x

Iklan

Adi Prima

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#FESTIVALMENULIS | Melawan Lewat Media Sosial

Era digital yang tak kenal ruang dan waktu, jika digunakan secara bijaksana, bisa menjadi senjata yang mematikan, begitu juga sebaliknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SUMATERA BARAT. Gila! Setiap bercerita dengan mereka, selalu itu kesimpulan terakhir tentang dua teman saya. Bayangkan, dengan hanya bermodal media sosial yang dimiliki, mereka ingin melawan media cetak dan mahzab pemikiran, gila bukan!

Zaman berubah, saat ini untuk mengakses informasi kita tidak perlu menunggu lama. Mulai dari berita yang terpercaya, hingga berita yang tidak benar ujung pangkalnya, bisa bebas beredar di era digital. Bagi kita yang mempunyai pengetahuaan, tentu hanya tinggal memilah sumber berita mana yang dapat dipercaya. Sehubungan dengan era digital, tepat sekali rasanya jika saya mengaitkan apa yang telah dilakukan oleh dua orang teman yang saya beri gelar gila ini, dengan kemajuan era literasi digital sekarang. Dua teman saya benar-benar kreatif dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memperjuangkan ideologi gila yang mereka anut. Hal gila apa yang mereka lakukan? Mari lanjutkan membaca yang dibawah ini.

Sedikit intelektual dan ilmiah, kita bahas dulu apa itu gila? Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), gila; sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal): ia menjadi -- karena menderita tekanan batin yang sangat berat; tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi ada dua justifikasi atau kesimpulan mengenai ‘gila’ menurut KBBI, justifikasi secara medis; karena kurang beres ingatannya, kedua; stigma karena berbuat yang bukan-bukan atau tidak masuk akal. Agaknya, kedua teman saya diatas kita masukan kepada kategori gila berbuat yang bukan-bukan, dan cendrung tidak masuk akal. Mustahil kalau kita sebut mereka kurang beres ingatannya. Sebab, saban hari kerjanya hanya membaca buku filsafat, dan buku tentang pemikiran. Teman yang satu lagi, saban hari kerjanya berkarya, mengexplorasi, dan memecahkan simbol-simbol dunia fotographi yang digelutinya

Kita bahas apa yang dilakukan oleh teman yang pertama, sang guru fotographi. Karya jurnalistik foto sang guru tidak diragukan lagi, sudah beberapa kali menembus Reuters dan New York Times, Wow! Tepatnya beberapa bulan yang lalu, bagaimana ia menggabungkan media sosial dan kemampuan foto jurnalistiknya untuk wadah kampanye sahabat karibnya. Pada akhirnya, sahabat teman tersebut memang berhasil memenangkan kursi No. 1 di dunia olahraga Sumatera Barat. Padahal, sahabatnya bukanlah orang yang berkecimpung di dunia olahraga. Menggabungkan kreatifitas lalu berkampanye di media sosial yang ia miliki, sang guru fotographi ini berhasil menumbangkan Profesor olahraga dan media-media pendukungnya.

Penasaran, saya akhirnya minta bertemu dan membicarakan keberhasilannya tersebut. Ia lalu berujar, “saat ini era sudah canggih, setuju atau tidak setuju, media cetak semakin berkurang peminatnya, kasarnya hanya diminati oleh orang yang seumuran dengan saya, orang-orang sudah beralih ke internet. Jika butuh informasi, orang-orang akan mengakses lewat tablet, smartphone atau laptop, bukan lagi lewat media cetak. Melihat perubahan perilaku ini, saya lalu mencari peringkat situs atau web mana yang paling sering dikunjungi. Nah, kebetulan untuk peringkat No 2 dunia saat ini, itu adalah satu-satunya media sosial yang saya punya, facebook.

Dengan menggabungkan kemampuan foto jurnalistik dan media sosial yang saya miliki, saya lalu berkampanye dan berjuang bersama teman untuk memenangkan kursi No. 1 di dunia olahraga Sumatera Barat. Alhamdulillah, kami pun berhasil memenangkannya.

Teman yang kedua, kita namai si Pemikir. Saban hari kerjanya hanya membaca buku. Kasarnya, satu hari satu buku. Setelah membaca, dimedia sosial yang ia miliki ia sangat getol mempublish kisah ‘duri dalam daging’. Menurutnya, agak aneh kalau umat Islam yang mayoritas di negara ini hanya sibuk beribadah, dan hanya menjadi no 1 perihal beribadah saja. Menurutnya lagi, sepertinya memang ada penggiringan ideologi supaya umat Islam di Indonesia hanya mengkhususkan diri untuk beribadah saja. Akibatnya dibeberapa sektor lain, umat ketinggalan. Contohnya pada bidang ekonomi, bidang politik, bahkan pada kepemilikan media untuk pembuatan opini, umat sudah jauh ketinggalan. Ini salah satunya akibat jika kita hanya sibuk beribadah. Tidak logis, dengan keadaan bangsa yang saat ini dikuasai oleh asing dan segelintir orang, seharusnya umat bersatu, lalu maju bersama pada semua sektor dan sendi kehidupan. Bukan hanya sibuk beribadah dan memikirkan diri sendiri. Jangan pula dengan berbesar dan hati kita relakan kekayaan bangsa ini kepada asing, karena tak sempat mengurus, sebab kita sibuk beribadah.

Kegigihanya ini menuai hasil, beberapa teman yang awalnya rutin mengikuti kelompok pengajian yang hanya fokus beribadah, akhirnya mulai menarik diri kelompok itu. Ibadah tentu penting, tapi apa yang kita lakukan setelah ibadah pasti juga tidak kalah penting. Benar kata A A Navis dalam Cerpen Robohnya Surau Kami, ‘Negerimu dirampok orang, engkau beribadah saja! Aku titipkan negeri Indonesia yang kaya raya, engkau hanya beribadah saja. Penuh kerelaan engkau berikan kekayaan negeri ini kepada bangsa asing, sehingga anak cucu engaku kelak akan menjadi budak di negaranya sendiri! Engkau memilih beribadah karena ibadah mudah, dan tidak mengeluarkan keringat! A A Navis mengkritik sebagian umat yang hanya sibuk beribadah dan tidak peduli nasib bangsa dan anak cucu yang akan datang.

Sepenggal kisah kesuksesan lewat media sosial di atas, tentu adalah hasil dari kreatifitas, dan cepat memahami pola sosial, dan pola baca masyarakat sekarang. Zaman terus berubah, sekarang adalah era digital. Media sosial yang merupakan bagian dari era digital, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Kedua teman saya telah membuktikan dua hal gila, dan itu berhasil! Mari manfaatkan dan pergunakan sebijaksana mungkin media sosial yang kita miliki di era literasi digital ini.

Ikuti tulisan menarik Adi Prima lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler