x

Iklan

An Deo Eich

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hakim, Yang Mulia!

Dalam negara hukum, keadilan ada di tangan hakim yang ditugaskan untuk itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membaca itu membosankan. Bikin ngantuk. Tanya saja kepada Djonaha, bocah berusia 13 tahun yang sedang ujian kelulusan dari sekolah dasar. Tetapi, sebagian orang ada juga yang candu membaca. Bahkan ada bahasa Jerman untuk jenis kecanduan membaca ini. Lesesucht yang berarti candu membaca. Dengan segala tetek indah dan bengek jorok hal membaca, yang pasti haruslah setiap orang sepakati, membaca itu jendela pengetahuan.

Dunia yang tiba – tiba tambah sangat menjengkelkan ketika tahu seorang anak bernama Djonaha ini bercita – cita besar jadi pemulung. Bebas merdeka! katanya. Bebas jalan ke sana dan ke sini serta tiada orang peduli. Padahal, ada jenis pekerjaan yang menyamai hak Tuhan. Hakim! Benar ternyata, kalau ketidaktahuan itu bahaya. Mencelakakan!

Sore ini, Djonaha sedang membaca dengan tidak sadar, beberapa lembar koran bungkusan gorengan tempe dan tahu yang dibelinya di perempatan jalan.

Koran adalah salah satu media sumber berita dan informasi yang konon adalah pondasi yang harus ada di negara yang berdemokrasi. Mei ini ada beberapa headline koran yang sangat menarik minat banyak pembaca dari kelas gembel yang dipelihara negara hingga –pejabat-- negara yang memeliharanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kembali ke pembungkus gorengan Djonaha. “Lampoe Koening,” demikian nama korannya. Berita tentang dihadapkannya seorang pekerja seks komersil (PSK) kelas “menengah ngehek” dihadapan majelis hakim pengadilan negeri di kotanya memikat hatinya. Tercurahkan hatinya pada percakapan majelis hakim dan tertuduh Djonaha --nama ini persis dengannya, kesamaan ini mungkin yang menarik hatinya-- umur 24 tahun, dengan alias atau nama pesanan Nana. Waria! Percakapan ini, persis alurnya seperti percakapan "Elly" dihadapan persidangan di Bandung, pelacur yang pernah ditulis alm. Mahbub Djoenaedi.

“Dimana kamu tinggal?” tanya hakim yang bertelinga lebar.

“Tidak punya tempat tinggal Yang Mulia,” jawab Nana dengan suara dilembut – lembutkan.

“Lhooo, kok bisa?”

“Saya bisa tinggal dimana saja. Di jembatan layang boleh, di tempat parkir okay, hotel melati cincay, sekali – kali juga bisa di hotel bintang lima atau kadang rumah besar pejabat yang mentereng dan elit.”

“Apa agamamu?” tanya hakim kedua yang rambutnya botak di depan memikiri botaknya rambut di bagian kiri dan kanan.

“Tak punya!,” jawab Nana tegas.

“Kalau begitu kamu lebih pantas dikirim ke Pyongyang saja.”

 “Asal diongkosi saja!”

“Tinggal di Indonesia kok tidak punya agama?”

“Ada, tapi agama saya tidak diakui.”

 “Nama ibu dan bapakmu siapa?”

“Tidak tahu dan tidak mau tahu Yang Mulia,” jawab Nana.

“Kok begitu?!”

“Habis, saya ditemukannya di tong sampah dekat kuburan cina samping masjid.”

“Trus, selama ini apa kerjamu agar dapat uang?” tanya hakim yang seorang lagi yang memakai kumis tebal nan gagah.

“Minum – minum, jalan – jalan, leha – leha.”

“Minum – minum dan leha – leha? Buat apa?”

“Melupakan derita dan sengsara pak kumis… ekh pak hakim.”

Hadirin pengunjung tertawa gembira.

“Kamu PSK ya?”

“Siapa berani mengatakan di hadapan persidangan ini kalau saya… kalau saya PSK! Saya tantang saksi siapa saja di kota ini… di ruang ini… yang pernah memakai saya… ato… yang saya pakai!”

“Ngaco, mana ada orang yang ‘ngaku?!” tanya seorang hakim lagi yang berjidat luas.

Seorang hakim di sebelah si jidat luas, yang berjenggot panjang hidung besar berbisik, seperti mengingatkan.

“Tadi bapak lagi asyik main medsos jadinya tidak menyimak. Ada saksi --dari komplotan pembela yang bayar-- bernama Bibib dan Bunbun, menerangkan bahwa Nana ditangkap di depan rumah bos ketua pengadilan kita ketika mabuk sempoyongan sambil mengenakan pakaian mirip jubah kebesaran hakim kita ini serta wajahnya penuh bekas kecupan bibir ber – lipstick merah”.

“Apa kamu mau tobat?” tanya hakim yang berbisik itu tadi.

“Tidak, saya tidak mau tobat, orang – orang yang menemui saya bukan mau menobatkan saya, semua mau leha – leha bersama saya” jawab Nana.

Sesudah jawab – jinawab itu, majelis hakim yang berjumlah 5 orang melakukan voting putusan karena semua tidak satu – ia satu kata. 3 berkata ia menyatakan bersalah dan 2 lagi berkata tidak. Diakhiri ketok palu. Nana dihukum! Dijatuhi denda Rp.5000 subsider 5 hari kurungan.

Dengan gaya bak model internasional, Nana menyibakkan jubah hitam yang masih dipakainya, merogoh kocek belakangnya, melempar selembar uang duapuluh ribuan ke meja hijau, meninggalkan ruangan sambil melambai – lambaikan tangan seraya berkata dengan suara gahar, “Ambil kembaliannya!”

Hadirin yang budiman tertawa bahagia sekali lagi.

Di lembar lain sudut bawah koran, di bawah berita tentang korupsi triliunan e-ktp ada lagi berita persidangan dengan tertuduh Ucil. Tuduhannya membunuh Tuhan! Diberitakan ditonton oleh khayalak ramai, seramai orang sekelurahan dalam hiburan pasar malam. Percakapan dalam ruang sidangnya juga menarik hati Djonaha. Kalau alur yang ini, mirip alur drama yang tidak pernah ditayangkan dalam karya alm. Pramoedya Ananta Toer berjudul "Max Havelaar".

“Inilah dia lelaki yang membunuh Tuhan itu!” buka seorang jaksa. Jaksa ini pastilah ditiap dada kirinya di-tato-i dengan wajah Baharuddin Lopa, si pendekar hukum itu.

“Dia bersalah! Harus dihukum mati seperti Socrates! Bagaimana cara dia membunuh?” tanya hakim.

“Dia mutilasi dan taburi asam dan cuka di tubuh Tuhan”

“Benar – benar terkutuk!”

“Yang Mulia, saya tidak membunuh; Bagaimana bisa saya melakukannya? Saya bahkan memberi orang miskin yang meneladani Nya; mulai makanan murah bergizi, pakaian, pendidikan, kesehatan, rumah ibadah dan merawatnya. Saya menghormati Nya. Saya bisa memanggil saksi – saksi yang akan membuktikan bahwa saya lelaki baik dan terhormat, dan bukan pembunuh,” jawab lelaki itu.

“Kau harus dihukum! Kau memperberat kejahatanmu dengan keangkuhan. Tidaklah pantas bagi orang yang duduk di kursi pesakitan itu untuk menganggap dirinya tidak bersalah dan bahkan… terhormat,” tegas ketua hakim.

“Tapi, Yang Mulia…”

“Bersalah dan tiada ampun! Kau mutilasi hingga ke tulang – belulangnya. Kau asami dan cuka-i seperti membumbui ikan bakar, dan kau terlihat puas tiada sesal dengan perbuatanmu. Dua tuduhan primer dan satu subsider dan semua tuduhan  itu sangat meresahkan Tuhan.”

“Siapakah kau wahai perempuan renta?” tanya hakim menanyakan perempuan di antara keramaian yang dari tadi berdiri terdepan.

“Saya Tuhan,” jawab perempuan itu.

“Syukurlah! Lihat, Yang Mulia. Dia baik – baik saja.” ucap si lelaki.

Jaksa hanya terlongo – longo.

“Hmm! Ya… ya…! Sepertinya begitu… Bagaimana dengan bagian peng-asam-an dan pem-bumbu-annya?” tanya hakim.

“Tidak Yang Mulia, tidak ada, justru… dia lelaki terhormat!”

“Yang Mulia mendengar sendiri, Dia sendiri yang mengatakannya,” tambah si lelaki tertuduh.

“Huuuh! Kamu harus dihukum! Tuduhan ketiga masih berlaku, bawa pergi dan segera jebloskan ke penjara lelaki ini! Dia bersalah karena membuat kita seperti orang bodoh.”

Jaksa yang baru sejenak sadar dari terlongo – longo sebelumnya, kembali dilongo – longo putusan hakim.

Hakim – hakim yang terhormat telah memutus nasib Nana dan Ucil. Hakim itu seharusnya adalah mereka yang --jangan coba – coba seorangpun sangsikan-- punya kejujuran dan integritas, mereka kepanjangan tangan Tuhan yang maha adil. Hakim itu, tiada takutnya hingga rela mati untuk keadilan, seperti Syafiuddin Kartasasmita yang dieksekusi Ibrahim. Sogokan dan iming – iming harta, wanita dan tahta tidak mempan untuk mereka. Kriteria hakim ini berlaku untuk hakim dimanapun yang ada di Indonesia. Tanpa kecuali hakim yang memutus nasib Nana dan Ucil ini dan sesiapapun yang dihadapkan ke meja hijau.

Di negara hukum, begitulah keadilan harus diterima serta --walaupun dengan “terpaksa”-- dihormati. Kadang praktis-nya dengan mengikuti suara terbanyak. Bukan selalu karena benarnya dan adilnya, tetapi biar tidak berabe dan panjang lebar urusan – urusan mengadili ini.

Berita vonis penjara gubernur ibukota karena “merasa tidak bersalah” di lembar lain, tidak sudi lagi Djonaha membaca. Bisa tambah pening sendiri.  Dibuangnya koran itu ke tempat sampah. Djonaha tersenyum, bisa jadi itu isyarat cita – citanya sudah berubah. Mungkin dia mau menjadi seorang lelaki terhormat, sekurang – kurangnya menjadi hakim yang mulia atau… malah semakin mengokohkan niatnya menjadi pemulung.

oleh A. Andeo Harahap, Penulis Lepas

Ikuti tulisan menarik An Deo Eich lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB