x

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjaha Purnama membacakan pembelaan di sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, 25 April 2017. Ahok dijerat Pasal 156 KUHP dalam dakwaan alternatif kedua tentang me

Iklan

Robertus Robet

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Robertus Robet: Mengapa Ahok Harus Dibebaskan?

Ahok harus dibebaskan pertama-tama karena ia tidak bersalah secara hukum!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Pilkada DKI sudah selesai, segala masalah menyangkut proses elektoral itu tuntas dengan munculnya pemenang yang bakal duduk sebagai gubernur DKI Jakarta. Namun demikian, berakhirnya proses electoral itu belum serta merta memadamkan semua konflik, ketegangan dan masalah yang muncul sepanjang kampanye yang konon paling panas dan jorok dalam sejarah demokrasi pasca Suharto itu. Satu soal yang masih tersisa dari pilkada DKI adalah peradilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya berpandangan bahwa Basuki mestinya dibebaskan dari tuntutan pidana yang membelitnya. Ia harus dibebaskan pertama-tama bukan karena pilkada sudah usai dan all the games have been concluded, no more games please! Ia harus dibebaskan bukan karena ia memerlukan semacam 'hadiah hiburan' buat yang kalah. Ia mesti dibebaskan mestinya juga bukan karena ia memiliki pelbagai previledge sebagai wakil dari seorang mantan gubernur sebelumnya yang kini menjabat sebagai presiden. Ia harus dibebaskan pertama-tama karena ia tidak bersalah secara hukum!

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya perlu jujur menjelaskan posisi saya dalam pilkada DKI. Saya bekerja membantu Agus Harymurti Yudhoyono (AHY), seorang calon pemimpin yang paling tulus dan jujur yang pernah saya jumpai. Setelah AHY-Sylvi kalah pada putaran pertama, saya tidak lagi bekerja untuk kedua kandidat yang melaju.

Baca: Kyai Ishomuddin: Al Maidah 51 Multitafsir

Dari segi kebijakan selama menjabat gubernur DKI, terlepas dari kekaguman para pendukungnya yang memandang ia tegas, Basuki tidak bisa dijadikan teladan apalagi diusung-usung sebagai tokoh kemanusiaan. Basuki secara brutal menggusur banyak perkampungan kaum miskin. Ia bahkan menggusurnya tanpa menunggu keputusan pengadilan yang belakangan ternyata memenangkan warga yang digusur itu. Basuki juga secara enteng mengatakan untuk menyelamatkan 10 ribu orang dia bisa membunuh 2 ribu lainnya. Pernyataan semacam ini biasanya keluar dari mulut mantan serdadu dan para pelaku pelanggaran HAM kelas berat dari sebuah rejim otoriter.

Ada banyak argumen prinspiil mengapa Basuki mesti dikritik.Namun demikian, terlepas dari pelbagai kesalahan politik Basuki, ada satu alasan prinsipiil juga untuk menyuarakan mengapa ia tidak patut dipidana sebagai penoda agama.

Di masanya, Basuki memang kerap ceroboh dan kepemimpinannya congkak, tapi hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia yang setara tetap harus diakui dan dihormati. Basuki sudah mencemooh hak asasi manusia, namun demikian konstitusi kita mewajibkan negara untuk melindungi hak asasi manusia semua warga dari diskriminasi -termasuk hak asasi dari warga bernama Basuki Tjahaja Purnama.

Baca Juga: Buya Syafii Maarif: 400 Tahun Penjara untuk Ahok

Basuki mungkin orang kuat dengan mengenal para konglomerat, aparat dan kekuasaa negara, namun saat tiba pada urusan politik agama dan ras, ia bisa tiba di tubir jurang yang paling rentan dan bahaya. Yang jadi soal, apabila ia jatuh, ia jatuh dengan membawa serta prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan konstitusi kita.

Basuki sudah ditolak sebagai pejabat public karena kecongkakannya, tapi ia tidak patut dihukum. Mengapa? Pertama karenasemata-mata sebagaimana dikatakan oleh LBH Jakarta ia tidak bersalah! Saya mengutip pendapat hukum LBH yang menekankan bahwa tidak ada agama yang dihina Basuki. Ucapan Basuki ditujukan terhadap subyek yang menggunakan teks/naskah agama bukan terhadap teks dan agama. Basuki mengkritik subyek yang menggunakan ayat agama, tapi ia tidak sedang mengkritik agama atau naskah-naskah agamanya. Bahwa Basuki secara politik keliru (politically incorrect) itu betul, ia kepo dan berlebihan mengomentari sesuatu yang di luar pemahamannya. Kejadian ini bisa jadi dipicu oleh personalitasnya yang congkak dan gegabah, yang membuatnya tidak berpijak pada kondisi nyata di Indonesia. Namun demikian, tidak ada kesalahan hukum di situ. Kita boleh membenci dia, tapi kita tidak bisa mempidanakan dia.

Ada yang mengatakan Basuki harus dihukum, karena dalam sejarah politik hukum di Indonesia, hampir semua yang dituduh dengan delik penodaaan agama tidak ada yang lolos dari pidana. Fakta lama ini dijadikan sandaran untuk menentukan kebenaran hukum atas kasus Basuki. Argumen ini sebenanya secara ironis membuka selubung penggunaan pidana penodaan agama dalam sejarah politik hukum di Indonesia yakni bahwa dalam kasus yang sensitif, hukum bekerja untuk mengakomodasi tuntutan dan memuaskan keinginan jumlah orang yang lebih banyak. Di sini, kebenaran adalah apa yang dikatakan oleh orang banyak. Keadilan adalah apa yang bisa memuaskan orang banyak. Di masa Orde Baru dulu, yang politiknya mengedepankan stabilitas dan harmoni semu, pikiran ini yang digunakan dalam peradilan dari kasus-kasus sebelumnya. Di masa itu, peradilan dan hukum sudah mengalami pre-determinasi dari kekuasaan politik sebelum ia digelar. Argumen semacam ini mestinya sudah tidak boleh lagi terjadi dalam peradilan di negara demokrasi yang konstitusinya menegaskan hak asasi manusia. Dalam alam demokrasi, mestinya logika dan tafsir hukum bekerja secara lebih independen dan dibebaskan dari tekanan pre-deterministik dari massa dan kekuatan-kekuatan politik lainnya.

Baca: Kontroversi Awliya dalam Al-Maidah 51: Ini Asal-Usulnya

Hukum kita harus mulai mengajarkan apa yang sesungguhnya menjadi core bussinessnya: kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan bahkan terhadap orang dengan karakter pribadi seburuk apapun. Kebenaran dan keadilan bahkan terhadap pesaing dan lawan politik kita. Dengan itu, hukum akan berguna dalam membentuk karakter nasional yang luhur bagi suatu bangsa. Dengan itu, hukum juga akan lebih bisa menjamin keadilan bagi semua. Membebaskan Basuki akan mempertontonkan suatu karakter baru dalam budaya politik hukum dan kemasyarakatan kita yakni bahwa: Indonesia sudah bisa memutuskan kebenaran dan keadilan di luar perasaan serta sentiment-sentimen di luar hukum. Basuki tidak boleh dihukum karena dengan menghukum dia kita akan menarik balik sejarah panjang Indonesia dari bangsa yang sudah berhasil berdemokrasi dengan hak asasi, menjadi bangsa yang berbalik terjerembab ke dalam politik SARA ORDE BARU.

Dengan menghukum Basuki kita akan menyematkan imaji buruk kepada Indonesia dari republik yang terbuka dan toleran menjadi bangsa yang dituduh tega menghukum orang karena ras dan agamanya. Dengan menghukum Basuki, kita justru mentahbiskan orang congkak ini sebagai korban-pahlawan sendirian dan menjadikan republik kita sebagai bahan tertawaan dunia. Kita harus membebaskan Basuki, bukan demi dia, melainkan demi kebenaran dan untuk mempertahankan dasar-dasar republik kita.

Ikuti tulisan menarik Robertus Robet lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB