x

Iklan

Kang Nasir Rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelajaran dari Kasus Ahok, Hati-hati dengan Rakyat

Hikmah Kasus Ahok

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Untuk saat ini, tidak ada seorangpun di Indonesia yang populeritasnya  bisa menandingi nama Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok bin Indera Tjahaja Purnama. Ia diberhentikan sementara dari Jabatannya dengan alasan tidak bisa melaksanakan tugas lantaran menjalani tahanan sebagaimana diperintahkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan divonis 2 tahun penjara sebagai Penista Agama.

Konskwensi dari pemberhentian sementara Jabatan Gubernur DKI adalah naiknya Wakil Gubernur Jarot S Hidayat sebagai Plt Gubernur DKI. Ini merupakan rekor tersendiri bagi kepemimpinan daerah dimana dalam satu periode kepemimpinan ada 4 kali  Jabatan Plt.  Sebelum Ahok resmi menjadi Gubernur, Ahok terlebih dahulu menjadi Plt Gubernur pasca Jokowi terpilih menjadi Presiden RI, setelah itu, Ahok mendapat lungsuran secara resmi sebagai Gubernur DKI. Menjelang Pilkada Serentak 2017, Ahok cuti kampanye, DKI dipimpin oleh Plt Gubernur yakni Soni Sumarsono. selesai Pilkada Putaran 1, masuk lagi Ahok sebagai Gubernur, tidak lama kemudian, saat Pilkada putaran 2, DKI dipimpin Plt Gubernur meneh, orangnya tetap sama yaitu  Soni Sumarsono, setelah Pilkada putaran kedua, Kepemimpinan DKI diserahkan lagi kepada Gubernur/Wakil Gubernur Ahok/Jarut. Namun malang tak dapat dihindari, Jabatan Gubernur Ahok kemudian diberhentikan Sementara karena kasus Penistaan Agama dan pejabat yang beruntung ditengah kesedihannya Ahok adalah Wakil Gubernur  Jarot S Hidayat yang diangkat menjadi Plt Gubernur hingga masa kepemimpinannya berahir atau putusan Pengadilan terhadap Ahok mempunyai kekuatan hukum tetap.   

Memang patut disayangkan, seorang Gubernur yang sepak terjangnya dianggap bagus dalam soal pembenahan Jakarta, bisa masuk bui. Apapun pandangan orang, tetap saja label itu bersemat pada diri Ahok karena sudah diputuskan oleh Pengadilan walaupun dalam kacamata hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena masih dalam proses Banding, namun dalam kacama social, gelar itu sudah resmi disandang Ahok. Meski Vonis hakim Pengadilan itu mendapat reaksi dari para pendukungnya, namun hukum tetap berjalan sesuai dengan relnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan adanya putusan hakim yang memutuskan Ahok telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasa 165 a KUHP, telah menambah deretan yurisprodensi tentang orang orang yang pernah dihukum karena Penistaan Agama.

Lantas apa yang dapat diambil dari kegaduhan dengan adanya kasus Ahok ini?, menurut pandangan saya, ini merupakan Pelajaran bagi siapapun yang memegang Amanah sebagai Pejabat Publik.

Pejabat publik, atau seorang Gubernur merupakan Jabatan politik yang lahir dari proses politik pula. Setelah menjadi Gubernur, ia punya tugas sesuai dengan Undang-Undang dalam memajukan daerah.

Dalam melaksanakan tugas itulah ia akan selalu bersinggungan dengan regulasi yang akan menyentuh banyak orang, oleh karena itu, seyogyanya dalam  membuat regulasi diupayakan tidak hanya memikirkan soal bagaimana memajukan daerah, tapi juga ada keharusan regulasi itu tidak  menyakiti rakyat, sebab jika hanya berpikir soal kemajuan/perubahan dengan hanya menunjukkan kekuasaannya tapi banyak rakyat yang tersakiti, maka akan menimbulkan pandangan negative dan banyak menimbulkan konflik social yang terus menerus, bahkan bisa jadi akan menimbulkan stigma yang buruk secara politis.

Perlu diingat, bahwa dalam setiap regulasi, didalamnya akan menimbulkan sesuatu yang disebut fungsional dan disfungsional. Ambil contoh, pembongkaran paksa kampung Aquarium, Reklamasi Teluk Jakarta, bisa jadi bagi Pengembang atau investor sangat fungsional karena akan menghasilkan keuntungan ekomomis, tapi sangat disfungsional bagi rakyat sekitar yang kena gusur atau tersingkirkan karena sangat jelas akan dirugikan secara ekonomis dan social.

Bahkan, Reklamasi Teluk Jakarta juga telah merugikan kaum nelayan bukan hanya sekitar Teluk Jakarta, tetapi merambah juga ke Wilayah Banten yakni munculnya abrasi pantai disekitar wilayah Pontang akibat pengerukan pasir yang diperuntukkan untuk reklamasi teluk Jakarta sehingga masyarakat banyak yang protes. Lihat disini http://www.kompasiana.com/mochnasir/ahok-reklamasi-dan-kutukan-orang-banten_57111706329773f909729f15

Tugas seorang Gubernur, bukan hanya bagaimana melaksanakan Pembangunan yang diejawantahkan dalam APBD sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, tapi ia juga mempunyai tugas memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Dalam konteks inilah seyogyanya Gubernur bisa merangkul seluruh elemen masyarakat/rakyat. Tentu saja dalam melaksanakan tugas sebagai pemelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, harus mempunyai komunikasi yang baik dalam menyampaikan pesan pesan pembangunan kepada rakyat agar rakyat merasa tentram nyaman loh jinawi.

Jika seorang Gubernur terkesan arogan dalam berkomunikasi, menganggap ia punya kuasa segalanya, maka yang muncul bukanlah ketentraman dan ketertiban, tetapi justru akan menimbulkan  ketersinggungan baik secara personal maupun kelompok, apalagi jika dalam berkomunikasi itu menimbulkan ketersinggungan yang memasuki wilayah paling mendasar yakni tentang keyakinan agama, maka yang muncul adalah  kegaduhan.

Bisa jadi, keterpurukan seorang Ahok baik secara politis maupun social, merupakan akibat dari   gagalnya Ahok melaksanakan tugas tugas sebagai Kepala Daerah yang selalu bersinggungan dengan rakyat. Ahok tidak peduli dengan orang orang yang merasa disakiti, rumahnya digusur secara paksa, tempat orang mencari nafkah baik didarat maupun dilaut dihancurkan sedemikian rupa, Ahok tidak sadar bahwa diantara orang orang yang disakiti itu mendendam rasa terdzolimi.

Hasilnya sudah diketahui bersama, diantara sekian juta rakyat Jakarta, ada ribuan bahkan mungkin ratusan ribu  rakyat yang tersakiti tidak lagi punya simpati terhadap Ahok, tidak meyalurkan aspirasi politiknya keapada Ahok dalam Pilkada lantas bergabung dengan rakyat yang secara politis bersebrangan dengan Ahok dan hasilnya Ahok kalah dalam Pilkada.

Apa yang menimpa Ahok dalam kasus hukumnya, bukanlah hasil dari kejujuran Ahok, tetapi imbas dari komunikasi yang tidak baik yang dimiliki Ahok sebagai seorang pemimpin sehingga ‘’tersandung” kata kata yang kemudian diformulasikan  sebagai kata kata yang bisa dianggap sebagai “Penistaan terhadap Agama”, dan itu dibuktikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Ahok dihukum bukan karena Ahok Anti Korupsi, Ahok juga dihukum bukan karena ia orang jujur, tetapi menurut keyakinan hakim, Ahok telah melanggar ketentuan pasal 165 a KUHP sebagaimana telah didakwakan JPU dalam persidangan sehingga ia divonis 2 Tahun Penjara dan diperintahkan untuk ditahan.

Maka dari itu, siapapun yang menjadi Gubernur seperti halnya Anis Baswedan yang terpilih menjadi Gubernur DKI dalam Pilkada 2017 ini, seyogyanya bisa mengambil pelajaran dari kasus Ahok, bahwa menjadi seorang pemimpin, menjadi seorang Gubernur disamping harus berpatokan pada ketentuan undang-undang, tapi juga jangan melihat rakyat sebagai orang yang harus tunduk secara social, sebab  secara nyata ada yang suka dan ada yang tidak suka, makanya, hati hatilah dengan yang namanya rakyat.

Selamat mengambil Pelajaran.

Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler