x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seniman dan Radikalisme Agama

Meredam radikalisme agama dengan memberi jalan seni dan seniman berkiprah merupakan ide brilyan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alur Pikir Seniman

Seniman tidak pernah  fanatik pada agama. Setidaknya itu yang pernah saya rasakan bergaul dengan seniman. Mereka akan mengerti bahwa  berpikir seni adalah berpikir universal. Bahkan kadang seniman sering dicap atheis bahkan kafir karena menganut semua ajaran agama. Seniman sangat mengerti bahwa alam pikirnya itu luas, tidak hanya baik buruk, dosa tidak dosa. Mereka akan menggali sampai dalam sebuah obyek sampai ia menemukan keunikannya. Dasar seniman adalah memperluas kreatifitas, jadi ia harus bisa menerka sisi-sisi kebenaran menurut logika seniman. Jika perlu menyingkap sampai sedetil-detilnya sampai menemukan keunikan sebuah karya yang bisa dipikir dengan logika, visual, dimensi-dimensi lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan. Pelukis akan membuka lebarmatanya terhadap tubuh manusia sampai mata dan jiwanya menangkap makna secara presisi. Bahkan menelanjangi manusia bukan hal dosa jika memang diperlukan untuk sebuah jawaban kesempurnaan.  Seorang seniman lukis bisa mengolah warna menjadi indah karena ia selalu mencari, menangkap yang biasa menjadi berbeda mengolah yang biasa menjadi luar biasa, mencari yang tidak ada menjadi ada, membidik yang tidak mungkin menjadi mungkin, menyempurnakan mimpi orang orang biasa menjadi  lebih mempesona dan kayalan tingkat tinggi.

Kadang kala seniman bisa dituduh gila karena keunikan pribadinya yang lain daripada yang lain.  Pelukis Nashar yang biasa menggelandang di TIM dan lukisannya yang tidak biasa atau malah dipandang biasa bagi orang yang tidak mengerti alam pikiran seniman. Keotentikan lukisannya membuat Nashar sering dihubungkan dengan kehidupannya yang lebih dekat”gila” daripada “waras”. Affandi  juga pelukis unik. Ia bisa menelanjangi diri dihadapan anaknya dan dilukis polos dengan ketelanjangannya yang aneh bagi sebagian orang yang menganggap diri waras. Setali tiga uang dengan Kartika Affandi yang sering menelanjangi perempuan dengan menonjolkan organ intimnya. Hal yang aneh dilihat oleh orang yang  fasih”Beragama”yang menerjemahkan tindakan, perilaku sebagai dosa atau tidak dosa, haram haram tidak haram. Seniman jarang munafik tapi orang yang rajin mencecap ilmu agama seringkali rajin berpikir munafik.  Radikalisme pemikiran seniman beda dengan radikalisme agama yang sering memicu permusuhan dan perang. Radikalisme seniman mungkin hanya akan dikaitkan dengan “Mata yang sakit, jengah tapi diam mencuri-curi pandang”. Sedangkan seniman memandang kepolosan adalah ide murni dari sebuah  dasar  ilmu kesenian yang memang memotret keindahan dengan tanpa berusaha menutupinya dengan dalil dosa atau menimbulkan rangsangan seksual yang bermula dari alam pikir manusia yang sudah terlanjur “kotor dan jorok”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hantu itu namanya “Radikalisme”

Banyak orang terutama yang beragama minoritas di Indonesia sedang phobia dengan hantu bernama radikalisme. Bagi mereka radikalisme adalah pengganggu kenyamanan, mimpi buruk yang membuat mereka segera menagkalnya dengan ujaran-ujaran provokatif untuk mengutuk maraknya radikalisme di kalangan mayoritas. Hal ini membuat iklim kebinnekaan, keragaman, kenyamanan beragama menjadi ternodai. Beragama itu seperti mengkultuskan  simbol, menuhankan  baju , warna dan  cir khas keagamaan. Mengagungkan tafsir dan mensahkan kekerasan atas nama agama, pemilik kebenaran tunggal. Radikalisme telah menyusup dalam paham-paham anak-anak balita yang memang sejak dini dididik untuk keras dan fanatik terhadap simbol-simbol dan mulai dilatih menjauh dari toleransi. Ada tendensi radikalisme tertanam karena pemerintah seperti  memojokkan ormas yang berjuang agak aneh dari ajaran pokok agama yang penuh kelembutan, kedamaian, kasih sayang. Ormas-ormas itu mengambil posisi sebagai orang yang amat keras memegang prinsip sehingga cara apapun dilakukan untuk mencegah keberagaman dan Pancasila menjadi dasar negara.  Bedanya dengan seniman, seradikal-radikalnya seniman mereka tetap  anti fanatisme golongan maupun agama. Bahkan kaum agama ekstrem menuduh banyak seniman berafiliasi pada komunisme. Komunis seperti ingin dibangkitkan dengan  menebarkan isu dan fitnah keji pada sementara pejabat yang berusaha menjadi pelayan bukan tuan.

Radikalisme itu seperti “Lugut” Duri lembut yang berasal dari tanaman bambu yang siap melukai kulit telapak tangan atau tangan dengan cukup mengagetkan. Lugut itu pelan- pelan menyusup dan menjadikan kulit seperti ditusuk-tusuk , gatal, risih, perih.  Konon kesenimanan dan senimanlah yang dapat menangkal radikalisme. Untuk belajar  mengantisipasi  radikalisme seniman harus diberi kebebasan dalam mendalami, menyusun kreatifitas dengan kebebasan. Kebebasan itu bisa pada penciptaan karya tanpa ditekan oleh aturan-aturan tertentu yang membuat kreatifitas seniman mandeg.

Lainnya adalah kebebasan dalam mencari referensi, entah buku, entah  darimana saja asal  tidak dibatasi  oleh ideologi, agama dan sekat-sekat  yang  tampil karena baju agama. Seniman itu ada dalam posisi bebas, ia bisa saja menyitir ayat-ayat darimana saja untuk menampikan fakta, kreatifitas dan kebebasan berkreasi.

Radikal lawan Ra”nggagas”

Ada nuansa “ndableg” menghadapi  radikalisme. Melawan  penyeragaman, melawan anti kemapanan. Dalam bahasa seniman ra nggagas ( tidak peduli ). Seniman hidup dalam kebebasan berpikir, melintasi sekat-sekat agama, melintasi ilmu pengetahuan yang sudah tersekat- sekat. Seni itu bisa menyusup dalam ilmu yang lain, menjadi penyeimbang bagi pemikiran yang cenderung progresif, liberalis atau malah cenderung ke kiri-kirian dengan mengusung sosialisme yang dekat dengan komunism. Tapi untuk menjadi radikal agama rasanya seni susah karena banyak hal berbeda dari mindset berpikirnya. Radikalisme cenderung mainstream ke urusan surga dan neraka. Sedangkan seni itu lebih peduli estetika dan lebih menangkap  yang “umum” daripada yang khusus.

Ra nggagas, bukan berarti tidak peduli pada pada persoalan bangsa. Bahasa seniman adalah bahasa khusus. Menyentil tidak harus dengan kekerasan fisik. Mereka lebih menyentil  ketimpangan dengan karya-karya seniman yang unik, lain daripada yang lain, dan mampu memikat baik secara visual, maupun lewat karya teater(seni pementasan, film, tari). Gagasan seniman lebih ke arah karya, sebagai sebuah kehadiran seniman di lingkungan. Sayangnya kadang kebebasan berekspresi seniman banyak terhambat oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kehidupan seniman. Padahal karya seniman itu mampu mengharumkan nama bangsa di dunia internasional.

Karya lukis Affandi, Hendra Gunawan, Basuki Abdullah, S Sudjojono dan banyak pelukis Bali(I Gusti Lempat, Nyoman redana, Anak Agung Gede Sobrat, Ida Bagus Made Poleng dsb) yang telah melegenda, merupakan aset bangsa tapi keberadaannya  kadang terlupakan. Padahal nama bangsa ikut terkerek dengan kontribusi seniman di tengah perkembangan seni dunia.

Kesenian Sebagai  identitas Bangsa

Meredam radikalisme agama dengan memberi jalan seni dan seniman berkiprah merupakan ide brilyan. Lihat saja penyebaran Islam di jaman Sunan Kalijaga. Dengan pendekatan seni  kehidupan yang dinamis, penuh hiburan dan keakraban penduduk terjalin dengan adanya pementasan, pameran, pagelaran dsb.Agama tidak harus dibahasakan kasar, berangasan, atau marah-marah dijalanan. Agama bisa menenangkan jiwa dengan menyuguhkan kesenian yang berfungsi sebagai tuntunan sekaligus tontonan yang menggugah kepedulian untuk mengembangkan sikap damai, toleran dan tanpa pemaksaan. Tapi sayangnya produk kesenian seperti wayang, ketoprak, wayang wong, acara-pameran seni kurang menggugah masyarakat yang cenderung membanggakan budaya impor dari luar negeri termasuk pendekatan agama yang lebih menyukai pendekatan budaya luar daripada budaya lokal yang sebetulnya lebih indah, lebih berseni daripada kecenderungan membanggakan budaya impor yang belum tentu sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia.

 

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler