x

Presiden Jokowi menjajal jalan Trans Papua dengan menaiki motor trail di ruas Wamena-Mamugu 1, Papua, 10 Mei 2017. Presiden mengenakan jaket hijau dilengkapi helm berkamera dan pelindung lutut. Biro Pers Istana Presiden

Iklan

Yuli Isnadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jokowi, Kamp, dan Sketsa Utuh Pembangunan ~ Yuli Isnadi

Gambaran utuh hasil pembangunan tidak bisa didapat dari data statistik,karena statistik pembangunan menempatkan rakyat dalam posisi pasif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Yuli Isnadi

Dosen FISIPOL UGM

Mahasiswa PhD Jurusan Ekonomi Politik NCKU, Taiwan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Third in the world, is it? What world is that?" tulis kolumnis Jake Van Der Kamp di South China Morning Post, setelah dalam pidatonya di Hong Kong Presiden Jokowi mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah peringkat 3 dunia (SCMP, 2/5/17). Komentar sinis ini ditanggapi dingin oleh Istana dengan mengatakan bahwa Kamp gagal paham karena kehilangan konteks "diantara negara-negara G-20" (Koran Tempo, 4/5/17).

Sudah tentu Pemerintah Indonesia merasa gerah,sebab kritikan itu dapat merusak reputasinya di mata rakyat Indonesia dan internasional,lebih-lebihjikadimanfaatkan oleh lawan politik dengan mengatakan bahwahasil pembangunan ternyata tidak sehebat yang disampaikan pemerintah selama ini.

Kalau menurut saya, tidaklah perlu kiranya memberi perhatian khusus terhadap perdebatan tersebut. Gambaran utuh hasil pembangunan tidak bisa didapat dari data statistik,karena statistik pembangunan menempatkan rakyat dalam posisi pasif yang hanya bisa menerima program pembangunan, nir perasaan dan kehendak. Pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor SDA, jumlah buruh, hingga angka kemiskinan, mengasumsikan rakyat sebagaibenda mati. Angka-angka ini tidak akan dapat menggambarkan kekecewaan-kekecewaan rakyat terhadap pembangunan mega proyek pabrik semen di Kendeng, reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, tambang Kulon Progo dan Mimika, hingga kebijakan perburuhan.

Selain itu, statistik pembangunan tidak dapat menceritakan kondisi rakyat yang ada dibalik angka-angka. Kita cuma diberitahu besaran ekspor kelapa sawit yang mencapai 25,1 juta ton pada tahun 2016 (Koran Tempo, 1/2/17), namun tidak diberitahu tentang derita rakyat yang dirampas lahannya, atau mengenai jumlah buruh yang hampir mencapai 16 juta orang di tahun 2016 (BPS, 2017) tanpa paham bagaimana pengeksploitasian yang terus dialami mereka.

Pun demikian halnya, statistik pembangunan berpotensi bias, sebagaimana ungkapan, "Lies, Damned Lies, and Statistics".Potensi ini sangat besar tapi jarang disadari, karenanya ia lebih dibenci tuhan dibanding kebohongan yang terkutuk(Courtney, 1895). Dengan menggunakan data BPS (2017) contohnya, pembangunan dapat diklaim sukses karena angka kemiskinan turun sebesar 0,16 persen dari pada menyebut gagal karena masih ada 27,67 juta orang miskin.

Dapat dikatakan, statistik pembangunan hanyamenyediakan angka-angka pertumbuhan kemakmuran tanpamampu bercerita tentang peningkatan kesengsaraan, menyediakanjumlah persoalan yang terselesaikan tanpamenerangkanpersoalan yang masih harus dituntaskan beserta penyebabnya.Apa yang tiada adalah belumdidapatnyasketsahasil pembangunan secara utuh.

Adalahmahfum jika pemerintah tidak bersediamenginformasikandampak buruk hasilpembangunankarena beragam alasan politik dan ekonomi. Maka di sinilah diskursus ruang publik dunia maya menemukan relevansinya. Berbeda dibanding era Habermas, lokasi ruang publik kini sudah bergeser ke dunia maya melalui internet. Di dunia tersebut,semua orang bisa terlibat pertukaran informasi secara deliberatif, setara, rasional, serta tanpa intervensi pemerintah (Webster, 2006). Semua data dan perasaan dipertukarkan serta diuji kebenaran dan kemasukakalannya tanpa hambatan otoritas dan hirarki politik dan budaya.Perbincangan diblog, website, youtube, twitter, sampai facebook adalah realitas dari ruang publik ini.

Ruang publik dunia mayasudah menginspirasi sejumlah aktivis dunia dalammenyusun gambaran lengkap dampak pembangunan. Contohnya di China, para aktivismenggunakan blog dan twitter untuk menceritakan perasaan rakyat di balik propaganda pembangunan pemerintahanyang otoriter. Ternyata,negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia selama lebih dua dekadetersebut telah membuatsebagian rakyat menderita. Informasi ini mengundang ribuan perbincangan di dunia maya sehingga wajah utuh hasil pembangunan China terbentuk.

Hal serupa juga terjadi sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia.Contohnya adalah Watchdoc yang merilis puluhan film dokumenter tentang perasaan-perasaan rakyat terhadap pembangunan melalui Youtube,di samping website LSM dan organisasi gerakan, seumpama Walhi, Jatam, Indoporgress, hingga Daulat Hijau yang menyuarakan hal serupa. Apa yang perlu dilakukan sekarang adalah menyadari, menguji keakuratan informasi, dan mendiskusikannya. Dari sinilah gambaran utuh hasil pembangunan akan muncul, bukan dari perselisihan Pemerintah Indonesia-kolumnis di atas.

Ikuti tulisan menarik Yuli Isnadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB