x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Legasi Tentang Kekalahan dan Kemenangan

Pada setiap kemenangan dan kekalahan, selain karena faktor yang mungkin bisa dirasionalkan, selalu ada faktor misterinya, betapapun kecilnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sebuah analisis unik yang menggelitik tentang Pilpres di Amerika: bahwa jika terjadi kontestasi antara kandidat cerdas melawan kandidat yang dipersepsikan bodoh, maka umumnya yang menang adalah kandidat bodoh.

Agak sulit dirasionalkan bahwa rakyat pemilih Amerika yang dipersepsikan cerdas-cerdas itu, justru sering memilih kandidat bodoh dibanding yang cerdas. Tapi kesimpulan seperti itu biasanya dibuktikan dengan beberapa kasus, yang kemudian dijadikan justifikasi terhadap kekalahan kandidat pintar.

Yang pasti, setiap kontestasi yang hasilnya lebih ditentukan oleh faktor like and dislike (antara lain didorong dan dipompa melalui kampanye), maka probabilitas kemenangan dan kekalahan menjadi sama besarnya, sebelum akhirnya bandul kemenangan lebih berpihak kepada satu kandidat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka legasi tentang kekalahan dan kemenangan, yang pernah dirumuskan – dalam bentuk narasi atau pepatah atau ungkapan kearifan – adalah upaya orang-orang bijak untuk merasionalkan keduanya. Padahal kemenangan dan kekalahan sering terjadi karena alasan-alasan yang sulit dirasionalkan.

Pada level nasional Indonesia (Melayu), kita akrab mendengar atau membaca ungkapan yang sering dianggap klise: “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda”. Ungkapan ini sudah jarang digunakan, mungkin karena dinilai terlalu “mengasihani” pihak yang kalah.

Di tingkat lokal misalnya kita juga sering membaca atau mendengar ungkapan Jawa yang mengatakan, “Kalah tanpo wirang, menang tanpo ngasorake”, jika kalah tak perlu merasa malu-malu banget, giliran menang tidak perlu juga berbusung dada. Sebab jika dibedah secara mendalam, pemenang mestinya mengucapkan terima kasih kepada yang kalah. Sebab justru karena ada yang kalah itulah, maka pemenang ada. Artinya, pihak yang paling berjasa kepada pemenang justru pihak yang kalah.

Dalam kitab suci juga ada ungkapan yang menyebut bahwa “Pada setiap kesulitan (kekalahan) sebenarnya terkandung kemudahan (kemenangan)”. Meski umumnya kita agak susah memahami kesulitan dan kemudahan terjadi berbarengan, atau kekalahan dan kemenangan terjadi bersamaan.

Di atas semua itu, ritme kehidupan riil sepanjang perjalanan sejarah kemanusiaan mengajarkan bahwa tak ada kemenangan yang abadi, seperti tidak adanya kekalahan yang abadi.

Dan dalam kontestasi yang diselenggarakan secara periodik, seperti Pemilu ataupun perlombaan, kemenangan dan kekalahan memang akhirnya dan semestinya diposisikan sebagai sebuah keniscayaan, yang silih berganti dan bergilir. Menang-kalah-menang-kalah lagi, dan begitu seterusnya.

Filosoifi dasar dalam setiap kontestasi yang diciptakan dan dirumuskan dengan batasan-batasan yang ketat, salah satu tujuan mulianya adalah untuk meniadakan atau meminimalisir keabadian yang dipaksakan.

Apapun itu, pada setiap kemenangan dan kekalahan, selain karena faktor yang mungkin bisa dirasionalkan, selalu ada faktor misterinya, betapapun kecilnya. Kecenderungan untuk meremehkan faktor misteri pada setiap kemenangan dan kekalahan itulah, yang kadang menjadikan kekalahan identik dengan nestapa, dan kemenangan berubah menjadi keangkuhan.

Simpulnya, mengakui kekalahan di depan pemenang adalah keniscayaan. Tapi meminta pihak yang kalah agar bergembira seperti riangnya pemenang, juga dapat dianggap membohongi diri sendiri.

Syarifuddin Abdullah | Jumat, 28 April 2017 / 01 Sya’ban 2017

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler