x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Diplomasi Spruce

Tak banyak obrolan yang bisa dimulai dari persoalan pohon. Ini satu di antara sedikit obrolan itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Nama Anda seperti nama pembalap," komentar saya begitu membaca kartu namanya. Sebagai orang asli suatu negeri lengang di belahan bumi utara sana, tingginya cuma rata-rata orang nusantara. Untuk ukuran orang utara, saya pikir ia kurang menjulang. Tetapi keramahtamahannya sungguh seperti orang Indonesia.

Saya baca jabatannya. Atase, menangani urusan konsuler. Saya pandang lagi raut mukanya dan tampilannya. Dengan kaos sederhana begitu, siapa nyana ia pejabat tinggi di sini. Usianya tidak muda lagi dengan wajah berberewok abu-abu di sana sini. Saya tebak di masa mudanya rambutnya yang mulai membotak dan memutih juga sepirang gadis-gadis muda Skandinavia yang bersama dengannya. Gadis-gadis yang dengan seksisnya disapa jahil oleh oknum kroco yang sambil merokok berkata,"Neng, sini. Mau ke mana, Neng?" Norak.

Sebelum ia sodorkan kartu nama, saya sempat mengobrol beberapa lama setelah iseng menanyajan padanya apakah ada rilis pers dalam peristiwa yang baru saja kami saksikan bersama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kenapa pohon ini yang ditanam? Apakah ini pohon asli negeri Anda?" Saya lontarkan pertanyaan tanpa banyak pertimbangan, untuk kemudian sedikit menyesali kekonyolan yang terkandung di dalamnya.

Ia menjelaskan panjang lebar bahwa tentu pohon yang dipilih ditanam di Jakarta bukan pohon asli tanah airnya yang dekat dengan kutub utara. "Jelas pohon itu tidak akan bisa tumbuh di Jakarta yang panas sepanjang tahun." Saya tersenyum kecut. Tentu demikian logikanya. 

Pohon aslinya bernama Home Spruce. Saya yang seumur hidup mendekam di wilayah tropis tak bisa membayangkan rupa dan ciri fisik pohon itu. 

Ia bersedia membantu menyusun imaji Home Spruce dalam benak saya. "Pohonnya mirip cemara. Kami sering pakai sebagai pohon natal juga. Ini pohon menjadi kebanggaan nasional kami."

"Apakah hanya tumbuh di negara Anda?" Timpal saya tanpa berani menyebut nama. Beginilah kalau keasyikan berbicara, lupa berkenalan.

Home Spruce, imbuhnya, hanya tumbuh di belahan bumi utara. Kayunya bisa dipakai apa saja. Termasuk membangun rumah dan perabotan. Multiguna. Bahkan getahnya bermanfaat untuk mempercepat penyembuhan luka. Untuk meredakan kemerahan di kulit, biasanya getah tadi dicampur dengan lilin lebah alias bee wax. Oleskan dan keluhan raib. Tetapi getah itu juga yang membuat kayu Home Spruce mesti dikeringkan dulm dulu sebelum diolah sebagai elemen bangunan. 

Saya pernah dengar negerinya yang damai dan hening. Penduduknya sedikit, tak banyak berulah, relatif tertib dan waras. Politik domestik tak banyak menjadi berita. Lain dari sini yang hingar bingar. Untuk bertanya soal politik, saya merasa tidak tergelitik. Cukup.

Saya bersimpati padanya. Kesulitan beradaptasinya luar biasa untuk bisa hidup di Jakarta. Lalu lintas dan cuaca menjadi tantangan utama. Ia stres dengan Jakarta yang penduduknya setara total rakyat negerinya. Hanya saja mereka hidup di lahan yang jauh lebih lapang dari sini. Saya bergurau bahwa hutan menjadi pemisah antarrumah. Bukan pagar atau halaman. Saya terka dari deskripsi latar tempat novel Jonas Jonasson. 

"Kami punya lelucon khas," tuturnya. Ia tunjukkan kartun di layar iPhonenya. "Dua orang di negeri kami jika bertemu biasanya hanya bertatap mata lalu tersenyum." Itu karena mereka tinggal begitu jauhnya dari tetangga terdekat sampai mereka tidak tahu apa yang mesti dibicarakan saat bersua. 

Saya tidak menangkap stereotip itu dalam dirinya. Mungkin itu karena pengaruh Indonesia telah merasuk hingga sumsum tulangnya. 

"Pernah saya mengantar orang Indonesia untuk tinggal di sebuah rumah. Ia datang di saat terburuk. Bulan September sampai April. Gelap dan dingin. Dua bulan saja ia bertahan. Tidak kuat," ujarnya. 

Depresif memang. Makhluk tropis yang malang terkungkung dalam cengkeraman iklim dingin yang ekstrim.

Tetapi setidaknya itu tempat ideal untuk beryoga dan bermeditasi, tandas saya.

"Ya, Anda betul. Hahaha!" Tawanya meledak meskipun agak kaku dan kurang lepas. Di sini, ia menjadi perwujudan stereotip bangsanya.

Saya lempar pandangan beberapa puluh meter ke depan, mengamati kendaraan-kendaraan yang menggeram tak bisa melaju dikekang merahnya lampu. Para pengendara yang berpeluh dan tak sabaran tertimpa sinar surya.

Ah, bagaimanapun keramaian semacam inilah yang mungkin membuat orang tropis dari sini tetap optimis dan bergairah. Meski menggerutu lebih sering, kami juga tertawa lebih sering. Dan bagaimanapun dahsyatnya setan bernama inferiority complex bersemayam dalam otak kami yang membuat kami memuja negeri dan bangsa asing, kami akan selalu merindukan juga tempat yang panas, hiruk pikuk, dan kacau balau ini tak peduli banyaknya tempat lebih indah dan cantik yang terkunjungi oleh kami di muka bumi. (*)

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB