x

Iklan

Manik Sukoco

Suka membaca. Sesekali menulis.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilematika Pendidikan

Menyoal arah pendidikan nasional yang kini dianggap seperti komoditas atau barang dagangan. Sekolah diasumsikan sebagai pabrik pencetak manusia siap kerja, namun miskin inovasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia yang berkualitas merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Negara-negara maju di dunia menempatkan pendidikan sebagai faktor strategis dalam memajukan bangsanya. Pendidikan yang berbobot dapat menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan produktif. Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan merupakan barometer tingkat kemajuan bangsa tersebut.

Kehidupan dalam era global menuntut berbagai perubahan pendidikan yang bersifat mendasar. Perubahan-perubahan tersebut antara lain: perubahan dari pandangan kehidupan masyarakat lokal ke masyarakat global, perubahan dari kohesi sosial menjadi partisipasi demokratis, dan perubahan dari pertumbuhan ekonomi ke perkembangan kemanusiaan.

Seperti dikatakan oleh Mulyasa (2014), kita dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama untuk berkiprah dalam era kesejagatan, khususnya globalisasi pasar bebas di negara-negara ASEAN, seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), AFLA (ASEAN Free Labour Area), dan di negara-negara kawasaan Asia Pasifik (APEC). Era globalisasi dan pasar bebas telah menimbulkan berbagai kesemrawutan sehingga manusia dihadapkan pada perubahan-perubahan yang sangat kompleks dan tidak menentu. Hal tersebut telah menimbulkan jurang pemisah yang mengakibatkan hubungan yang tidak linear antara pendidikan dengan dunia kerja (one to one relationship) karena apa yang terjadi di dunia kerja sulit diikuti oleh pendidikan. Bebasnya akses terhadap media massa terutama media elektronik dan jejaring internet juga merupakan tantangan yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi komunikasi yang semakin hari semakin pesat perkembangannya.

Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak warga negara, sehingga tanggung jawab penyelenggaraan dan akses pendidikan bagi seluruh warga negara terletak di tangan negara. Pemerintah menjamin pemenuhan hak, dalam hal ini hak atas pendidikan. Jadi, negara harus memastikan terpenuhinya hak warga atas pendidikan dalam tiap tingkatan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.

Pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas diri. Oleh karena itu, pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara. Implementasi pendidikan seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga dari sisi kepribadian, etika, dan estetika.

Namun sayangnya, arah pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas atau barang dagangan saja. Institusi pendidikan (sekolah) berpijak pada selera pasar tak ubahnya seperti pabrik pencetak mesin-mesin manusia siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan difokuskan pada perolehan hasil tanpa memperhatikan proses, menjadikan peserta didik menjadi insan-insan yang berorientasi pada nilai dan uang.

Menurut Paulo Freire, pendidikan semacam ini disebut dengan "pendidikan gaya bank". Dengan mengacu kepada model pendidikan seperti ini, maka output pendidikan hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman, bukannya bersikap kritis terhadap keadaan. Pendidikan dikhawatirkan akan menciptakan lulusan yang apatis dan kurang empati terhadap keadaan sekitarnya.

Dapat kita lihat bersama, bahwa kualitas pendidikan nasional kita terutama pendidikan dasar dan menengah kita, tidaklah luar biasa. The Learning Curve (2014) yang dirilis Pearson misalnya, memposisikan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan terburuk, yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 negara. Sebelumnya, Indonesia berada pada urutan 39 dari 40 negara. Keterpurukan ini terjadi karena berbagai macam kebijakan pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip pedagogi-pembelajaran.

Berdasarkan assesment internasional seperti PISA dan TIMMS (2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015) posisi siswa Indonesia selalu jeblok. Dalam penelitian lain, kualitas guru di Indonesia juga tergolong rendah, tidak berbeda jauh dengan kualitas siswanya. Berdasarkan penelitian World Bank (2012) kualitas guru Indonesia berada di urutan terendah (urutan ke-12 dari 12 negara di Asia). Bahkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya mencapai angka 4,3.

Kualitas guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Sebagian guru tidak pernah mengikuti pelatihan sehingga tidak ada peningkatan kualitas. Banyak pula guru yang pemalas dan mencari jalan pintas dalam mendidik murid-muridnya.

Prestasi buruk siswa dan guru di Indonesia tersebut seolah-olah didukung dengan hasil penelitian tentang sistem pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia termasuk buruk, setara dengan Brazil dan Meksiko. Bahkan berdasarkan data yang dirilis Pearson (2014), Indonesia malah berada dibawah Brazil dan Meksiko.

Permasalahan Pendidikan

Ada beberapa aspek pendidikan yang bisa kita cermati dan mengemuka akhir-akhir ini sebagai masalah-masalah penting dalam pendidikan.

1. Kurikulum.

Kurikulum sering dianggap dokumen sakti yang harus menjadi pegangan. Apa yang tertuang di dalamnya menjadi satu-satunya pegangan. Banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi. Orientasi kurikulum masih dilihat dari ketuntasan materi pelajaran. Guru menjadi panik begitu menyadari materi yang diajarkan belum terselesaikan. Guru selalu dikejar-kejar target kurikulum, padahal pelaksanaan pembelajaran mengalami berbagai situasi yang berbeda-beda setiap semester dan setiap tahunnya. Pembelajaran di kelas sebagian besar masih terbatas pada penyelesaian bahan ajar tanpa mempedulikan, apakah seluruh peserta didik sudah menguasai pelajaran atau belum.

Realitanya hanya sepertiga peserta didik yang menguasai seluruh pelajaran. Sedangkan dua pertiganya akan mengakumulasikan ketidakpahamannya dalam ketidakmampuannya menjawab tes yang diberikan. Selain itu, kepadatan materi dalam kurikulum rupanya tidak signifikan dengan alokasi waktu tersedia. Ini juga merupakan salah satu sebab bahwa materi yang diajarkan di kelas menjadi kurang bermakna dan kurang terlihat relevansinya bagi siswa (Suyanto, 2002: 23).

2. Mahalnya biaya pendidikan.

Bagi sebagian besar masyarakat biaya pendidikan masih dianggap mahal. Pada kenyataannya, masih banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah dengan alasan biaya. Padahal sudah ada dana bantuan dari pusat, tapi tetap saja ada pungutan-pungutan liar yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan antara sekolah dan orang tua siswa. Tapi serta merta kita tidak bisa menyalahkan sekolah saja. Praktek di luar, dana bantuan dari pusat tidak utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana dana-dana tersebut dipangkas oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, masih ada praktek jual-beli kursi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan alasan supaya seorang anak bisa bersekolah di tempat yang diinginkan oleh orang tuanya (yang notabene belum tentu anaknya nyaman berada di sekolah pilihan orang tuanya), orang tua siswa rela untuk merogoh kocek untuk diberikan kepada oknum-oknum yang menjanjikan kesempatan bersekolah di sekolah yang diinginkan. Dan jangan salah, oknum ini tidak harus berasal dari sekolah, banyak pejabat-pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk menekan pihak sekolah supaya anak ini diterima. Jika sejak duduk di bangku sekolah, anak-anak kita sudah terbiasa melihat praktek-praktek curang seperti ini, jangan salahkan banyak koruptor di Indonesia.

3. Tujuan Pendidikan.

Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki kemampuan analisis tentang apa yang terjadi, sehingga bila diterjunkan dalam suatu permasalahan akan dapat mengambil keputusan yang tepat. Akan tetapi fenomenanya, pendidikan dapat pula menyesatkan. Ada pandangan bahwa kualitas pendidikan kita hanya diukur berdasarkan ijazah. Sehingga, saat ini banyak ijazah yang diperjual-belikan. Sebagian pihak akan beranggapan bahwa asal memiliki uang, seseorang tidak perlu bersekolah, mereka hanya tinggal membeli ijazah saja. Bagaimana kondisi bangsa ini, jika semua orang berpikiran seperti itu?

4. Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional.

Kontroversi mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sudah mewacana sejak tahun pelajaran 2002/2003. Pada tahun ajaran tersebut, banyak pihak merasakan penyimpangan dari pelaksanaan UN. Saat itu ada setidaknya empat hal yang dianggap menyimpang dalam pelaksanaan UN. Pertama, bahwa yang dinilai dalam UN hanya aspek kognitif peserta didik. Padahal dalam pendidikan, kemampuan peserta didik meliputi tiga aspek, yaitu: aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kedua, penentuan standar pendidikan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, sehingga merampas hak guru dalam melakukan penilaian. Ketiga, UN mengabaikan unsur penilaian proses. Keempat, yaitu UN memberikan beban sosial dan psikologis kepada siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang di UN-kan. Padahal tujuan pembelajaran adalah untuk membangun pemahaman siswa, bukannya malah menghafal pelajaran.

Saat ini, kelulusan siswa ditentukan oleh Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Dilemanya adalah maraknya kebocoran yang mungkin akan timbul jika USBN dijadikan penentu kelulusan. Soal USBN ini dibuat secara regional dan menjadi tolok ukur lulus tidaknya seorang siswa. Pertanyaannya, sudah siapkah kita?

5. Fasilitas Pendidikan.

Sering kita mendengar dan melihat di televisi berita tentang sekolah-sekolah yang hampir roboh, dimana anak-anaknya terpaksa belajar di luar kelas. Bukankah negara ini memiliki anggaran pendidikan yang dapat digunakan untuk menanggulangi permasalahan seperti ini? Para pejabat kita di Senayan saja, bisa melakukan tur ke luar negeri berkedok studi banding, mengapa hanya memperbaiki sekolah yang rusak mesti berlarut-larut? Yang dirugikan tentunya generasi penerus bangsa ini. Bagaimana mereka tidak was-was, jika harus belajar di dalam gedung yang hampir roboh (Kasim, 2009).

6. Anggaran Pendidikan.

Dapat kita lihat bersama bahwa anggaran pendidikan merupakan salah satu permasalahan krusial dalam penyelenggaraan pendidikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita, mengalokasikan 20% anggaran untuk digunakan di sektor pendidikan. Namun ternyata, penggunaan anggaran tersebut tidak murni hanya digunakan untuk operasional dana pendidikan. Anggaran belanja guru dan tenaga kependidikan untuk seluruh wilayah Indonesia, juga anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan seperti Akademi Militer dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), juga dibebankan dalam 20% APBN. Akibatnya, dana pendidikan untuk operasional institusi pendidikan umum menjadi semakin sedikit dan tidak bisa terserap secara maksimal.

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pendidikan banyak dikorup terutama di tingkat pemerintah daerah. Sehingga, anggaran pendidikan yang benar-benar dapat dinikmati oleh siswa menjadi berkurang. Tidak heran, kualitas pendidikan kita begini-begini saja dengan sarana prasarana yang terbatas karena tidak pernah diperbaharui (akibat dikorup dan tidak maksimalnya serapan dana pendidikan). Apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut, dapat dipastikan bahwa kualitas pendidikan kita tidak akan bertambah baik ke depannya.

7. Tenaga Kependidikan.

Solusi kunci yang dibutuhkan dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia sebenarnya adalah membenahi guru dari hulu-nya (LPTK). Apabila tenaga pendidiknya berkualitas, maka murid pun juga akan berkualitas. Jika guru dan siswanya berkualitas maka sekolah akan berkualitas. Sekolah berkualitas akan mendorong kemajuan suatu daerah. Dan kemajuan daerah akan menjadikan Indonesia lebih baik. Sehingga rumus kunci penyelesaian permasalahan pendidikan di Indonesia adalah pembenahan kualitas guru. Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah guru yang tidak bisa mengajar”. Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan formula tepat untuk mencetak guru-guru handal, bukanlah guru-guru dengan pengetahuan seadanya, yang nantinya menghasilkan lulusan dengan pengetahuan seadanya pula.

Guru seharusnya merupakan profesi yang diisi oleh orang-orang yang paling unggul dan handal di bidangnya. Bukan oleh orang-orang sisa yang tidak mendapatkan posisi di bidang lain. Pola rekruitmen, pendidikan, dan pelatihan bagi calon guru haruslah menjadi fokus pemerintah ke depannya.

Pada level pendidikan dasar dan menengah, masih banyak guru yang dipekerjakan dan dibutuhkan keahliannya, namun masih berstatus honorer. Di perguruan tinggi pun terdapat kecenderungan semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja honorer dibandingkan yang tetap. Bagaimana mungkin pemerintah menjadikan institusi pendidikan menjadi lebih baik lagi, apabila kualitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan tidak pernah diperhatikan?

Parahnya beberapa tahun belakangan, pemerintah juga melakukan moratorium pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Akibatnya, banyak tenaga honorer yang tidak memiliki kejelasan nasib. Selain itu, lulusan perguruan tinggi yang mengambil jurusan keguruan juga mengalami penumpukan dan terancam menganggur. Pemerintah ke depan harus dapat memformulasikan kebijakan yang tepat untuk menanggulangi permasalahan ini.

Rekomendasi

1. Jika mengkaji permasalahan kurikulum, hal yang dapat kita benahi adalah pelaksanaan dan tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum. Janganlah guru dituntut untuk menghabiskan materi. Bukankah pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa benar-benar memahami materi walaupun sedikit, daripada banyak tapi yang diketahui hanya permukaannya saja.

2. Menyoal masalah biaya, jika semua pemangku pendidikan menjalakan program dengan benar, anggaran pendidikan di negara ini tidaklah sedikit. Sayangnya dengan adanya permainan oknum-oknum, pemerataan penerimaan dana pendidikan pun menjadi tidak seimbang. Pendidikan yang berkualitas memang tidaklah murah. Pendidikan memang tidak harus murah atau gratis, namun pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh akses terhadap pendidikan yang bermutu. Idealnya, pendidikan di Indonesia harus dapat ditempuh oleh anak usia sekolah minimal SMA atau sederajat, tanpa memandang anak tersebut berasal dari keluarga kaya ataupun miskin.

3. Munculnya anggapan bahwa dalam bersekolah yang penting hanyalah mendapatkan ijazah, adalah logika yang sesat dan keliru. Ijazah memang penting untuk menunjukkan legalitas kemampuan kita, akan tetapi hendaknya seluruh pihak yang terkait perlu lebih menekankan pada proses perolehan ijazah.

4. Pelaksanaan UN masih relevan, tetapi dalam prosesnya masih ada yang perlu diperhatikan dan dibenahi, seperti mengenai standar yang ditetapkan. Lalu terkait USBN, masih banyak daerah-daerah yang belum siap dengan mekanisme penyelenggaraan maupun pembuatan soal. USBN ini juga rawan bocor dan memperbesar resiko pelanggaran. Untuk itu, perlu ada kontrol yang ketat dari pemerintah terkait dengan pelaksanaan USBN.

5. Masalah sarana prasarana tentunya berpulang pada komitmen pemerintah dan pemangku pendidikan terkait. Apakah mereka benar-benar berniat mengabdi atau sekedar meraup keuntungan di tengah carut marutnya kondisi pendidikan bangsa ini? Jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan bangsa, niscaya akan tercipta pendidikan yang berkualitas. Seluruh perangkat, mulai dari pejabat pusat hingga guru harus memiliki komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan bangsa ini. Pemerintah juga harus memastikan bahwa fasilitas pendidikan yang layak bisa dinikmati oleh seluruh warga negara, tak terkecuali yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.

6. Politik anggaran 20% APBN untuk pendidikan haruslah dijalankan dengan ketat dan realokasi anggaran belanja pegawai harus dikeluarkan dari kuota 20% sesuai amanat konstitusi. Pemerintah pun perlu memaksimalkan penerimaan pajak untuk alokasi pendidikan dan menyediakan anggaran setidaknya 80 triliun rupiah untuk pendidikan tinggi dalam menjalankan mandat Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang mengarah ke cuma-cuma.

7. Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan profesionalisme guru melalui pelatihan, pengembangan subjek ajar, dan keterampilan pengajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah perlu mengangkat guru dan tenaga kependidikan yang berstatus honorer untuk menjamin kualitas kerja dan kesejahteraan. Moratorium pengangkatan PNS untuk tenaga pendidik juga sudah semestinya dicabut. Terkait dengan sistem manajemen tenaga kependidikan, perlu adanya penghapusan sistem ketenagakerjaan layaknya swasta ataupun perusahaan, seperti sistem kontrak, outsourcing, dan lain sebagainya.

Akhir kata, berbagai masalah pendidikan dapat diselesaikan dengan memulai perubahan dan perbaikan sistem pendidikan nasional. Pemerintah harus mampu melakukan evaluasi dan pengembangan yang sifatnya partisipatif. Untuk memajukan dan membangun pendidikan nasional, pemerintah perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang terbaik, bersama-sama.

“Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.” (Ki Hajar Dewantara)

Ikuti tulisan menarik Manik Sukoco lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler