x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memperebutkan Pancasila

Belakangan ini, Pancasila kembali hit, ramai dibicarakan, bahkan diklaim oleh mereka yang dulu paling vokal menolaknya. Bagaimana nasib Pancasila nanti?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan ini, Pancasila kembali hit, ramai dibicarakan, diklaim oleh mereka yang dulu paling vokal menghinanya, dan diperebutkan alias dijadikan alat untuk kepentingan masing-masing. Oh, Pancasila, nasibmu kini....

Menjelang berakhirnya Orde Baru, saya punya kenangan manis tentang Pancasila. Saat menjalani pekan orientasi sekolah, diadakan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sebuah akronim yang gagah, namun njlimet untuk remaja belasan tahun seperti saya. Selain materi yang membuat kantuk, P4 jelas bukan hal yang buruk. Kita belajar tentang butir-butir pedoman moral dari masing-masing sila. Kelima sila tadi tidak cukup, Kawan! Semua itu harus dibumikan lag, diperjelas, atau, istilah kerennya, break-down. Alhasil, melalui Ketetapan MPR nomor II/MPR/1978, terdapat 36 butir penghayatan Pancasila. Dulu saya hafal, sekarang lupa.

Pada masa awal orientasi, diadakan kuis bertema P4 di masing-masing kelas. Soalnya sendiri tidak jauh-jauh dari sejarah Pancasila, isinya, sejarah Indonesia, dan UUD 1945. Saya gagal di kuis ini. Tapi dua tahun kemudian, saya rencananya akan diikutkan dalam lomba P4 antarsekolah bersama dua kawan saya. Kami adalah tim nantinya. Sungguh, saya berharap lomba ini bisa terselenggara. Sayang, pada 1998, Orde Baru jatuh. Pancasila dan turunannya, termasuk P4, mengalami moratorium. Lomba itu batal. Ngehe!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum Orde Baru tumbang, Pancasila adalah asas tunggal. Jika Anda berani menempatkan asas selain Pancasila, siap-siap digelandang lalu diinterogasi oleh aparat. Sikap represif aparat ini memakan korban bagi semua kelompok yang menolak, baik itu golongan Islam (kanan), prodemokrasi, maupun kiri. Berani melawan asas tunggal, sama saja dengan sikap ‘tidak Pancasilais’, sama halnya dengan cap ‘kontrarevolusioner’ di era Orde Lama.

Sejatinya, Bung Karno menggagas konsep Pancasila, bersama Pendiri Bangsa lainnya seperti Mohammad Yamin dan Mr. Supomo pada rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.  Setelah itu, Pak Harto-lah yang menjadikan Pancasila “hidup”. Pancasila tidak hanya sakti. Lebih dari itu, Pancasila juga masuk ke kantor pemerintahan, sekolah, bahkan masjid. Banyak masjid-masjid dengan arsitektur khas didirikan oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Jadi, jangan lupa, di masa Orde Baru, menjadi ‘Muslim’ tidak cukup. Anda harus menjadi ‘Muslim yang Pancasilais’! Peristiwa Tanjung Priok pada 1984 adalah salah satu rekam jejak bagaimana Orde Baru menyikapi mereka yang bukan ‘Muslim Pancasilais’.

Pancasila, meminjam konsep Robert Bellah, adalah agama sipil Indonesia. Seperti agama, Pancasila memiliki ritual yang dirayakan bak hari besar. Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober adalah bentuk perayaan itu. Siapakah pemimpin tertinggi dari agama sipil itu? Tentu saja, Jenderal Besar H.M. Suharto, figur pahlawan yang mencegah bangsa ini jatuh ke dalam genggaman komunisme. Penyiar televisi nasional akan berulang kali memuji sisi heroisme Pak Harto. Anda mungkin bisa melihat betapa hebatnya beliau, yang diperankan oleh aktor Amaroso Katamsi, dalam film itu.

Tak hanya upacara pada 1 Oktober 1965, malam sebelumnya, sebuah tayangan film kolosal wajib Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI  disiarkan oleh seluruh stasiun televisi tanpa kecuali. Tak banyak anak-anak seusia saya yang bertahan menonton film karya maestro Arifin C. Noer tersebut. Jujur saja, baru pada masa kuliah saya mampu menyaksikan film itu hingga tuntas. Sesekali, hingga hari ini, saya suka menontonnya di saluran video Youtube –meski kualitasnya menyedihkan. Bagi saya, penikmat film dan sejarah, Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah film yang bagus dari sisi musik, alur cerita, dan tentu, akting pemainnya.  Salah satunya, akting Syu’bah Asa sebagai D.N. Aidit, wartawan senior yang bertahun-tahun kemudian saya temui di musala kantor Tempo, tempat saya meniti karier pertama kali. Siapa yang tak ingat, betapa angkernya Syu’bah dengan mulut berasapnya, lantas berkata, “Jawa adalah kunci!”

Hampir semua konsep Orde Baru tidak lepas dari kata Pancasila. Ekonomi Pancasila, Demokrasi Pancasila, dan lain sebagainya. Dibentuk pula BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), sebagai lembaga yang bertugas untuk menyebarkan pemahaman atas Pancasila melalui program-program penataran. Lembaga ini kemudian bubar pada 1998.

Saat senjalaka Orde Baru, Pancasila dipandang sebagai ‘alergi’. Semua kelompok menawarkan solusi, mulai dari syariat Islam hingga sosialisme. Tak ada lagi asas tunggal. Pancasila yang dipandang sebagai atribut penguasa lama mulai dijauhi.  Belakangan ini, Pancasila kembali riuh-rendah diteriakkan, bahkan dari tempat yang dulu mengutuknya. Mengapa? Bangsa ini kembali memasuki pertarungan identitas yang kuat.

Belakangan, ketika masing-masing ideologi tampaknya sulit untuk bertemu, Pancasila pun kembali dibicarakan dan diklaim. Begitulah nasib Pancasila sebagai titik temu yang mengakomodasi kepentingan masing-masing kelompok yang berseberangan. Namanya juga berebut, nanti kita bisa melihat sendiri, siapa yang mendapat porsi besar untuk mengklaim paling Pancasilais. Tapi, bicara soal substansi, Pancasila adalah penemuan hebat para pendiri bangsa. Tak ada yang rigid dalam Pancasila karena konsep ini akan terus-menerus dibicarakan sesuai semangat zaman. Karena itu pula, pemerintah saat ini perlu untuk kembali mengangkat dan menyuarakan Pancasila sebagai titik temu berbagai ideologi yang hidup di ibu pertiwi.***

sumber foto: deviantart|christineputra

 

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler