x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Evolusi Priyayi Jawa

Perjumpaan budaya priyayi Jawa dengan modernisasi dalam isu agama, ekonomi dan sosial menurut pandangan Umar Kayam dalam novel "Jalan Menikung."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Jalan Menikung

Penulis: Umar Kayam

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Utama Grafiti                                                                                

Tebal: v + 184

ISBN: 979-444-412-X

Melalui novel “Jalan Menikung” Umar Kayam mengajak kita untuk merenung bahwa tidak ada budaya yang mandeg karena ke-adiluhung-annya. Semua budaya akan berubah dan menyesuaikan diri dengan budaya lainnya. Masing-masing budaya yang bertemu, bersinggungan akan saling mempengaruhi dan saling mengubah diri supaya tercipta harmoni. Meski proses untuk mengubah diri ini sulit dan sakit, namun perubahan tak bisa dihentikan.

Mengambil setting keluarga priyayi Jawa, novel ini membahas topik-topik sensitif dalam sebuah jantung budaya. Seperti kita ketahui  - demikianlah stereotype, bahwa budaya priyayi Jawa adalah budaya yang dianggap telah paripurna. Sebuah budaya yang mandeg karena keagungannya. Budaya priyayi telah mencapai kesempurnaan dalam nilai-nilai, etika dan etiket. Namun Umar Kayam justru menggunakan budaya priyayi ini untuk membahas perubahan budaya. Umar Kayam menunjukkan betapa dahsyatnya pergumulan para priyayi menghadapi nilai-nilai dari luar.

Melanjutkan kisah yang telah dibesutnya dalam novel sebelumnya, berjudul “Para Priyayi,” Umar Kayam menggunakan setting lokasi dan tokoh yang berkelanjutan, yaitu keluarga Sastrodarsono, seorang priyayi dari Wonogalih. Dalam novel ini Umar Kayam menggunakan keluarga Harimurti sebagai tokoh utama. Harimurti adalah cucu dari Sastrodarsono. Harimurti harus kehilangan pekerjaannya karena dianggap tidak bersih diri. Masa lalunya yang pernah ditahan karena dianggap terlibat Lekra, menyebabkan kariernya sebagai korektor di sebuah penerbitan terhenti.

Eko, anak Harimurti yang telah lulus kuliah di Sunnybrook, Connecticut dengan penuh semangat ingin pulang untuk mengabdi kepada ibu pertiwi. Namun kepulangan Eko dicegah oleh Harimurti karena khawatir Eko akan menghadapi masalah kesulitan mencari pekerjaan. Dengan status sebagai anak Harimurti, sang bekas tapol, Eko bisa saja tidak mendapat pekerjaan apapun. Akhirnya Eko membangun karier di Amerika dan menikahi seorang perempuan Yahudi.

Kisah perjumpaan antar generasi dan perbenturan nilai-nilai dibangun dengan perjalanan Eko dan Claire Levin, istrinya ke Jawa saat berbulan madu. Eko mendapat hadiah bulan madu sekaligus penugasan kerja ke Asia Timur oleh perusahannya. Eko berjumpa dengan saudara-saudari ayahnya dan sepupu-sepupunya.

Pernikahan Eko dengan perempuan Yahudi menjadi sarana bagi Umar Kayam untuk mengeksplorasi hubungan Islam-Yahudi yang penuh dengan prasangka dalam budaya para priyayi dan orang Jawa pada umumnya. Umar Kayam juga menyelipkan perjumpaan budaya priyayi Jawa dengan budaya Minang melalui pernikahan Lantip - saudara angkat Harimurti, dengan Hamidah perempuan Minang.

Dengan menggunakan latar belakang kesewenang-wenangan Orde Baru, Umar Kayam membahas tekanan politis (atau sebuah kesempatan baru juga?) terhadap budaya priyayi. Orde Baru secara semena-mena mengekang, menakuti dan memberangus mereka-mereka yang dianggap berseberangan (termasuk yang PKI dan yang dianggap PKI). Salah satu korbannya adalah Harimurti sang priyayi. Sikap mencari bantuan dari keluarga besar dan menerima nasip dan melanjutkan hidup yang ditunjukkan oleh Harimurti adalah khas gaya priyayi. Harimurti mencari perlindungan dari pamannya yang menjadi anggota ABRI (bagian dari Orde Baru) yang bisa melepaskan dirinya dari tahanan. Namun saat ia diminta untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai seorang korektor di sebuah penerbitan, tak ada lagi bantuan yang bisa diberikan oleh keluarganya. Harimurti menerima saja nasibnya dan melanjutkan hidup. Cara yang ditempuh Harimurti ini terbukti berhasil. Atau setidaknya tetap membuat hidup mereka bahagia.

Kehadiran Orde Baru juga memberi kesempatan kepada para priyayi yang posisinya pro kepada rezim Suharto ini. Umar Kayam mencontohkannya dengan kehidupan Tommi, anak seorang pembesar ABRI, cucu Sastrodarsono yang kemudian menjadi konglomerat dengan cara menggunakan koneksi dan kolusi. Kegelimangan harta yang didapat dengan cara yang tidak benar menjadi semacam kutukan bagi para priyayi. Kehidupan rumah tangga Tommi amburadul karena harta. Ia berselingkuh, anak perempuannya menentangnya dan bahkan menikah dengan seorang Cina yang berlainan agama. Tetapi demi nilai-nilai priyayi, keluarga Tommi dipertahankan seakan-akan baik-baik saja.

Sangat menarik untuk melihat tokoh Tommi dalam novel ini. Tommi, sepupu Harimurti telah berhasil menjadi seorang konglomerat.  Untuk mempertahankan status ke-priyayi-annya, Tommi berupaya membangun makam trah Sastrodarsono. Pembangunan makam ini adalah dalam rangka mewujudkan nilai “mikul dhuwur mendhem jero.”

Umar Kayam mengecam para priyayi yang memaknai budaya hanya pada kulitnya. Salah satu nilai utama dalam budaya priyayi adalah keluarga yang harmonis. Meski keluarga Tommi amburadul, Tommi sering selingkuh, namun mereka harus menampakkan keserasian kepada pihak luar. Demikian pula dengan pemaknaan “mikul dhuwur mendhem jero” terhadap leluhur, yang seharusnya bermakna hidup terpuji sehingga leluhur mendapat penghargaan, justru dimaknai oleh Tommi hanya dengan membangun makam yang sangat mewah.

Umar Kayam membahas topik pernikahan antaragama dan antarras. Eko menikahi perempuan Amerika keturunan Yahudi. Anna, anak Tommi menikah dengan Boy, seorang Cina. Umar Kayam menunjukkan bahwa para priyayi tersebut, meski merasa terkejut dan menolak pada awalnya, akhirnya toh menerima dan mencari kesamaan-kesamaan antara dua budaya yang berjumpa. Misalnya kesamaan antara budaya Yahudi dan priyayi yang sama-sama sangat menghargai keluarga besar; lelakinya sama-sama disunat; dan tradisi untuk memberi hadiah kepada anak/keponakan yang membangun keluarga baru.

Dalam novel ini Umar Kayam juga menyinggung makna agama bagi priyayi Jawa, meski tidak terlalu dalam. Bagi Umar Kayam, agama dalam budaya priyayi Jawa adalah urusan pribadi antara diri dengan Tuhannya. Bagi Umar Kayam, sembahyang adalah sarana saat ia membutuhkan Tuhan, saat ia tidak menemukan jalan dengan cara-cara lain, bukan sebagai sebuah kewajiban ritual rutin. Itulah sebabnya kefanatikan dalam sebuah ajaran agama tidak dikenal dalam budaya priyayi Jawa. Dalam kisah pernikahan Anna dengan Boy yang Cina, sekali lagi Umar Kayam menyampaikan bahwa “asal Boy mau menikah secara Islam, maka urusan agama menjadi selesai.”

Meski banyak hal bisa berubah, namun bagi Umar Kayam, harmoni tetap menjadi nilai tertinggi dalam budaya priyayi Jawa. Menjaga harmoni dan menghindari konflik adalah inti dari budaya priyayi Jawa. Mencoba mencari kesamaan dan berusaha sebisa mungkin menghindari konflik terbuka, meski sebenarnya tidak setuju adalah cara terbaik untuk bermasyarakat dalam pandangan priyayi Jawa. Apakah nilai harmoni ini masih akan bertahan di tengah gempuran budaya masyarakat yang semakin menyempit dan radikal?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler