x

Iklan

Ridhony Hutasoit

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antisipasi 'Jebakan Sial' untuk Sistem Presidensial Kita

Bias Batas Kewenangan yang Perlu Ditanggulangi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam menjalankan kekuasaan rakyat, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Distribusi kekuasaan dalam sistem ini sejatinya sangat minim irisan. Pemisahan legislatif dan eksekutif sangat nyata terasa, keduanya saling independen. Namun masa kini, sistem pemerintahan kita seperti terjebak dengan penafsiran lain atas hak/kewenangan parlemen. Seolah-olah peran pengawasan parlemen telah masuk ke ranah pengawasan dalam posisi vertikal, bukan horizontal. DPR mulai memposisikan diri kembali sebagai MPR di masa lalu, padahal saat ini tatanan tertinggi negara ini bukan lagi suatu lembaga, melainkan hukum itu sendiri melalui UUD 1945. Memang dalam hal akuntabilitas, eksekutif melalui Presiden melaporkan kinerjanya kepada DPR, termasuk di dalamnya persetujuan APBN. Hal ini dilakukan karena DPR sebagai representasi kekuasaan rakyat, namum secara kelembagaan posisi DPR dan Presiden sejajar.

Dalam konsep presidensial, indepedensi dalam hubungan ini sejatinya bertujuan agar eksekutif dapat leluasa berkreasi untuk menjalankan segala program-program yang telah direncanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah sebagaimanna ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015.  Lucunya, masa ini Parlemen makin salah kaprah dalam memposisikan diri dalam persetujuan program-program pemerintah, khususnya terkait alokasi anggaran. Parlemen memang sangat gemar untuk mengutak-atik anggaran dan bahkan terbiasa menambahkan kegiatan-kegiatan, atau dengan bahasa yang lebih “teknis”, proyek-proyek dalam APBN. Tidak jarang proyek-proyek ini melenceng dari indikator program yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (output/outcome). Penyimpangan ini tidak lain disebabkan oleh upaya balik modal yang tergerus dan/atau utang budi kepada para pihak yang berhasil membantu dirinya untuk menduduki kursi di Parlemen. Interversi ini sejatinya melabrak konsep presidensial. Namun, sialnya, Parlemen akan selalu kekeuh berargumen dengan menggunakan tafsiran atas undang-undang. Syukur, MK pernah mentafsirkan secara lugas tentang kewenanggan Parlemen yang membawa pada pembubaran Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Banggar memang sudah bubar tapi praktiknya masih tersisa dengan metode lain dan dominan lisan. Kondisi ini tidak akan berhenti jikalau eksekutif tidak berani bersikap. Lihat saja, saat dipanggil DPR tidak sedikit menteri yang memberikan gesture kecut terhadap DPR, apalagi ada saja oknum DPR yang suka menggunakan frase “contempt of parlemen”. Dalam presidensial, sangat jelas Menteri bertanggungjawab kepada Presiden. Menteri harus lebih takut ketika program dan janji presiden tidak tergenapi, daripada “titipan-titipan” oknum di Parlemen digenapi. Memang, sikap eksekutif ini akan membawa kepada dominansi iklim politik yang tidak kondusif. Tapi, bukankan kasus hambalang, e-KTP dan kasus lainnya sudah menjadi saksi lugas dampak intervensi ini? Padahal dalam UU dinyatakan jikalau tidak ada kesepakatan antara eksekutif dan legislatif maka APBN tetap akan tersedia dengan menggunakan substansi APBN tahun sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jikalau seperti ini terus, politik di Indonesia akan makin tergerus dari takrifnya. Politik bangsa ini akan makin mendasarkan dirinya bukan pada kehendak rakyat, melainkan kepada  “rasa keyang” diri sendiri dan/atau segelintir kelompok. “Rasa kenyang” ini jikalau dibiarkan akan “mengurita” menjadi pembiasaan atas kekuasaan yang berputar pada mekanisme dinasti. Dan kini, makin terlihat! Selain itu, Parlemen akhir-akhir ini mulai berani menyalahgunakan kewenangannya untuk mengintervensi penegakkan hukum sehubungan dengan keterkaitan banyak oknum-oknum Parlemen pada kasus-kasus mega korupsi yang sedang ditangani KPK. Bukankah dulu pernah ada berita, oknum Parlemen yang malah menyalahkan aparat penegak hukum dan marah-marah sambil billang: “ ini contempt of parlemen ya!!” ketika KPK melakukan penggeledahan di DPR, atau pengungkapan nama-nama oknum DPR yang terlibat/terkait kasus kepada masyarakat. Seolah-olah tindak tersebut membuat malu dan menghancurkan kewibawaan lembaga negara, DPR kita. Lha, bukannya oknum-oknum DPR- terhormat itulah root cause pencoreng lembaga kebanggan bangsa ini?!

Kondisi ini semakin semakin menggerus sistem pemerintah presidensial di negara ini. Anggota parlemen yang mengganggap dirinya wakil rakyat terus membangun persepsi bahwa posisi DPR yang poweful dan kebal atas segala hukum, padahal tidak sedikit rakyat makin muak melihat kelakuan oknum-oknum parlemen tersebut. Saya terkadang membisu miris, dan cenderung geram ketika tetap ada wakil rakyat yang pura-pura tidak sadar atas kondisi ini.

Kini, saatnya sistem presidensial dikembalikan kepada maruah hakikinya. Pengembalian keseimbangan tatanan presidensial dapat diakomodasi melalui penyusunan APBN yang berbasis teknologi informasi (e-bugeting) serta keberanian Presiden dan pembantunya untuk menolak setiap proyek yang tidak sesuai akal sehat RPJMN. Perencanaan dan penganggaran Provinsi DKI Jakarta dapat menjadi teladan bangsa ini untuk memulainya. Di sisi lain, aspek pengawasan perlu diperkuat sebagai mata dan telinga Presiden, sekaligus alat Presiden untuk menengahi dan menjawab segala kewenangan antar institusi. Melalui Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang kuat dan sinergi,  surat atensi Presiden dapat menjadi ranah komunikasi politik yang akuntabel, sekaligus mengedepankan pemecahan masalah silang pendapat tentang suatu kebijakan termasuk hal-hal yang terkait keuangan negara. Pemecahan masalah yang memprioritaskan penyelesaian dalam ranah administrasi merupakan strategi taktis dalam UU Administrasi Pemerintah dalam rangka menjaga kelancaran pembangunan dan minimalisasi ketakutan pejabant negara untuk mengambil kebijakan/diskresi, karena jika sudah masuk area litigasi, biasanya pembangunan terhenti (mangkrak). Di sisi lain, kehadiran APIP yang kuat dan sinergi akan mampu menjadi pengungkit check and balances terhadap pengawasan yang dilakukan DPR, termasuk pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang dilakukan BPK sebagai auditor eksternal negara ini sehingga masing-masing komponen negara dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional dan sesuai dengan ketentuan.

Ikuti tulisan menarik Ridhony Hutasoit lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler