-temurun, keturunan keluarga itu melahirkan anak-cucu yang tidak sehat dan kurang bermoral. Tentu saja hal ini menjadi tantangan berat bagi orang tua masa kini, juga bagi pemerintah.

Penyebab dari semua ini sangat dipengaruhi lemahnya ketentuan yang mengayomi lembaga perkawinan itu sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sudah 43 tahun tak pernah berubah. Coba bayangkan syarat-syaratnya: usia pria menikah adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun (vide Pasal 7 ayat 1) tanpa masa depan yang jelas. Artinya, apakah dua calon mempelai tersebut sudah memiliki pekerjaan yang jelas, tidak diatur dalam ketentuan tersebut. Belum lagi bagi mereka yang menikah siri.

Kemudian, menurut ketentuan Pasal 6 ayat 2, mereka yang sudah berusia 21 tahun dapat menikah tanpa persetujuan orang tua. Sedangkan yang di bawah 21 tahun harus mendapat restu orang tua. Ketentuan ini mesti diubah dan saya mengusulkan sebaiknya usia pria dapat menikah minimal 25 tahun dan wanita minimal 21 tahun, dengan catatan salah satu pihak sudah berpenghasilan tetap dan mendapat persetujuan orang tua masing-masing.

Ketentuan tersebut harus diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Perkawinan yang baru nanti. Bila perlu, sebelum pernikahan, mesti diatur persyaratan yang tegas soal status keperawanan. Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Sebab, salah satu yang membuat terjadinya perpecahan dalam rumah tangga tersebut adalah perkawinan dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Selain itu, perlu dipertimbangkan kembali syarat-syarat pria yang bisa beristri lebih dari satu. Selain syarat persetujuan dari istri pertama, harus ada jaminan sang suami sanggup memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada para istri dan anak-anak. Apabila suami tidak mampu melaksanakan ketentuan tersebut, istri dapat menggugat perdata suaminya ke pengadilan. Hal ini harus diatur jelas di dalam Undang-Undang Perkawinan yang baru nanti.

Selama ini, jika terbukti salah satu pihak (apakah suami atau istri) berselingkuh, demi harga diri, seorang suami-misalnya-langsung membunuh istrinya. Ini menjadi masalah sangat krusial yang perlu dicari solusinya. Mestinya, sebelum terjadi kekerasan dalam rumah tangga, salah satu pihak segera melaporkannya kepada orang tua atau pihak berwajib. Namun sering terjadi tekanan mental kepada salah satu pihak bila peristiwa tersebut dilaporkan kepada pihak lain. Sebab, ia diancam akan dibabat habis oleh pasangannya bila melapor.

Oleh: Binsar M. Gultom

Hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Bangka Belitung

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 27 April 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler