x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kebhinnekaan dan Keadilan

Persatuan dalam kebhinnekaan tanpa keadilan adalah ibarat menegakkan benang basah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) bukan konsep yang berangkat dari ruang hampa. Dan salah satu variabel atau syarat utamanya adalah keadilan atau kesetaraan.

Pola interaksi antara kebhinnekaan dan keadilan adalah semacam trade-off: dua-duanya atau tidak sama sekali. Keadilan yang diupayakan dengan segala cara, atau tanpa keadilan sama sekali.

Karena itu, persatuan dalam kebhinnekaan hanya mungkin tercipta melalui dua cara yang ekstrem: pertama, melalui keadilan di mana semua yang berbeda-beda didesain dan dikelola agar memiliki jiwa kesetaraan dan posisinya dianggap, tak satu pun kelompok yang termarjinalkan secara ekstrem. Kedua, persatuan dalam kebhinnekaan yang tanpa keadilan juga bisa diciptakan, namun melalui pemaksaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terserah pilih mana. Dan setiap rezim kekuasaan “memiliki hak” menentukan mau menempuh salah satu dari dua cara ekstrem itu, tentu dengan segala konsekuensinya masing-masing.

Ketika sebuah rezim ingin menciptakan persatuan dalam kebhinnekaan tanpa keadilan, terbatas pada jargon saja, maka persatuan itu akan selalu rentan bubar. Hukum sosial seperti itu, berlaku nyaris seragam dalam sejarah nation state.

Artinya, jargon persatuan dalam kebhinnekaan, tanpa langkah-langkah kongrket untuk menciptakan keadilan atau kesetaraan, adalah ibarat menegakkan benang basah. Mengkhayal namanya, Bung.

Bila analisis itu dijadikan acuan dalam mencermati asumsi atau mungkin fakta-fakta kasat mata tentang adanya keretakan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya selama Pilgub DKI 2017 dengan segala konsekuensi lanjutannya, maka beberapa catatan berikut mungkin bisa diwacanakan lebih serius:

Pertama, jika membaca semua fakta sosial dan ekonomi, baik melalui data statitstik ataupun sekedar pencermatan mata kepala secara langsung, sebenarnya tidak terlalu diperlukan kecerdasan untuk menyimpulkan bahwa sebagian besar fakta itu menunjukkan keadilan dan kesetaraan yang disuarakan selama ini lebih hanya sebagai jargon intelektual.

Kedua, keadilan memang konsep abstrak. Tapi ada perbedaan jauh antara (1) adanya upaya serius untuk merealisasikan keadilan di satu sisi, dan (2) memilih membiarkan konsep keadilan tetap sebagai konsep abstrak di sisi yang lain.

Ketiga, setiap berbicara tentang keadilan, ada satu hal yang sering terlupakan: bahwa keadilan itu tidak pernah tercapai melalui sukarela. Keadilan hanya dimungkinkan jika dipaksakan, melalui peraturan dan hukum yang ditegakkan.

Keempat, semua dinamika yang terjadi selama dan paska Pilgub DKI 2017, kalau mau jujur, adalah justru momentum  kebangsaan untuk meninjau ulang dan memperbaiki konsep kebhinnekaan yang selama ini kita suarakan. Kita semua diingatkan bahwa banyak yang keliru (secara praktek dan asumsi teoritisnya) mengenai kebhinnekaan yang kita anut dan dilaksanakan selama ini.

Kelima, saya ingin mengutip sebuah postingan lama berbahasa Jawa dari seorang warga bernama Priyo Sasongko di akun Facebook-nya, yang kemudian pada Mei 2017 kembali viral di Medsos dengan versi terjemahan bahasa Indonesia dan berbagai bahasa daerah:

“Ngomong NKRI, Bhinneka Tunggal Ika. Buat rumah gedong, temboknya tinggi2, sama tetangga kanan-kiri ga’ kenal, ga sapa2an. kerja bakti ga’ muncul, diundang kegiatan RT kok susah sekali ditemui, diketuk rumahnya yg keluar hanya pembantunya, kalau ngga’ ya digonggongi anjingnya. SEPERTI ITU NGOMONG NKRI HARGA MATI? JIDATMU”.

Pernyataan seperti ini – dan saya yakin banyak yang semisal – mestinya dijadikan bahan introspeksi serius. Saya mengomentari postingan itu dengan kalimat begini: “inilah salah satu karya ‘sastra sosial’ terindah yang pernah aku baca tentang NKRI dan Kebhinnekaan”.

Keenam, jika tidak ada upaya serius untuk merekat kebhinnekaan itu, sekali lagi variabel utamanya adalah keadilan, maka tidak perlu kebakaran jenggot bila muncul aksi dan reaksi berikut rangkaian dinamikanya, yang memiliki karakter disintegrasi yang kuat. Dan sialnya, kita lantas berpura-pura kaget seolah-olah semua aksi-reaksi itu muncul dari ruang hampa. Padahal secara sadar dan tidak sadar, bibitnya sudah lama kita biarkan berkembang biak.

Keenam, jika ada yang mengasumsikan bahwa pilar kebhinnekaan itu ternyata memang sangat rapuh, oke. Namun jangan berhenti dengan merengek. Mari melihat dan memposisikannya sebagai berkah, yang dijadikan momentum untuk menguji kualitas kebhinnekaan yang kita gembar-gemborkan selama ini.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 13 Mei 2017 / 16 Sya'ban 1438H.

Sumber peta: Nations Online Project.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB