x

Buruh yang tergabung dari berbagai serikat pekerja menggelar aksi peringatan Hari Buruh Internasional di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, 1 Mei 2017. Dalam aksinya mereka meminta pemerintah meningkatkan kesejahteraan para kaum

Iklan

An Deo Eich

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dicari, Buruh Sadar Politik!

Buruh tidak boleh antipolitik karena mereka adalah bagian dari roda bergeraknya pemerintahan dan negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota

Bersatu padu rebut demokrasi

Gegap gempita dalam satu suara

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demi tugas suci yang mulia

Penggalan lirik lagu dengan judul asli “Pembebasan” yang familiar di kalangan aktivis pergerakan hingga saat ini --dengan judul “Buruh Tani”-- adalah karangan Safi’i Kemamang asal Jawa Timur. Safi’i membuat lagu ini sebagai irama penyemangat perjuangan yang sedang kering dalam tindasan pemerintah tahun 1996/1997. Lagu ini fenomenal di kalangan para aktivis gerakan seperti fenomena karangan (ber-) bunga di balai kota ibukota sekarang ini. Fenomena gegap gempita karangan bunga yang banyak buat yang kalah.

Menariknya, dalam lirik lagu tersebut, dengan pencermatan sederhana dapat kita baca dengan jelas, yang pertama dan terutama disemangati –tentunya dengan harapan menjadi penggerak-- adalah buruh! Dilanjutkan dengan kasta para tani mahasiswa dan seterusnya kaum miskin kota.

Buruh. Kata ini entah bagaimana disepakati dalam diam digunakan untuk mereka (pekerja) yang melakukan pekerjaan kasar dan tanpa skill tetapi yang pasti akan selalu menggunakan otak. Di lain sudut pandang, dalam hal ini pandangan hukum seperti selalu didengungkan para pemimpin negara ini, kata buruh tidak ada. Sebutan pekerja-lah yang ada. Patut dicurigai, penyebutan buruh ini adalah upaya mengikis solidaritas sesama pekerja. Aturan hukum kukuh dalam hitam di atas putih bahwa orang yang menerima upah atas pekerjaan yang disuruh oleh pemberi kerja adalah pekerja. Entah siapa orang “jenius” yang mereduksi equalitas substansi pekerja sehingga brojol tingkatan merendahkan melalui identifikasi “kasta” buruh yang seolah–olah bukan kasta pekerja. Kasta ini rendahan yang diamini semua orang yang didudukkan dalam kasta buruh.

Dari masa Soekarno yang lalu hingga masa Jokowi sekarang, buruh semata serupa barang –sejatinya mewah tetapi diperlakukan bak sampah-- sebagai komoditas bagi golongan elit politik, atau yang –bahkan-- menjadi elit dengan menjinjing embel – embel buruh dalam lakunya.

Kaum buruh konon punya kitab suci yang dikreasikan oleh Karl Marx yang berjudul “Das Kapital”. Ironinya Marx konon bukan seorang yang mencuat dari gerakan organisasi buruh seperti Lula da Silva. Karl anak orang kaya, dengan ide liar pemikiran (kepastian) evolusi pergerakan sosial melalui gerakan buruh. Ide perlawanan kelas.

Buruh pekerja dalam terawangan niscaya memiliki persentase yang (mungkin) adalah terbanyak secara kuantitas seantoro daratan bumi (bahkan tentunya daratan pertiwi) yang (dapat) memberi pengaruh dalam percaturan politik negara. Inggris, Australia dan Korea Selatan membuktikannya. Ironinya kemudian adalah dalam bingkai demokrasi di bumi pertiwi justru tidak ditemukan sebuah perwakilan esa aksi berdemokrasi untuk memajukan atau mempertahankan atau sekedar penguatan kepentingan buruh dalam gedung perwakilan rakyat melalui bentuk partai politik. Tiada gerakan --yang jika dirasa perlu dipropogandakan dengan sebutan mesianik-- pemersatu buruh yang mengambil rasionalitas jalan demokrasi --yang paling dan amat sangat masuk akal untuk menyuarakan cita – cita buruh-- melalui suara – suara perwakilan di gedung perwakilan rakyat. Padahal segala kebutuhan dan kepentingan buruh harus melalui perwakilan rakyat (buruh) melalui representasi suara partai politik di sidang – sidang perwakilan. Berpolitiklah wahai para buruh sebumi pertiwi!

Riganasars --curiga dan penasaran sekaligus-- bahwa (mungkin) ada propaganda, cuci otak yang melahirkan mitos atau “kesadaran palsu” di kalangan kasta buruh yang menanamkan hinga ke dalam tidurnya bahwa setiap buruh pekerja cukup bekerja ikhlas. Harapan kemudian, ada se-sosok buruh seperti Lula versi Indonesia di abad millennium ini yang mengapung ke permukaan dengan inisiatif tangguh membentuk partai buruh yang satu suara. Dahulu setelah proklamasi ada Barisan Buruh Indonesia cikal bakal Partai Buruh Indonesia tetapi, menurut analisis seorang aktivis pemerhati buruh yang memper-hati-kan nasib melarat para buruh, organisasi dan partai bentukan tersebut ternyata hanya ambisi pribadi yang berujung pada politisasi suara buruh dalam permainan politik elit yang pragmatis.

Catatan partisipasi partai yang menjinjing identitas buruh pernah ada di tahun 1947, 2004, 2009 dan 2014 tetapi sepertinya ada “keengganan” dari basis massa yaitu buruh itu sendiri untuk bergerak dalam sebuah alur demokrasi melalui partai politik dengan membawa kepentingan dan identitas kasta buruh itu sendiri. Keengganan itu bisa jadi perwujudan rasa malu dan tabu atau bahkan karena tidak tahu sama sekali. Sekali lagi dicatat dalam sejarah gerakan tokoh buruh, dalam pengakuan Mukhtar Pakpahan dalam liku dan laku pengalamannya, bahwa tokoh politik partai buruh pada akhirnya hanya menikmati sendiri hasil label organisasi/partai buruh yang mereka tempel di jidatnya. Lagi dan lagi buruh hanya dijadikan komoditas untuk tawar – menawar di pasar kepentingan elit. Identitas buruh dihilangkan dari identitas politik popular kecuali pada suatu hari dalam peringatan hari buruh sedunia. Peringatan ini sadarnya adalah untuk mengenang karena dalam 364 hari sisanya buruh dengan haknya dilupakan. Mimpi menjadi partai pemenang pemilu di bumi pertiwi tentu jauh api dari panggangan, meskipun secara teori dan logika jika seluruh buruh bersatu, hal tersebut adalah sebuah kepastian dalam keniscayaan. Apa yang tidak mungkin jika 115 juta --sebumi pertiwi-- buruh pekerja bersatu dalam suatu barisan partai politik dengan identitas pekerja?

Orang – perorang dalam kasta buruh sepertinya tahu – menahu bahwa partai buruh yang ada selama ini tidak mewakili kebutuhan --apalagi keinginan-- buruh. Pada ujung cerita, kebutuhan buruh untuk dibawa atau dipertahankan di sidang – rapat perwakilan rakyat tidak akan pernah diketok – palukan sebagai undang – undang. Kebutuhan buruh tetap suci dan sakral seperti untaian kalimat dalam kitab suci yang ideal dan utopis yang jauh dari realita.

Perlu ada teriakan: “Wahai buruh! Seriuslah menggarap basis pergerakan melalui jalur politik! Politik itu tidak tabu dan bukan untuk para elit. Jika ada “penipuan” atau mitos “kesadaran palsu” politik itu hanya untuk orang – orang penting dan berpendidikan, Lawanlah!”

Buruh harus dicecoki otaknya dengan pembelajaran politik. Politik harus dibakar, harus diasapi untuk dihirup secara sadar terus – menerus seperti ganja yang men-candu. Buruh tidak boleh antipolitik. Jika suara rakyat adalah suara Tuhan, seharusnyalah suara (seluruh) buruh adalah suara malaikat – Nya. Buruh yang anti politik harus mulai belajar membulatkan sikap dan tekad melalui ke-esa-an perlawanan melalui jalur politik. Tidak butuh tokoh buruh mesianik jika para buruh --yang sekarang malangnya dicukupkan disuarakan dalam sehari dalam satu tahun di tiap 1 Mei dengan mengunjukkan rasa malangnya tanpa solusi berarti-- telah sadar politik. Buruh – buruh yang sadar politik.

Mitos buruh sebagai warga kelas dua atau segala aktifitas buruh (yang kontra produktifitas) dalam memperjuangkan haknya sebagai pembangkangan terhadap pemerintah harus dihilangkan atau dicueki tanpa rasa sesal. Buruh adalah bagian dari roda bergeraknya pemerintahan dan negara. Bahkan adalah poros rodanya jika mau songong.

Buruh memiliki hak yang sama dengan fakta potensi yang besar. Dengan gerakan yang konsisten dan fokus mengusung gerakan pembaharuan kepentingan buruh tentu akan menuju suatu titik perubahan nasib buruh melalui jalan demokrasi yang sudah ada. Demokrasi! Banyak kebutuhan buruh yang dengan gampang di-goal-kan ketika buruh telah terkonsolidasi dalam bentuk partai dengan suara mayoritas di kursi – kursi empuk gedung perwakilan. Karena begitulah demokrasi pemerintahan berjalan. Negara yang berdasar hukum.

Mari berandai – andai, suatu masa di depan, akan kita baca dalam lembaran negara sebuah undang – undang tentang perlindungan buruh pekerja dan tujuh turunannya –mengalahkan kesuksesan Jacob Wea sang menteri pada zaman Megawati dengan perjuangannya dalam Undang – Undang 13 Tahun 2003; ada undang – undang tentang pelaksanaan kerja berwawasan kebutuhan nasional; ada lagi undang – undang tentang outsorcing sebagai kejahatan. Jika undang – undang tersebut masih dirasa kurang, nantinya suara partai buruh ini bisa “memaksakan” eksekutor lembaga eksekutif dalam hal ini menteri tenaga kerja haruslah seorang buruh juga seperti SK Trimurti dahulu. Terbaca absurd! Tetapi yang ingin disampaikan adalah bahwa dengan suara yang besar melalui jalur politik partai dalam bingkai demokrasi, maka suatu undang – undang yang mewakili kebutuhan buruh pekerja akan dengan adil bin mudah diperjuangkan melalui kursi empuk gedung perwakilan. Masih banyak lagi, tetapi semua dimulai dari langkah kecil --sulit yang tidak mustahil-- menyatukan barisan dan merapatkan suara buruh pekerja.

Tidakkah masuk dan tercerna pikiran dengan gampang di tiap kepala buruh? Bahwa organisasi serikat pekerja, organisasi buruh, kelompok pekerja di lingkungan rumah tangga dan gerombolan pekerja lainnya sepatutnya memiliki kans besar untuk membentuk sebuah partai dengan basis massa yang luar biasa jumlah suaranya. Demokrasi semata tentang suara kuantitas pada akhirnya. Sayang disayang jika semua tercerai – berai dalam sebuah ketidakpedulian atau hanya ketidaktahuan belaka.

Men-contek-lah dari mereka yang telah menyiapkan jalan besar bagi gerakan partai buruh. Conteklah Lech Walesa di Polandia, Lula di Brazil atau Rolihlahla “Nelson” Mandela yang dibantu suara buruh dalam gerakan pembebasan kaum kulit hitam yang termarjinal-kan di Afrika Selatan. Mereka layak patut diteladani dalam bingkai demokrasi menuju jalan sukses pergerakan buruh.

Kembali ke realita, jikapun masih lama sadarnya buruh untuk ber-politik, pesan pragmatis bagi para buruh adalah: “Jangan lupa potong kue – nya wahai para buruh se-bumi pertiwi di setiap hari buruh!”. Nanti di setiap tanggal 01 Mei tahun berikutnya sebagai sebuah peringatan atau semata kenangan bagi buruh. Saat ini, bersiaplah lagi menonton dan nikmati hingar – bingar pesta pemilu di bumi pertiwi yang lagi – lagi menjadikan para buruh pekerja sebagai komoditas.

Hari – hari esok adalah milik kita

Terbebasnya massa rakyat pekerja

Terciptanya tatanan masyarakat

Demokrasi sepenuhnya

Tergapainya lirik lagu “Pembebasan” seperti di atas ini akan sangat romantis bagi semua insan gerakan aktifitas buruh melalui aksi sadar berpolitik dalam ruang demokrasi di bumi pertiwi.

---

oleh A. Andeo Harahap, Penulis Lepas

Ikuti tulisan menarik An Deo Eich lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler