x

Iklan

Ahmad Thariq

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kritik atas Kegagapan Membaca Identitas Sunda

Yu prung ah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampurasun!.
 
Seiring terus berlangsungnya arus globalisasi, persoalan identitas sepertinya telah menjadi polemik tersendiri di ranah kebudayaan. Maraknya polemik kebudayaan di era post-modern ini, ditandai oleh menyeruaknya ”suara-suara” pengakuan yang digaungkan oleh banyak pemerhati kebudayaan daerah, termasuk di daerah Jawa Barat, tempat bermukimnya kebudayaan Sunda.
Namun, pada realitasnya, kiat untuk terus menyuarakan identitas budaya Sunda ternyata belum mampu untuk mendobrak kemapanan budaya profanistik ala Pop Culture. Merebaknya wabah  konsumerisme, individualistik, dan hedonistik yang mengkontaminasi paradigma masyarakat, seakan telah cukup untuk membuat banyak orang tertutup kedua telinganya dari nilai-nilai lokal. Lebih riskan nya lagi, pemuda-pemudi hari ini sangat rentan tumbuh menjadi generasi yang tidak tercerdaskan, lebih tegasnya lagi, apatis.
 
Menyikapi kondisi tersebut, sudah seharusnya untuk melakukan evaluasi kritis terkait langkah penyadaran selanjutnya yang harus kita lakukan.Oleh karena itu, menelah kembali secara radikal Sunda sebagai identitas kebudayaan merupakan hal yang wajib, agar, kita tidak terjebak dalam kegagapan membaca kondisi material yang hadir
 
Mengacu pada KBBI, pengertian identitas ialah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri.Pembicaraan tentang identitas, tentu akan sulit, tanpa membahas elemen-elemen yang mengkonstitusi representasinya.Seperti yang Derrida paparkan dalam teori “ke’tidak utuh-an” penanda dan petanda, maka identitas bisa diibaratkan sebagai penanda kosong, oleh karena itu, selalu merujuk pada rantai petanda bahasa yang takkan pernah terputus.
 
Identitas Sunda tidaklah berada pada dirinya sendiri (Das ding an sich), melainkan terikat pada unsur-unsur yang direpresentasikan nya.Jakob Sumardjo, dalam salah satu opus nya, Pola Rasionalitas Sunda, masyarakat lekat dengan aktivitas berladang.Kebudayaan berladang ternyata memiliki keterkaitan dengan corak filosofis Sunda dikenal dengan istilah Pola Tiga.Selain Sunda, Minangkabau, Melayu dan Batak memiliki corak yang sama. Masyarakat pola tiga menyikapi pertentangan bukan sebagai kontestasi untuk saling menganihilasi, melainkan, cenderung memahami pertentangan tersebut sebagai completio oppositorum (oposisi biner). Di masyarakat Sunda, corak filosofi pola tiga pada implementasinya terlihat pada Tri Tangtu di Bumi. Berbeda dengan masyarakat Pola Dua yang lebih mengutamakan jalan peperangan dibanding kompromi, karena filosofi nya yang lebih dekat dengan tradisi berburu, seperti suku Dayak.
 
Selain lekat dengan budaya bercocok tanam, masyarakat Sunda dikenal akan kedekatan nya dengan alam.Ini terbukti dari melimpahnya paribasa-paribasa berbahasa Sunda yang kebanyakan mengangkat entitas alam disekitarnya sebagai sarana ekspresi.Seperti, pindah cai, pindah tampian, asa aing uyah kidul, Caina herang laukna beunang, buruk-buruk papan jati. Ini memberikan penjelasan, alam, bagi masyarakat Sunda, tidaklah sekedar tempat menyandarkan hidup, tapi juga sumber kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan.
Menelaah argumentasi dua paragraf sebelunya,, dapat dismpulkan, kebudayaan Sunda terbangun atas relasi ekologis yang kuat.Kondisi material alam Jawa Barat yang subur, serta kaya akan flora dan fauna, turut membentuk corak produksi pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).Oleh karena itu, tidak salah kiranya apabila alam juga merupakan simbol identitas masyarakat Sunda.
 
Namun, fakta sejarah ini, nyatanya tidak banyak disikapi secara kritis. Di era rezim Neo-developmentalisme hari ini, kebudayaan Sunda seolah dipaksa untuk teralienasi dari identitasnya sendiri.Gembar-gembor wacana pembangunan racikan Jokowi Dodo, yang menitikberatkan pada sektor infrastruktur, menimbulkan berbagai persoalan.Mulai dari persengketaan di sektor agraria, kejomplangan kelas kaya dan miskin, sampai eksploitasi alam habis-habisan.
Mengkritisi Kembali Kegagapan Membaca Identitas Sunda.
 
Joel.S.Kahn, dalam bukunya yang berjudul Kultur, Multikultur, Postkultur menjelaskan, perubahan corak produksi agraria yang terjadi di Indonesia pada rezim kolonial.Narasi ekologi-politik masyarakat Indonesia yang pada awalnya didasarkan pada asas gotong royong dan kolektivitas, digantikan oleh corak monopolistik dan menghisap.Hadirnya narasi modern yang dibawa pihak kolonial, menciptakan hierarki kelas yang antagonistik.Mirisnya lagi, kelas menak (Bangsawan) yang berperan sebagai tuan tanah, sering menjadi pihak yang diperalat oleh kaum kolonial untuk melenggangkan penghisapan.Ini menjadi bukti, bahwa, penindasan tidak hanya terjadi secara ekonomi, tetapi juga secara kultural.
 
Pasca kejatuhan rezim kolonialisme, corak produksi di ranah agraria tidak banyak berubah.Masih bercokolnya para tuan tanah, tengkulak, dan ijon yang terus menghisap hasil panen para buruh tani, sejatinya merupakan warisan feodalisme yang diwariskan rezim kolonial.Selain itu, penetrasi korporasi yang memasuki daerah pedesaan menimbulkan konflik antara pihak petani dan perusahaan.
 
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) ada 450 kasus konflik agraria di Indonesia pada tahun 2016 lalu. Jumlah itu naik hampir dua kali lipat ketimbang data 2015 yang hanya sebanyak 252.
Sungguh sebuah anomali ketika masyarakat kita tidak merasa tercabik rasa kemanusiaan dan identitas nya, ketika masyarakat Rembang sedang berusaha direnggut dari alam nya, dari ladang nya sendiri, oleh korporasi dari negeri nya sendiri, mengatasnamakan PT.Semen Indonesia.Atau, silahkan lihat sendiri bagaimana nasib Kalimantan Barat yang sedang terancam alam nya
 
Menurut laporan dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Kapuas Hulu, merupakan daerah yang termasuk kawasan konservasi, yakni merupakan wilayah adat dan telah lestari karena kearifan masyarakat dalam menjaga ekosistemnya.Kalimantan Barat, yang masuk dalam program Gerakan Penyelamatan Sumber Daya (GPSD), termasuk Kapuas Hulu, justru dijadikan perkebunan sawit skala besar dan pertambangan.Akibat dari konversi tersebut, banyak dampak kerugian yang terjadi, seperti perubahan ekosistem,cuaca yang ekstrim, sumber air bersih yang tercemar , pencemaran beberapa badan air sungai, berkurang atau hilangnya habitat hewan-hewan yang endemic seperti Orang utan dan lainnya, serangan hama belalang, penyakit malaria dll.At.
Redistiribusi lahan juga menjadi masalah yang krusial.Data lain yang dirilis KPA, menjelaskan, 1,7 juta HPK dikuasai oleh 129 perusahaan sejak 2011-2014, seakan menunjukan tren negatif yang tak kunjung selesai.
 
Di Papua, perseteruan masyarakat pribumi dengan PT.Freeport masih terus bergejolak.Eksploitasi dan ekstraksi alam tanpa henti, terus mempeburuk kehidupan pribumi. Data BPS 2016 menyatakan bahwa sekitar 20 persen penduduk Papua masih berada di bawah garis kemiskinan dan gini ratio di Papua hampir sama dengan tingkat nasional yaitu berada di angka 0,39.
 
Lebih mirisnya lagi, kita bahkan tidak turut bersuara untuk alam didaerah kita sendiri.AGRA Pangalengan yang masih memperjuangkan tanah sampalan. AGRA Pangalengan menilai bahwa program sertifikasi tersebut merupakan bagian dari rencana nasional Pemerintah Jokowi yang memiliki tujuan jahat karena hanya akan memperluas pasar tanah dan memudahkan perampasan tanah yang dilakukan oleh tuan tanah atau pemodal besar.
 
Persengketaan tanah di Sukamulya yang melibatkan para petani dengan pihak aparat yang membela kepentingan pembangunan BIJB juga masih menjadi polemik yang belum terselesaikan.Konflik yang terjadi sejak 2004 ini telah lama menghantui keberlangsungan tempat tinggal dan mata pencaharian warga setempat.Muhammad Al-Fayyadl, dalam kunjungan nya ke Sukamulya melakukan wawancara dengan Bambang, petani setempat yang juga juru bicara petani di Sukamulya.Menurut Bambang, peristiwa 17 November 2016 sebenarnya sudah terjadi sejak 9 November.Kejadian yang melibatkan penembakan ke udara dan gas air mata itu, telah memaksa warga mengevakuasi diri ke Balai Desa. 
 
Lantas, apa yang menjadi masalah?.Apa yang menghubungkan Sunda dengan rentetan catatan buruk di atas?.
 
Kita (masyarakat Sunda) seakan tengah terbawa arus narasi Post-modernisme, yang terlalu mengdepankan kontestasi identitas kultural semata. Pemaknaan identitas yang terbatas pada tradisi setempat belaka merupakan gejala kegagapan membaca realitas, yang sedang menjangkiti ego masyarakat Sunda hari ini. Padahal, disamping itu ada masalah yang tidak kalah krusial.
 
Alam, sebagai pemberian Tuhan yang Maha Pemurah, dan telah sekian lama menjadi sumber penghidupan, kebijaksanaan, dan ilmu pengetahuan bagi orang Sunda, telah banyak luput dari perhatian kita. Seakan, kita lebih memilih untuk lari dan menyerahkan tugas pengelolaan alam kepada pihak yang berkepentingan.
 
Yang jadi masalah, bagaimana kalau ternyata pihak berkepentingan tersebut yang melanggengkan pengerusakan alam?.
 
Rentetan kasus di atas hanyalah segelintir dari banyak kasus eksploitasi alam oleh pihak korporasi dan pejabat tinggi terpercaya kita.Niscaya, masih banyak kasus yang belum sempat kita ketahui.
 
Adalah penting untuk kita, sebagai pewaris kebudayaan, untuk membangun sisi emansipatoris budaya Sunda menyikapi permasalahan hari ini.Kita memerlukan lebih dari sekedar revitalisasi lembaga-lembaga kebudayaan Sunda.
 
Membuka perbincangan kritis tentang permasalahan pokok hari ini dari perspektif orang Sunda, baik pada forum intelektual, maupun waktu luang akan lebih memperbaharui pemahaman kita terkait isu-isu ekologi yang kini bermasalah. Pelibatan seluruh elemen masyarakat didalamnya, akan memberikan porsi lebih banyak bagi kita untuk menyuarakan suara kita dan suara kawan-kawan kita yang tertindas di luar sana.
 
Ini bukan waktunya lagi untuk terus menunggu kepekaaan pemerintah yang sejauh ini masih utopia belaka.Melakukan pencerdasan akan lingkungan secara masif, dan bergerak berlandaskan asas swadaya, sepertinya mampu mensubstitusi peran pemerintah yang tidak maksimal sejauh ini.
 
Cag!.
 
 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Thariq lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu