x

Iklan

Rinsan Tobing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#Klinik Opini | Perangkap Piutang

Ketika utang masih kecil, kreditor menguasai debitor. Tapi, ketika hutang sangat besar, bisa jadi debitor yang mengatur kreditor. Terjadi perangkap piutang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah yang biasa didengar adalah perangkap hutang. Dimana sebuah negara harus tunduk kepada pemberi hutang dengan segala syarat dan tuntutannya agar mendapatkan pinjaman hutang yang diperlukan untuk menutup defisit anggaran belanja negaranya.

Syarat-syarat yang diberikan para pemberi hutang sangat bervariasi dan biasanya sangat politis. Kadang, pinjamam tidak jadi dilakukan sebab syaratnya sangat sensitif dan cenderung mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.

Mungkin masih ingat dengan IGGI dengna ketuanya JanPieter Jan Pronk yang ditolak oleh Suharto pada Maret 1992, karena mengaitkan pemberian pinjaman dengan isu hak asasi manusia, terutama peristiwa Santa Cruz di Timor Timur. Soekarno juga pernah menolak bantuan yang penuh dengan syarat ini. Ucapan Soekarno “Go to hell with your aid” menandai hutang tidak selalu ‘tulus’ diberikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tahun 1997, ketika kekacauan perekonomian terjadi di Indonesia, International Monetary Fund (IMF), memberikan bantuan 11,3 milyar dolar dengan berbagai syarat yang harus dipatuhi.

Apa mau dikata, dengan gaya seperti seorang murid di depan gurunya, Soeharto menandatangani Letter of Intent di hadapan Mr. Camdessus ketika itu dan IMF mencairkan bantuan. Beberapa syarat yang diajukan termasuk privatisasi perbankan, penghentian bantuan pemerintah untuk proyek mobil nasional, reformasi PNS, perubahan undang-undangan, devaluasi mata uang, peniadaan kontrol uang, liberalisasi harga, penghapusan subsidi dan harga, pengetatan anggaran, dan liberalisasi perdagangan.

Hutang menjadi perangkap, terutama bagi negara ketiga seperti Indonesia karena hutang yang semakin besar dari tahun ke tahun. Sementara peningkatan pendapatan dalam negeri ternyata tidak dimaksimalkan. Belum lagi, penggunaan hutang yang seharusnya untuk belanja modal, malah diberikan untuk subsidi yang tidak tepat. Hutang digunakan untuk membiayai program-program populis. Subsidi bahan bakar bahkan dibiayai dari hutang. Lalu, darimana uang diambil untuk mengembalikannya?

Di Indonesia ternyata telah terjadi praktek gali lobang tutup lobang. Pemerintah mencari bantuan hutang untuk menutup pokok dan bunga pinjaman yang jatuh tempo. Besarnya hutang ini menempatkan negara penghutang menjadi lemah di mata donor. Hal ini akan bermuara pada gampangnya negara-negara debitor itu dicocok hidung oleh kreditor.

Lalu globalisasi menjadi gampang diterima negara pengutang. Swastanisasi perusahaan negara menjadi segera dilakukan. Perdagangan bebas menjadi jargon baru. Penuruan tarif bea impor gampang direalisasikan. Penanaman modal asing menjadi marak. Cost recovery di sektor migas gampang dimainkan. Semuanya dipersyaratkan dalam perjanjian pinjaman.

Tetapi, jika hutang terus membengkak dan membengkak, disamping berdampak negatif terhadap negara penghutang, ternyata menimbulkan kecemasan para negara kreditor. Negara pengutang bisa menyandera negara pemberi hutang. Debitor bisa ‘menyandera’ kreditor. Perangkap hutang bisa berubah menjadi perangkap piutang.

 

Kreditur yang Tersandera

Dalam salah satu adegan di salah satu film Godfather, ada satu ucapan Al Capone yang bisa dimaknai sebagai gambaran perangkap piutang. “Jika kamu memiliki pinjaman ke bank sebanyak 1000 dolar, maka kamu milik bank. Jika kamu memiliki hutang 1 juta dolar ke bank, maka kamu memiliki bank”, ujar Al Capone dalam adegan itu. Kurang lebih seperti itu ucapannya. Dalam konteks film yang berlatar belakang tahun 1940-an itu, jumlah uang 1 juta dollar sudah sangat besar.

Makna dari ucapan itu bisa diartikan bahwa ketika pinjamam kita kecil, maka bank akan dengan gampang menekan dengan segala instrumennya, jika kita mengalami masalah dengan pinjaman itu. Tetapi, ketika jumlah uang bank yang di pegang oleh debitur sangat besar, maka bank akan sangat hati-hati.

Jika sang debitur gagal, uang bank bisa hangus. Bisa jadi nilai aset debitur tidak cukup menutupi hutang. Maka, jika debitur mengalami masalah, bank akan membantu sekuat tenaga untuk memastikan debitur dapat berusaha kembali sehingga pinjamannya dapat dikembalikan. Kemungkinan, nasabah kecil lebih taat aturan, bisa jadi karena mereka adalah milik bank. Sementara debitur-debitur besar lebih leluasa mengatur bank.

Dalam konteks hutang dan piutang atau kreditor dan debitur di level negara sepertinya memiliki pola yang sama seperti diceritakan di atas.

Jepang, sebagai kreditur terbesar di Asia dan di Indonesia, dan bisa dianggap sebagai ‘penguasa’ Asian Development Bank, sangat hati-hati dengan Indonesia. Memberikan pinjaman dan memastikan pinjaman itu dikembalikan merupakan bagian dari tanggung-jawab Jepang juga.

Bisa dibayangkan jika Indonesia gagal dalam perekonomiannya dan ujungnya gagal membayar hutang-hutangnya, kerugian Jepang dengan investasinya di Indonesia bisa sangat besar. Perusahaan-perusahaan otomotif Jepang di Indonesia - Toyota, Yamaha, Honda, Mitsubishi - akan mengalami kerugian besar dan kehilangan pasar yang berujung pada berhentinya pemasukan dari industri otomotif Jepang di Indonesia.

Pinjaman Jepang yang dilakukan dengan sangat hati-hati tetap saja memiliki risiko gagal bayar jika Indonesia mengalami masalah. Untuk itulah, salah satu aspek prudent yang dilakukan Jepang dengan mensyarakatkan pekerja Jepang bagian dari pinjaman terutama untuk pinjaman proyek seperti Mass Rapid Transport (MRT) di Jakarta.

Serupa dengan Jepang, Cina juga mengalami hal yang sama dengan Amerika Serikat. Awalnya, Cina sangat bangga bahwa Cina sanggup membeli surat-surat berharga Amerika Serikat dalam jumlah banyak.

Tampaknya, Cina ingin unjuk kekuatan ketika negara bambu kuning itu berhasil memacu ekonominya dan melebihi Amerika Serikat. Kekayaan dan devisa juga meningkat yang bermuara pada tersedianya dana yang cukup besar untuk diinvestasikan. Dalam konteks persaingan, Cina pun membeli surat-surat berharga Amerika Serikat itu.

China sejak 2008 bahkan menjadi kreditor terbesar Amerika Serikat. Menurut data dari money.cnn.com, pada 2015 Cina memiliki piutang sebesar 1, 227 trilyun dolar ke Amerika Serikat. Pada bulan Maret 2015 sempat dikalahkan Jepang, dengan selisih yang cukup tipis. Piutang Cina sekitar 1,12 trilyun dan Jepang 1,13 trilyun dolar. Tetapi Cina mengambilnya kembali pada Desember 2016. Selama 6 tahun sejak 2008, Cina menjadi kreditor terbesar Amerika Serikat

Lalu, pada krisis kredit perumahan di Amerika Serikat pada 2008. Amerika Serikat mengalami kredit macet yang luar biasa akibat praktek curang pihak perbankan dan pihak fund management yang melahirkan banyak sekali derivative investasi yang ternyata uangnya itu-itu saja.

Uang dipinjamkan bank ke developer untuk membangun rumah. Rumah terbangun lalu perbankan memberikan kredit kepada nasabah, bahkan nasabah yang tidak mampu sekalipun. Uang masuk dipinjamkan kembali ke developer karena melihat ada permintaan perumahan yang tinggi. Permintaan tinggi ternyata dikreasi dengan cara kredit murah bahkan nasabah bisa mengkredit lebih dari satu rumah. Akibatnya, nasabah gagal bayar. Rumah sudah terbangun, kredit macet dan perbankan hampir bangkrut.

Amerika Serikat heboh dan Cina tak kalah paniknya. Jika Amerika Serikat bangkrut, Cina berfikir tentang piutangnya. Akhirnya Cina ikut membantu Amerika Serikat yang memiliki kekayaan 14 trilyun dolar ini untuk kembali bangkit dengan bail out sekitar 750 milyar dolar.

Cina tidak bisa berkutik melihat kenyataan bahwa ekonomi Amerika Serikat harus ditopang. Karena urusannya terkait piutang yang tidak tertagih jika Amerika Serikat bangkrut. Meskipun Cina tetap memberikan syarat, tetapi itu cenderung sebagai ‘basa-basi’, karena Cina lebih khawatir tentang keberhasilan Amerika Serikat untuk melunasi hutang-hutangnya. Cina harus memastikan piutangnya di Amerika Serikat dapat dicairkan, dengan membantu ekonomi Amerika Serikat.

Posisi kreditur dan debitur jadi terbalik. Biasanya kreditur akan dengan leluasa menekan debitur jika terjadi kendala dalam pembayaran utangnya. Akan tetapi, ketika piutang yang diberikan sudah sangat besar, seperti kasus Cina dan Amerika di atas, debitur malah harus ikut repot-repot untuk memastikan krediturnya dapat berdiri tegak dan bekerja kembali. Kondisi piutang yang sangat besar malah menciptakan perangkap piutang bagi kreditur.  

Bisa jadi, para pemimpin negara-negara pengutang itu memahami aspek paradoksal dari hutang negara. Situasi paradoksal ini muncul ketika hutang yang ‘dikuasai’ luar biasa besar. Tentunya, tidak semua seperti itu, hanya negara-negara yang masih dianggap bisa mengembalikan hutang dengan ‘jaminan’ PDB-nya atau kekayaan negaranya, yang akan diberikan hutang, jika ada permintaan. Seperti Indonesia, yang masih dianggap mampu untuk membayar hutang-hutangnya meskipun sudah lebih dari Rp. 3.000 trilyun.

 “Perbanyaklah hutang dan siapkan perangkap untuk para kreditor itu” bathin seorang pemimpin lalim di sebuah negeri, dulu sekali. Bisa jadi.

Ikuti tulisan menarik Rinsan Tobing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler