x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesantren IMMIM (03): Kiprah Alumni

Berkualitas-tidaknya sebuah lembaga pendidikan akan terlihat dari kiprah dan sepak terjang para alumninya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengulas tentang almamater sendiri memang sering tak terhindarkan dari adanya rasa ujub. Tapi melalui artikel saduran ini, perkenankan saya mengulasnya dengan cara sederhana, sebagai bagian dari silaturahim. Colek semua alumni IMMIM di manapun berada.

Seminggu lalu, tepatnya pada 30 April 2017, Pesantren IMMIM Putra telah mewisuda alumninya yang angkatan ke-37. Saya menerima foto acaranya, yang memperlihatkan adik-adik itu – yang berselisih usia dengan saya lebih dari 30 tahun – berdiri berbaris rapi, berseragam putih-putih, berkopiah hitam (catatan: saya tidak/belum menerima informasi terkait wisuda serupa di Pesantrin IMMIM Putri di Minasate’ne).

Artinya, Pesantren IMMIM sudah berusia 43 tahun, dan telah menamatkan 37 angkatan. Kalau dirata-rata setiap angkatan sekitar 100 orang (putra-putri), berarti total alumni IMMIM saat ini diperkirakan kurang lebih 4.000 alumni. Jumlah yang relatif sudah cukup banyak. Alumni itu diwadahi sebuah organisasi bernama IAPIM (Ikatan Alumni Pesantren IMMIM), yang sejak awal sudah mematok sebuah tradisi: bahwa yang disebut alumni IMMIM adalah semua yang pernah mengecap pendidikan di IMMIM, walaupun sehari-dua hari. Mencakup semua mantan santri, tamat ataupun yang tidak tamat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekedar informasi kepada pembaca non-alumni, Ponpes IMMIM (Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah) adalah pondok yang terletak di KM-10 dari Kota Makassar ke arah Bandara Mandai. Berdiri – dalam arti mulai menerima santri – pada tahun 1975, dan merupakan salah satu ponpes terbesar di Sulawesi (paling tidak dari segi jumlah santrinya). Alumni pertamanya tahun 1981.

Kalau mengacu pada pengalaman Ponpes Gontor, yang pada tahun 2017 mewisuda alumni angkatan ke-92, berarti perjalanan alumni IMMIM baru sepertiga dari Gontor. Masih panjang, memang Bung (menurut data saya, alumni Gontor angkatan ke-1 tahun 1926).

Alumni IMMIM angkatan ke-1, 2, 3 sampai ke-6, umumnya kini berusia pada kisaran 50 s/d 55 tahunan. Beberapa di antaranya sudah alrmarhum/almarhumah. Sebagian besar yang masih menikmati karunia hidup, boleh dibilang unggul di bidangnya masing-masing. Hanya mungkin pengaruhnya masih bersifat lokal (secara wilayah ataupun bidang), dan tentu belum terlalu tampak bila diukur secara level nasional Indonesia.

Kalau mengacu pada periodisasi generasi alumni – misalnya dihitung per 30 tahunan – berarti IMMIM sebenarnya baru memiliki satu generasi alumni (lebih dikit). Berdasarkan pengalaman Ponpes lainnya, alumni sebuah Ponpes akan kelihatan kibaran sayapnya setelah memasuki generasi alumni 30 tahun kedua, yakni setelah mewisuda sekitar 50 sampai 60 angkatan.

Gontor misalnya, sebagian besar alumninya yang berkibar secara nasional – selama beberapa tahun terkahir – adalah alumni angkatan 31 s/d 60-an (1956-1985): di sini kita bisa menyebut nama-nama besar seperti Noor Khalis Madjid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid, Lukman Saifuddin atau bahkan Abu Bakar Ba’asyir. Sementara alumni Gontor generasi ketiga (angkatan ke-61 s.d ke-90) masih sedang dalam proses menapaki hidup di bidangnya masing-masing.

Artinya Pesantren IMMIM cq IAPIM masih memerlukan waktu sekitar 20 s/d 25 tahun ke depan untuk berkibar secara nasional. Secara normal, memang belum waktunya, ces. Tentu proses itu bisa dipercepat, dan pasti bakal muncul beberapa kasus pengecualian, tapi jumlahnya belum banyak.

Di bidang birokrasi pemerintahan misalnya, belum ada alumni IMMIM, yang menduduki jabatan eselon-I atau setara misalnya Dirjen atau Gubernur (kalau informasi ini salah, tolong dikoreksi). Di tingkat nasional, ada beberapa Kementerian/Lembaga negara yang alumni IMMIM-nya masih bisa dihitung dengan jari tangan.

Dibidang akademik, tak terhitung jumlahnya yang sudah meraih gelar doktor (S3), dan dalam hitungan beberapa tahun ke depan, bakal banyak yang jadi rektor. Beberapa sudah mencapai level professor (salah satunya kebetulan Alumni De-lima, sdr. Irfan Idris).

Alumni IMMIM yang berkarir di TNI/Polri, mungkin baru berpangkat Kolonel atau Kombes (belum ada yang berpangkat bintang), tapi sebentar lagi bintang-bintang itu akan segera bersinar.

Di bidang politik, mungkin ada beberapa alumni IMMIM yang sudah menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota, Ketua DPD mungkin. Tapi setahu saya, belum ada (padahal maunya) ada yang menjadi Ketua Umum Partai Politik di tingkat nasional. Tapi sekali lagi, memang belum waktunya.

Alumni yang memilih berkiprah di dunia swasta, perusahaan-perusahaan besar nasional atau multinasional, pasti sudah banyak yang mencapai tingkat manager senior, sebagian kecil telah mencapai jabatan direktur, dan satu dua tiga mungkin sudah menjabat Direktur Utama.

Alumni yang memilih kegiatan di dunia wiraswasta/pengusaha, saya yakin banyak yang sukses. Tapi sepertinya belum ada yang mencapai kelas konglomerat. Kalau poin yang satu ini, saya tidak berani memprediksinya.

Artinya, kalau dirata-rata, alumni IMMIM sekarang ini, di bidangnya masing-masing, masih sedang sibuk memantapkan posisinya dan melebarkan sayap pengaruhnya di tingkat eselon II dan III (birokrasi pemerintahan), atau sebagai manager senior atau direktur di perusahaan profesional, nasional ataupun multinasional, atau sebagai pengusaha level menengah.

Makanya, jangan heran, di semua instansi pemerintahan di tingkat provinsi di Pulau Sulawesi (khususnya Sulsel dan Sulbar), dengan mudah ditemukan alumni IMMIM. Atau beberapa alumni kini telah dan hampir menduduki jabatan Ketua Peradilan Agama. Dan saya yakin, tidak ada lagi Kantor Dinas di Makassar yang tidak ada alumni IMMIM-nya.

Nah, kalau misalnya menyetir mobil dari Makassar ke Mamuju (atau ke Palopo), via Pare-Pare, terus mogok atau kempes ban mobil-ta di salah satu kabupaten yang dilewati, tinggal cari kantor Peradilan Agama, pasti ketemu alumni IMMIM, dan Insya Allah semuanya akan dengan senang hati mau membantu, minimal akan disuguhi bolu bakar, bahkan kalau mau, menginap pun tak jadi soal (he he he).

Ketika substansi artikel aslinya pertama kali di-upload pada Oktober 2015, seorang adik alumni, yang kini aktif di STAIN Sorong Papua Barat, Ismail Suardi Wekke, merespon dengan mengirimi saya daftar nama-nama alumni IMMIM yang berkiprah di berbagai bidang (jika mau dan sempat, silahkan dirujuk postingan Suardi Wekke di akun Facebook-nya pada 21 Oktober 2015). Ismail Suardi Wekke malah sudah meng-upload gambar sampul buku berjudul “Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern”, yang ditulis Dr. Muljono Damopilii, M.Ag, yang bukan alumni IMMIM.

Dan semua yang “belum belum” itu, yang notabene masih banyak, tinggal menunggu proses waktu saja. Believe me, it’s just the matter time. Posisi-posisi strategis itu takkan lari dikejar.

Mengakhiri artikel ini, saya ingin menyampaikan dua catatan dedikasi yang saya harapkan juga tetap sederhana:

Pertama, menyampaikan dedikasi khusus dan salam salut kepada para alumni IMMIM yang memilih “mewakafkan diri” untuk mengabdi sebagai pengajar ataupun pembina di Pondok IMMIM Putra ataupun Putri.

Kedua, bahwa di antara dari sekian banyak variabel untuk menilai berkualitas-tidaknya sebuah lembaga pendidikan, terutama akan terlihat dari kiprah dan sepak terjang para alumninya. Dan saya termasuk sangat pede untuk mengatakan, alumni IMMIM memenuhi semua syarat untuk menjadi “bagian dari kelompok unggulan” di bidangnya masing-masing. Selamat berkiprah dan beramal.

Syarifuddin Abdullah, Alumni ke-5 IMMIM | Ahad, 07 Mei 2017 / 10 Sya’ban 1438H

--------- 

Artikel ini disadur ulang dari tulisan dengan tema yang sama, yang terupload di akun Facebook saya pada Rabu, 21 Oktober 2015.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler