x

Iklan

Rachman Wellmina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Surga Aksara : Akankah Kalian Rampas Juga ?

Kebebasan Literasi dan Perbukuan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Surga Aksara : Akankah Kalian Rampas Juga ?

 (Refleksi Atas Pelarangan Diskusi Buku “Islam Tuhan, Islam Manusia di IAIN Surakarta)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“I have always imagined that Paradise will be a kind of library.

Jorge Luis Borges

 

Surga, acapkali dipersonifikasikan dengan kumpulan bidadari, dan sungai yang mengalir mengelilinginya. Demikian tamsil surga yang biasa kita dengar. Namun bagi orang seperti penyair Argentina, Borges, surga dapat tercipta dari selaksa aksara. Sekumpulan buku-buku dalam perpustakaan yang sangat besar, dapat pula menjadi sebuah surga. Namun, siapakah orang yang merindukan “surga” ala Borges ? “Surga” ala Borges hanya akan diimpikan oleh orang-orang yang telah mengecap kebahagian dari bahan bacaan (intellectual happiness). Sedangkan bagi orang-orang yang tak menyukai kegiatan membaca, maka bahan bacaan tak lebih dari tumpukan kertas tak berguna, dan tak memiliki nilai.

Belakangan ini, di tengah kita, surga telah diklaim hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja. Kelompok selainnya tak berhak atas surga. Dan kini, ternyata bukan hanya surga yang hendak diklaim oleh kelompok tertentu tersebut, bahkan “surga” aksara ala Borges pun hendak dirampas dan dikebiri. Buku-buku, yang mampu memberikan kebahagiaan bagi pembacanya, telah coba dibatasi untuk dibaca, dibedah, dan diperbincangkan. Contoh terdekat adalah pelarangan diskusi dan bedah buku “Islam Tuhan, Islam Manusia” karya Dr. Haidar Bagir, yang rencananya akan diadakan oleh IAIN Surakarta pada selasa 9 mei 2017. Beberapa pihak, dengan mengatasnamakan umat, berupaya untuk menggagalkan bedah buku tersebut.

Buku di Masa Lalu :

Dahulu di zaman kolonial, jika penguasa kolonial tidak berkenan dengan sebuah buku, yang isinya mengancam kepentingan dan posisi mereka, maka kolonial akan memerintahkan para intelektual bayaran untuk menulis karya tandingan. Untuk membuat opini berbeda. Gagasan dilawan dengan gagasan. Buku dilawan dengan buku. Kolonial tak sekedar melarang tanpa alasan. Namun, di zaman yang sudah merdeka 70 tahun, masyarakat kita ternyata sulit untuk bersikap lebih bijak terhadap aksara, bahkan tidak lebih baik dari kolonial. Dan lebih menyedihkan lagi, masyarakat yang melakukan upaya pelarangan bedah buku tersebut mengaku sebagai umat Islam. Sementara semua orang tahu, ayat yang pertama kali turun adalah Iqro’, bacalah! Betapa ajaran Islam sejak awal mula telah menggariskan kemuliaan aktivitas membaca. Namun kini, membaca pun telah dikebiri dan hendak dirampas.

Negeri ini didirikan oleh para founding father yang penuh cinta atas aksara dan ilmu. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, dan juga tokoh lain seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Muhammad Natsir dll, semua adalah pembaca buku kelas wahid. Mereka semua sangat mencintai aksara. Sehingga tak heran jika istri Bung Hatta pernah berseloroh, “Saya adalah istri kedua Bung Hatta. Karena istri pertamanya adalah buku-bukunya”. Sikap beliau-beliau terhadap buku yang penuh cinta, akhirnya mampu mengejawantah dalam perilaku mereka yang toleran terhadap perbedaan. Hal ini dimungkinkan karena buku-buku bacaan akan mampu menawarkan paradigma yang berbeda. Dan perbedaan satu sama lain bukanlah ancaman. Melainkan dari perbedaan pandangan tersebut ilmu berkembang, dan terus memberikan manfaat bagi kita. Karena perbedaanlah kita saling membutuhkan satu sama lain. Dan perbedaan, sebagaimana yang ditawarkan sebuah buku, adalah realitas kehidupan yang harus kita terima secara dewasa. Namun bagi orang-orang yang tak terbiasa dengan tradisi membaca, agaknya perbedaan adalah kutukan. Ibarat kelelawar yang terbiasa akrab dengan kelam malam, maka sinar mentari akan menyakitkannya. Maka bagi mereka yang anti perbedaan, akan sangat sulit untuk menyampaikan kenikmatan dari membaca, dan berdiskusi.

Kebahagiaan Intelektual

Tidak ada yang memungkiri bahwa salah satu tujuan yang hendak dicapai manusia dalam hidupnya, yang hanya sekali ini, adalah untuk mengecap kebahagiaan. Definisi kebahagiaan bisa bermacam-macam. Dan salah satu jenis kebahagiaan, yang disebut sebagai kebahagiaan tertinggi oleh Aristoteles ialah Eudaimonia (intellectual happiness) kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan jenis ini, tidak akan datang dari kenikmatan ragawi, namun akan datang dengan gairah diskusi dan tradisi intelektual yang hidup. Sekolah dan kampus, adalah jembatan emas bagi manusia untuk sampai pada kebahagiaan jenis ini. Dengan iklim keterbukaan pemikiran, kampus akan memungkinkan para mahasiswanya berselancar dalam aneka dunia pemikiran yang beragam. Tanpa takut dan tanpa curiga. Karena bagi orang-orang yang meyakini kebenaran keyakinannya, maka pasti dia akan mendukung keberanian dan kebebasan berpikir bagi semua. Karena dia yakin, keyakinannya memang benar dan dia tak perlu ragu dengan pandangan dari orang lain. Sehingga dia akan mampu berkata, “meski aku tak setuju dengan pendapatmu, namun aku akan tetap mendukung kebebasan berpendapat yang melekat pada dirimu”.

Maka tak perlu ada ketakutan terhadap pemikiran apapun, dengan alasan apapun seperti alasan pendangkalan akidah, penyelamatan umat dan sebagainya. Jika kita yakin bahwa keyakinan kita sebagai kebenaran. Apalagi ketakutan terhadap kegiatan bedah buku, jelas ini lebih tak masuk akal lagi. Dan disadari atau tidak, pelarangan kegiatan diskusi atau bedah buku, adalah sebentuk perampasan akan kebahagiaan intelektual yang berhak dikecap oleh siapa saja. Sebentuk pelanggaran akan hak yang paling hakiki atas ilmu, yaitu hak untuk dikembangkan demi kemaslahatan bumi manusia seisinya. Jika surga Tuhan telah kalian rampas dengan monopoli tafsir kalian, akankah surga aksara akan kalian rampas juga ? Dan akankah kita, para pecinta aksara, akan diam saja menyaksikan pelecehan ilmu dan buku ? Kita harus melawan, dengan segenap kemampuan dan segenap ketidakmampuan kita. Sehormat-hormatnya. Demikian saran Nyai Ontosoroh di Roman Bumi Manusia kepada Minke.

Ikuti tulisan menarik Rachman Wellmina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB