x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memprihatinkan Kepemimpinan DPD

Kisruh kepemimpinan DPD saat ini semakin memprihatinkan yang membuat kepercayaan publik juga terus terpuruk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memprihatinkan Kepemimpinan DPD

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia memang didesain tidak kuat (soft bicameralism). DPD yang sebetulnya disebut penyambung lidah rakyat daerah dengan pemerintahan pusat, sepertinya hanya sekadar asesoris ketatanegaraan. Proses legislasi DPD tidak memiliki kekuatan untuk memberikan persetujuan, apalagi menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945.

       DPD hanya dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU dan ikut membahas berkaitan dengan kepentingan daerah. Kewenangan DPD yang sebetulnya ingin didesain sebagai salah satu kamar dalam proses legislasi (sistem bikameral), ternyata tidak sesuai dengan harapan publik. Di tengah banyaknya pertanyaan publik mengenai peran anggota DPD memperjuangkan kepentingan daerah, justru sejumlah anggota DPD merebut kekuasaan kepemimpinan DPD. Bukan hanya itu, lebih dari setengah anggota DPD juga ramai-ramai menjadi anggota partai politik, padahal sebelumnya DPD didesain sebagai representasi teritori (wilayah) yang bersifat independen, yang berbeda dengan anggota DPR yang memang diperuntukkan bagi partai politik. 

       Perebutan kepemimpinan DPD sangatlah memprihatinkan dengan disahkannya Peraturan DPD Nomor 1/2016 dan Nomor 1/2017 tentang Peraturan Tata Tertib DPD, yang membagi dua setengah tahun masa kepemimpinan DPD. Bukan lagi berdasarkan masa jabatan keanggotaan DPD selama lima tahun. Inilah pangkal kisruh kepemimpinan DPD karena setelah beberapa anggota DPD yang mengajukan uji materi Peraturan Tata Tertib DPD itu kepada Mahkamah Agung (MA) lantaran dinilai bertentangan dengah UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putusan MA

       Ternyata MA dalam putusannya Nomor 38P/HUM/2016 tanggal 20 Februari 2017, dan Nomor 38P/HUM/2017 tanggal 29 Maret 2017 memutuskan, bahwa Peraturan DPD 1/2016 dan Nomor 1/2017 tentang Peraturan Tata Tertib DPD tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam amar putusan MA juga memerintahkan kepada Pimpinan DPD untuk mencabut Peraturan DPD Nomor 1/2016 dan Nomor 1/2017 tentang Peraturan Tata Tertib DPD, serta menegaskan bahwa masa jabatan pimpinan DPD kembali pada Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1/2014.

       Artinya, masa jabatan pimpinan DPD tetap selama lima tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1/2014. Memang begitulah proses uji materiil di MA sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan MA Nomor 1/2004 tentang Hak Uji Materiil, yang memerintahkan kepada Badan atau Instansi yang bersangkutan untuk mencabut peraturan yang dibuatnya.

       Apabila Badan atau Instansi dimaksud tidak melaksanakan putusan MA mencabut peraturan yang dibuatnya, maka berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan MA Nomor 1/2004, maka “Dalam waktu 90 (sembilan puluh) setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

       Putusan MA dalam perkara uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU tidak berlaku sertamerta, seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlaku sejak diucapkan di depan sidang. MA dalam putusannya selalu memerintahkan kepada Lembaga (Badan) atau Instansi yang membuat peraturan itu untuk mencabutnya. Jika tidak dicabut, maka putusan uji materi MA berlaku secara otomatis dalam waktu 90 hari, sehingga peraturan yang dibatalkan MK dalam uji materil tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi.

       Namun, menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1/2016 pada Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh Fisipol Unismuh, Fisifol Universitas Bosowa, dan IPI “Polemik Parpolisasi DPD-RI” tanggal 9 April 2017 di Makassar, bahwa perintah putusan MA itu sudah dilaksanakan Pimpinan DPD Nomor 12/PIMP/III/2016-2017 tentang Tinddak Lanjut Putusan MA Republik Indonesia Nomor 38P/HUM/2016 daan Nomor 20P/HUM/2017, tanggal 31 Maret 2017. Putusan Pimpinan DPD dibuat tiga hari setelah Putusan MA dengan mencabut Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1/2016 dan Nomor 1/2017, dan kembali pada Peraturan DPD Nomor 1/2014.

       Sayangnya, keputusan Pimpinan DPD tidak pernah disampaikan kepada MA, bahkan tidak berhasil dibacakan dalam Sidang Pleno DPD. Inilah yang dimanfaatkan kelompok Oesman Sapta Odang (OSO) dalam Sidang Pleno DPD tanggal 4 April 2017 dan memilih Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD yang baru, dengan Wakil Ketua masing-masing Nono Sampono dan Damayanti Lubis menggantikan Ketua DPD sebelumnya. Padahal, berdasarkan putusan MA Pimpinan DPD yang lama tetap sah karena Peraturan Tata Tertib DPD yang mengatur pembagian jabatan Pimpinan DPD masing-masing dua setengah tahun tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

       Kelemahan lain putusan MA yang dimanfaatkan oleh kubu OSO, adalah kesalahan pengetikan Ketua DPD menjadi “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Ketua DPRD)” yang diperintahkan untuk mencabut Peraturan Tata Tertib DPD. Maka itu, ke depan perlu MA memperkuat putusannya dalam uji materi peraturan perundang-undangan terhadap UU dengan merevisi Peraturan MA Nomor 1/2004, bahwa “putusan uji materi MA berlaku sejak diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”. Dengan demikian, wibawa dan kekuatan putusan uji materi MA akan sama dengan putusan uji materi UU terhadap UUD 1945 oleh MK.  

Perwakilan Bikameral

       Dikaji secara komprehensif hasil perubahan (amandemen) UUD 1945, maka kelihatan kalau Lembaga Perwakilan Rakyat termasuk “lembaga perwakilan rakyat atau legislatif tiga kamar (trikameral)”. Dapat dilihat pada posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai kamar tersendiri dalam lembaga perwakilan rakyat. DPR dan DPD masing-masing punya kamar tersendiri, tetapi secara langsung bersentuhan dengan proses pembentukan legislasi. Berbeda dengan MPR yang menurut Bagir Manan bahwa MPR menjadi wadah badan perwakilan tersendiri karena susunannya yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, sebagaimana ditegaskan Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 bahwa “MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”.

       Dalam susunan dua kamar (bikameral) pembentukan legislasi menurut Bagir Manan, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri. Dengan demikian, hasil perubahan UUD 1945 tidak menempatkan MPR menjadi “sidang gabungan (joint session)”antara DPR dengan DPD untuk menetapkan undang-undang. Salah satu kewenangan MPR ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yaitu “mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Kewenangan lain MPR adalah melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 Ayat 2 UUD 1945).

       Berdasarkan sejarah keberadaan sistem bikameral dalam lembaga perwakilan, pada awalnya berasal dari doktrin atau teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan, bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarkhi. Namun, yang pertamakali menyebut istilah bikameral (bicameral) adalah Jeremy Bentham (Saldi Isra, Makalah, Penguatan Fungsi Legislasi DPD), dan pada umumnya parlemen modern di kebanyakan negara menerapkan sistem dua kamar legislasi.

       Menurut Giovanni Sartori (1997:184), lembaga perwakilan rakyat dua kamar atau bikameral dilihat dari kekuatan kewenangannya terdiri atas tiga jenis. Pertama, sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya. Kedua, sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism) yaitu jika kekuatan kedua kamar nyaris sama kuat. Ketiga, perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.

       Selain tiga model bikameral berdasarkan tingkatan kekuatan kewenangannya, Giovanni Sartori (1997:186) juga membedakan bikameral menjadi tiga jenis berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan di antara kedua kamarnya. Pertama, bikameral yang unsurnya sama (similar bicameralism). Kedua, bikameral yang unsurnya agak berbeda (likely bicameralism). Ketiga, bikameral yang unsurnya sangat berbeda (differentiated bicameralism).

       Untuk menyempurnakan UUD 1945 perlu dilakukan perubahan kelima yang bukan hanya mendesain penguatan DPD dalam dua kamar (bikameral system) yang efektif, tetapi yang juga penguatan sistem presidensial, hak asasi manusia, otonomi daerah dan hubungan pemerintah pusat-daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta sistematika UUD 1945 yang sesuai dengan teori pembentukan konstitusi. UUD 1945 sebagai hukum dasar tetap butuh perbaikan sejalan dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 

       Perubahan UUD 1945 merupakan keniscayaan sebagai salah satu agenda reformasi untuk keluar dari krisis politik, krisis hukum, krisis ekonomi, dan krisis moral. Empat kali memang telah memberikan berbagai perubahan yang amat mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Namun, hasil perubahan juga menyimpan berbagai kelemahan lantaran paradigma yang dibangun belum dapat dijadikan acuan dasar dalam mengefektifkan pemerintahan secara baik. Hasil amandemen belum mampu menjelaskan dan menjanjikan secara signifikan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibangun.              

       Tetapi melihat kisruh kepemimpinan DPD saat ini, publik mulai ragu mengawal dan memperjuangkan penguatan kewenangan DPD dalam dua kamar perwakilan legislasi (bikameral). Sebagian besar pakar hukum menilai kepemimpinan DPD yang dituntun sumpahnya oleh Wakil Ketua MA berdasarkna putudan MK tidak sah dan ilegal. Seharusnya anggota DPD berkaca dan melakukan introspkesi diri seberapa besar perannya sebagai wakil daerah (wilayah), bukan justru merebut kekuasaan di internal sendiri. Jika kisruh kepemimpinan DPD terus seperti saat ini, jangan harap rakyat akan mendukung perbaikan dan penguatan kewenangan DPD melalui perubahan UUD 1945.(*)

Makassar, 2 Mei 2017

      

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu