x

Iklan

An Deo Eich

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pledoi buat Veteran!

Karena veteran membutuhkan pembelaan, saat seumur hidup mereka sudah membela bangsa ini tanpa pamrih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I.

Seorang pejuang perang tidak selalu pahlawan; tapi seorang pahlawan perang selalu pejuang! Mari mangutkan kepala saja kepada legalisasi “diskriminasi” pemberian gelar pahlawan bagi orang – perorang yang berjuang untuk dan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak melulu orang yang berjuang dari sejak tetes keringat pertama hingga tetes darah terakhir, menjadi pahlawan. Ya! Titel pahlawan ini bernilai materiil! Ada untung yang diberi negara untuk (seorang) pahlawan atau setidak – tidaknya bagi ahli warisnya kalau jasad (sang) pahlawan telah hilang dimakan cacing.

Di sini, pejuang yang masih tersisa beberapa tahun masa hidupnya --acap disebut veteran RI-- dikuduskan bagi mereka suatu hari, untuk “peringatan”. Tiap 11 Agustus seperti selebrasi atau penghormatan formalitas khas pemerintah tercinta untuk dikenang hari bagi mereka yang selalu terlupakan di lain harinya. Satu hari saja dan selanjutnya dilupakan! Veteran ini bukan pahlawan karena mereka hanya jompo tua yang fade away! “Hanya” kroco yang berjuang untuk menancapkan dan menjaga merah – putih di langit tertinggi ibu pertiwi dari ujung timur hingga tepi barat Indonesia.

Tidak asing di mata, veteran ini masih ada yang terasing dan merana di “rumah” yang mereka perjuangkan. “Rumah” yang veteran perjuangkan dahulu itu yang bernama NKRI – Rumah bagi semua orang yang ditakdirkan menjadi Bangsa Indonesia. Veteran itu terbuang karena sudah usang dan ditindas karena kebutaan tyrannus dari level pusat hingga kota di NKRI tercinta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mari serampangan menunjuk dalam peta bumi NKRI dari pulau ikan Sumatera hingga pulau burung Papua, niscaya di tiap tempat akan ada veteran yang dianiaya zaman dan tidak dipedulikan. Saat semua bisu, patung jenderal besar di tengah jalan raya ibokota mungkin bisa jadi tempat bertanya. Cela dan nista apa yang dilakukan veteran ini --yang menyeruak fakta patut cela--, kalau mereka tidak berdaulat atas setapak rumah dalam “rumah” yang mereka perjuangkan? Atau keblingeran macam apa yang menyelimuti dominus --dari presiden hingga walikota atau bupati-- saat tiap – tiap veteran ini sedang diunjung tanduk kakinya --mencoba seimbangkan doa dan amarah-- mendengar kabar bedil pimpinan berwenang akan mengusir mereka dari rumah yang mereka tempati sejak abdikan jiwa – raga pada ibu pertiwi? Rumah yang mereka tempati ini, bukan 1 atau 2 atau 3 atau 10 tahun lalu! Rumah yang mereka tempati ini, sudah sejak 40 – 50 tahun yang silam! Ambil contoh kesekian dari ribuan-kian pejuang yang merana di “rumah” - nya ini. Telunjuk menunjuk sebuah dusun di Jabar. Veteran bernama Endang Hendra bersama 499 lainnya. Mereka pejuang pemberantas pemberontak yang hendak mengacau kesatuan RI.

Mari bertaruh --donor hati bagi yang kalah-- bahwa veteran pejuang ini tidak kuasa memilih untuk di-lahir-kan menjadi tentara di NKRI tercinta. Kemudian --gandakan taruhannya --dengan donor otak bagi yang kalah-- bahwa andai mereka punya kuasa memilih setelah cincay dengan Pencipta --dan dahulu tahu bumi pertiwi yang akan dibelanya merendahkan kehormatan mereka hingga setara keset kaki-- maka tentu mereka akan memilih menjadi seorang juragan tajir – mawajir se-level konco – konco pejabat negara termasyur. Jikapun tetap jadi tentara --pasti ini pilihan kedua-- mereka pasti amat sangat selektif, dengan cermat memilih menjadi seorang Jenderal Besar Sudirman atau Jenderal Besar A.H Nasution atau Jenderal Besar Soeharto atau setidak – tidaknya Jenderal Naga Bonar yang terkenal gagah kocaknya sedunia fantasi.

Nasib berkata malang, Endang dkk. ditakdirkan sebagai pejuang tanah air cikal bakal “apes” veteran yang tidak dipedulikan apalagi dicintai si ibu pertiwi. Di usia senja, jauh dari sejahtera. Masih saja dicobai tanpa henti mungkin hingga mati nanti. Surat ber-kop institusi pemerintah hal pengusiran yang berarti angkat kaki dan angkat tapak kaki dari petak rumah --yang konon ditinggalinya sejak zaman Koninklijke Nederlandch Indische Leger (KNIL) alias Tentera Kerajaan Hindu Belanda-- sudah berkali diterima dari pimpinan komando angkatan terhormat seperti surat cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tetapi Endang dkk. kukuh cinta pada rumahnya --sehidup semati mesranya.

Para tyrannus yang buta hati dan buta mata, mungkin memperoleh kenikmatan tersendiri, saat mengusirnya. Tidak sulit diprediksi cap yang dilekatkan pada para veteran ini, salah duanya: orang tua yang “tidak tahu diri” atau orang tua “pelawan hukum!”

Jangan – jangan, dirasa ada sikap merendahkan tiada tara di sekat otak para tyrannus --dengan bisikan manis-racun dari negotiator pemuja kekayaan semata-- jika melihat mereka para veteran ini masih kongkow santai di teras rumah mereka yang “bim salabim” telah muncul hak pakai yang berdasar hukum atas nama kementerian tyrannus yang maha perkasa itu.

“Veteran ini hanya patut dihargai ketika aktif! Sudah jompo dan tak bersumbangsih! Minggatlah dengan segera dan tahu diri! Tanah dan rumah yang kalian tinggali itu demi hukum adalah tanah kementerian yang perkasa dan terhormat.” Begitu mungkin ujaran dan igauan para tyrannus yang mengikut logika secarik sertifikat kaku tinta hitam di atas kertas putih –pejabat pertanahan.

Pengusiran itu –mari pura-pura bodoh-- semata demi kepentingan ketegasan hukum, pertahanan keamanan NKRI yang harus utama dan terutama! Janganlah ada curiga yang dapat merongrong wibawa kementerian perkasa ini. Tiada bumbu ekonomi di baliknya atau dalamnya yang dibawa para owner of capitalia. Jika ada pikiran seperti itu, maka itu adalah lancang sejak dalam pikiran!

II.

Dari sakralnya kesucian moral yang sudah jarang dan enggan dijadikan patokan bersikap, Mari cari lembaran aturan hitam – putih --seperti kesukaan tyrannus picik dalam berlindung dalam celah hukum-- yang mungkin ada berpihak kepada para veteran pejuang ini. Konon, adalah hak asasi yang tidak boleh kurang karena alasan apapun tentang hak atas rumah ini! Lembaran hukum yang seperti rompi anti peluru, memantulkan setidaknya menahan “peluru” para tyrannus. Hukum – hukum ini akan menghujam sebagai tanya, menyasar bebal hati para tyrannus yang sedang yakin menjalankan amanah hukum?! Bukan amanah perut dan kekuasaan buta?!

Secarik konstitusi! Undang – Undang Dasar NKRI 1945, dalam sebuah pasalnya berbunyi –yang sepatutnya mendekam di tiap relung kalbu manusia Indonesia-- menjamin “hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” Dengan konstitusi ini, setiap orang yang kebetulan menjadi pejabat harusnya malu atas setiap pemberangusan rumah sesiapapun warga Indonesia apalagi para veteran pejuang!

Jika konstitusi itu dirasa diawang - awang, mari paksa otak mencerna bekerja untuk perhatikan lembaran hukum tentang perumahan dan kawasan pemukiman. Berbunyi nyaring di sana, “negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan ” dilanjutkan gema keadilan, “kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.” Yang diringi lagi dengan gaung “rumah untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.” Biar, gampang setiap orang cerna betapa dilindunginya kepemilikan rumah ini, mari lihat ayat – ayat eksekutif dalam undang – undang ini yang di tiap penjelasannya disebut dengan terang benderang “cukup jelas!” karena memang tidak ruwet untuk dipahami.

Jika nyaring dan garangnya aturan – aturan itu tidak bisa mengggedor pintu hati tyrannus, mari lihat secarik lembaran hukum tentang hak asasi manusia (HAM) disalah satu pasalnya dengan sederhana --dituliskan agar tidak membingungkan dihadapan setiap orang yang kadung picik dalam memakai otak dan hati--, bahwa setiap orangberhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”

 Jika belum cukup lembaran – lembaran itu, masih ada lembaran hukum tentang hak ekonomi sosial budaya yang dibawa langsung dari konvensi internasional --seperti getolnya pemahaman local bahwa peradaban hak asasi itu berkiblat ke dunia luar-- menulis dengan tinta merah nyala di atas kertas putih suci, bahwa “Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, termasuk cukup papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang berkelanjutan….

Jika masih sulit meng-encer-kan (bekunya) otak setelah dihadapkan carikan – carikan lembaran hukum itu, per-hati-kan! Hasil budi-pikir orang sedunia dalam deklarasi universal hak – hak asasi manusia yang menyampaikan tanpa sehelai sekat penutup. Human Rights Committee dalam Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR), menyuarakan pendapat universal yang berlaku ke segala sudut dunia dimana manusia tinggal tentang hak atas rumah dengan nalar yang sehat bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Yang bahkan jika terjadi pengusiran paksa, dibentengi --mungkin demi perasaan sebagai sesama manusia dengan semangat kemanusiaan-- dengan menyuarakan “pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.

Benteng – benteng dalam secarik kertas pengejawantahan nurani universal kemanusiaan itu, yang bermuara pada sebuah ultimum verum. Rumah itu sebagai hak hakiki!

III.

Jika semua carikan dan larikan kertas aturan itu masih tidak juga dapat sekedar menggelitik rasa keadilan dalam hati tiap tyrannus bangsa ini, mari perhatikan hakikat rumah dari nurani dan jiwa sosial budaya. Lupakanlah, semua dalil hukum di atas jika dirasa hanya ayat kaku tak bernyawa. Beri hati pada hakikat rumah.

Rumah dilekati ruang dan waktu cerminan nilai budaya dan nilai sosial penghuninya bukan sekedar kesatuan harmoni bahan bangunan tempat berlindung dari panas dan hujan dengan atap jerami. Lihat ragam upacara adat sebagai syukur dan penghormatan saat pembuatan rumah di banyak daerah di Indonesia, bahkan hanya sekedar memasuki rumah, disirami dan dihujani dengan doa.

Rumah itu seperti manusia!

Rumah itu adalah penghuninya!

Rumah itu kehormatan!

Harus dihargai dan dihormati!

Membela rumah adalah membela kehormatan!

Di zaman dahulu kala,Adat hidup yang dipakai orang Indonesia, melarang orang mengabaikan rumahnyaTanda kehormatan manusia dilekatkan pada sopan santun bergaul, kepada pakaian dan kepada rumah.” Ini kata – kata Bung Hatta –tandem sang proklamator! Rumah itu tanda kehormatan!

IV.

Tidak perlu lagi rasanya bandingkan nasib dan perlakuan para penguasa dan pemerintah kepada veteran di negara eropa dengan veteran pejuang Indonesia. Karena akan membuat tunduk kepala tyrannus semakin sejajar mencium tanah karena malu yang amat sangat. Slogan yang merdu di telinga tiap perayaan hari kebangkitan nasional atau hari pahlawan, “bangsa besar yang menghargai jasa para pahlawan – nya” akan menampar setiap anak bangsa ini ketika melihat nasib para veteran seperti Endang dan 499 orang lainnya. Pejuang yang merana dalam “rumah” – nya karena sedang direnggut tiap – tiap jengkal kehormatannya oleh para tyrannus! Tyrannus yang mengkhianati kecerdasan!

Berandai – andai, Endang dkk. bukan pejuang Indonesia, mungkin akan bernasib sedikit… yaaa… sedikit saja lebih baik. Setidak – tidaknya jika mereka adalah veteran pejuang negara eropa di belahan bumi di sana, tidak ada yang akan ganggu kehormatan --rumah-- mereka! Pledoi ini – pun tidak penting jadinya.

---oleh A. Andeo Harahap, Penulis Lepas

Ikuti tulisan menarik An Deo Eich lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler