x

Massa dari Hizbut Tahrir Indonesia menggelar unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, 11 Juli 2014. Mereka mengutuk serangan militer Israel ke Gaza, Palestina, dan menyerukan mobilisasi aksi dengan berbagai tindakan terkait invasi ke Gaza. TEMPO/Prima Muli

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Profesor Noorhaidi Hasan: HTI Ujian bagi Demokrasi

Karena kesamaan kepentingan ideologis dan persinggungan historis, pola pertumbuhan HT paralel dengan garis penyebaran Ikhwan al-Muslimin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Noorhaidi Hasan

Guru Besar Politik Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dalam wawancara dengan BBC dan Tempo.co beberapa hari lalu, saya mengomentari rencana pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang ditekankan sebagai upaya mencegah berkembangnya ancaman terhadap keutuhan bangsa, sebagai sebuah blunder. Saya tidak pernah menyukai, apalagi mendukung, ide revitalisasi khilafah yang didengungkan Hizbut Tahrir (HT), induk gerakan yang melahirkan cabang-cabangnya di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Khilafah yang tumbang pada 1923 itu dipercaya HT sebagai satu-satunya alternatif untuk membangun kembali kekuatan politik Islam. Bagi saya, ini mimpi utopis para pecundang modernitas global yang frustrasi dengan masa depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

HT memang telah menjadi mata rantai penting dalam pertumbuhan gerakan Islam transnasional. Karena kesamaan kepentingan ideologis dan persinggungan historis, pola pertumbuhan HT paralel dengan garis penyebaran Ikhwan al-Muslimin. Eksponen-eksponennya aktif menggelar pengajian di kampus-kampus perguruan tinggi terkenal untuk menjaring mahasiswa dan anak-anak muda lainnya. Mereka dipercaya akan menjadi sumber daya andal bagi keberlangsungan dan ekspansi gerakan. Gagasan yang didengungkan HT beresonansi luas di tengah kegagalan rezim-rezim berkuasa di berbagai kawasan dunia Islam.

Wacana khilafah yang dengan gigih diusung HT tidak lain merupakan bagian dari gerak dinamik masyarakat muslim, khususnya kaum muda, yang tengah jengah menghadapi arus deras modernisasi dan globalisasi yang tidak tertahankan. Sifatnya contentious. Bagi HT, ketiadaan campur tangan Tuhan dalam sistem sekuler terbukti menjadikan sistem itu rawan dimanipulasi dan disalahgunakan oleh rezim-rezim berkuasa. Akibatnya, rakyat menderita dan tertindas tanpa daya menghadapi kesewenangan penguasa. Dalam konteks inilah khilafah ditawarkan karena dianggap lebih andal dan tahan dari manipulasi penguasa.

Dalam sistem khilafah yang menganut asas teokrasi, Tuhan sengaja dilibatkan dalam mengatur kehidupan politik berdasarkan premis bahwa kekuasaan mutlak milik Tuhan sebagai penguasa tunggal yang harus dipatuhi semua makhluk. Konsekuensinya, umat Islam dilarang mematuhi kehendak mayoritas rakyat karena sebagian besar dari mereka diyakini berada dalam kesesatan. Dalam logika HT, sakralitas dan transendensi khilafah menutup kemungkinan manipulasi kekuasaan.

HT agaknya kurang menyadari bahwa gagasan teokratiks yang terkandung dalam sistem khilafah telah terbukti dalam sejarah mendorong munculnya penguasa-penguasa otoriter yang menindas rakyat atas nama Tuhan. Dengan berlindung di balik kuasa Tuhan, rezim penguasa malah bisa bertindak lebih zalim dan koruptif. HT gagal memahami filosofi demokrasi sebagai sistem yang dapat meminimalkan penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa karena kekuasaannya dijalankan di bawah kontrol masyarakat.

Dari perspektif Foucauldian, isu khilafah yang kencang diembuskan HT merupakan bagian dari strategi wacana (discursive strategies) yang mengemuka dalam konteks relasi kuasa tertentu. Ia merefleksikan rasa frustrasi mendalam kaum muda berhadapan dengan gambaran masa depan suram. Ia bagian dari ikhtiar menuntut keadilan oleh individu-individu yang mulai sadar tentang hak-hak mereka. Jadi, ia bisa dibaca sebagai bagian dari politik budaya kaum muda yang tengah cemas memikirkan masa depan sekaligus bagian dari gerak dinamik masyarakat muslim yang sedang berubah pada saat akar-akar demokrasi mulai menancap kukuh.

Saya yakin kita semua harus mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi Hizbut Tahrir Indonesia. Kehadirannya merupakan bagian sekaligus ujian bagi demokrasi yang dengan susah-payah kita bangun sejak era reformasi. Biarkanlah ide khilafah itu rontok saat berhadapan dengan nalar publik yang berkembang di ruang demokrasi, yang semestinya tidak lagi tertarik dengan segala model kekuasaan teokratis yang membelenggu.

Faktanya, berdasarkan penelitian saya dan sejumlah kolega di 20 provinsi di Indonesia pada 2013, mayoritas masyarakat Indonesia percaya NKRI dan Pancasila merupakan harga mati. Mereka juga sangat sensitif terhadap kelompok-kelompok radikal yang dipercaya menyalahgunakan doktrin jihad untuk tujuan politik.

Saya khawatir, jika dihadapi dengan cara yang tidak demokratis, apalagi pembubaran tanpa melalui proses hukum, ide-ide HTI justru akan semakin mendapat pembenaran dan beresonansi luas di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini berbahaya karena masyarakat kita sedang didera mentalitas kecemasan dan perasaan terancam serta kepercayaan yang terlalu tinggi terhadap hal-hal yang berbau konspiratif. Ketiga hal inilah yang ternyata menjadi faktor utama yang menggerakkan semangat intoleransi masyarakat Indonesia, yang menyalakan api peristiwa 411, 212, dan aksi-aksi serupa lainnya. Janganlah masalah mendasar ini terabaikan karena kita tertipu bumbu-bumbu penyedap wacana yang ditabur HTI. Apalagi kalau kita sampai kembali terjerembab ke dalam jurang otoritarianisme.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 12 Mei 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler