x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mereka yang Tertindas

Esai-esai George Orwell tentang kemiskinan, kolonisasi serta satra dan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mereka yang Tertindas

Judul Asli: The Collected Essays, Journalism and Letters of George Orwell

Penulis: George Orwell

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Masri Maris

Tahun Terbit: 1990

Penerbit: Yayasan Obor Indonesia

Tebal: xii + 204

ISBN: 979-461-062-3

Salah satu penulis yang saya kagumi adalah George Orwell. Saya kagum atas keberaniannya mengungkapkan kejujuran. Ia menulis apa yang ia pikirkan. Ia tak segan-segan mengkritik gagasan-gagasan besar yang selama ini sudah terlanjur dianggap kebenaran. Meski garang, namun karyanya tetap indah. Sebab kalimat-kalimat yang ia pakai sangat mudah dipahami dan tak membuat saya bosan untuk membacanya.

Penulis Inggris yang nama aslinya adalah Eric Arthur Blair ini menghasilkan beberapa novel dan beberapa esai yang sangat dihargai dalam khasanah sastra Inggris. Novel berjudul “Animal Farm” dan “Nineteen Eighty-Four” adalah dua karya novelnya yang diakui sebagai novel Inggris yang luar biasa. Selain menulis novel, George Orwell juga menulis esai dan kritik sastra. Buku ini adalah kumpulan esai dan kritik sastra yang dikumpulkan oleh Sonia Orwell dan Ian Angus yang terbit pertama kali pada tahun 1968.

Menarik untuk mengetahui apa alasan Orwell untuk menulis. “Saya menulis karena ada kepalsuan yang ingin saya ungkapkan (hal. 8). Memang benar bahwa tulisan Orwell adalah tulisan tentang pengungkapan kepalsuan-kepalsuan. Ia menelanjangi dominasi Inggris di India dan Burma, menelanjangi para intelektual yang bersembunyi pada paham nasionalis sehingga rela untuk berbohong. Ia mengkritik perasaan antisemitik yang tidak diakui oleh para terpelajar Inggris dan kejujuran para sastrawan yang sering terbelenggu oleh rezim (partai yang berkuasa). Itulah sebabnya ia menyampaikan bahwa “seorang penulis hanya dapat tetap jujur bila ia bebas dari label partai” (hal. 2).

Siapakah sesungguhnya George Orwell? Orwell adalah anak seorang pegawai negeri. Ia mendapatkan pendidikan yang cukup baik dan menulis sejak muda. Ia pernah menjadi polisi di Burma. Ketika mencoba untuk hidup dengan hanya mengandalkan tulisan-tulisannya ia jatuh miskin di Paris dan di London. Ia pernah menjadi tentara dalam Perang Spanyol dan kemudian membuka took kelontong sambil meneruskan kegemarannya menulis. Pengalaman saat menjadi polisi di Burma, menjadi gelandangan di London dan Paris serta Perang Spanyol sangat mewarnai tulisan-tulisannya.

Menurut Orwell ada empat alasan seseorang menulis, yakni: (1) untuk kepentingan sendiri, (2) kegairahan estetika, (3) dorongan sejarah dan (4) tujuan politik (hal. 7). Ia mengakui bahwa tiga dorongan pertama lebih dominan sehingga ia terus menulis (hal. 8). Itulah sebabnya dalam tulisan-tulisannya dalam buku ini, Orwell banyak menuliskan pengalaman-pengalaman pribadinya, mencatat secara detail fakta-fakta sejarah dan tidak mau mengabaikan fakta sejarah hanya demi ideology (ia lebih suka menyebutnya nasionalisme) dan pilihan kata-katanya dalam semua tulisannya sangat sederhana, mudah dimengerti, tetapi tetap indah tanpa perlu berbunga-bunga.

Tema apa saja yang ditulis oleh Orwell? Tema utama buku ini adalah tentang kemanusiaan. Tentang bagaimana manusia harus memperlakukan sesamanya. Tema kemanusiaan dimunculkan melalui tema-tema kemiskinan, kolonialisme, dan peran satrawan/cendekiawan dalam mempengaruhi kebijakan negara.

Ia menyoroti kemiskinan melalui artikel “Panti Derma” (hal. 15), “Bagaimana Si Miskin Mati” (hal. 64), “Memetik Bunga Hop” (hal. 115) dan “Marrakech” (hal. 142). Ia juga menulis tentang kolonialisme melalui artikel “Mengapa Saya Bergabung dengan Partai Buruh Independen” (hal 12), “Hukum Gantung” (hal. 26), “Menembak Gajah” (hal. 32), Catatan tentang Nasionalisme (hal. 41), “Mengenang Perang Spanyol” (hal. 77), “Renungan tentang Gandhi” (hal. 99) dan “Antisemitisme di Inggris” (hal. 149). Orwell juga sangat perhatian terhadap hubungan antara kesusantraan dengan politik. Perhatiannya dituangkan melalui artikel “Mengapa Saya Menulis” (hal. 4), “Arthur Koestler” (hal. 160), “Pencegahan terhadap Kesusastraan” (hal. 173) dan “Penulis dan Leviathan” (hal. 189).

Apa pandangan Orwell terhadap posisi sastrawan/cendekiawan terhadap suatu rezim yang berkuasa? Orwell tidak menolak para sastrawan/cendekiawan berkarya untuk sebuah rezim. Namun ia mengingatkan bahwa sastrawan/cendekiawan hendaknya tidak “dipakai” oleh rezim untuk alat propaganda. Ia menyampaikan bahwa: “Saya hanya mengemukakan bahwa kita seyogyanya menarik perbedaan yang lebih tajam dari yang telah kita lakukan sekarang ini antara loyalitas terhadap politik dengan loyalitas terhadap sastra” (hal. 195). Seorang sastrawan/cendekiawan tetap harus jujur pada tujuan kemanusiaan.

Membaca karya Orwell adalah membaca wajah yang muncul di setiap halaman karyanya. Wajah seorang setengah tua yang gelisah. Wajah dengan kening berkerut yang sedang memperhatikan detail-detail tingkah polah manusia yang terus menindas sesamanya. Wajah yang bibirnya berupaya keras menyingkirkan penindasan dengan kata-kata.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB