x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menapaki Kesunyian, Meresapi Partitur Kebangkitan

Kau lihat lukisan " Nyanyian Air Mata " ini, sebuah permenungan dari seniman yang melihat dengan mata bathinnya betapa biadabnya manusia...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Barangkali hanya ini yang  bisa menghiburku saat penat menyaksikan  perang kata-kata di media sosial. Manusia yang telah ditelikung benci, ditabalkan oleh kepercayaan buta terhadap agama dan menjadikan agama sebagai pembeda bukan pemersatu manusia untuk menyembah Tuhan yang satu. Begitulah sekumpulan manusia yang merasa pintar jika berbicara agama, moral dan adab, tapi menebarkan hasrat kebencian dan perbedaan. Apakah salah menjadi minoritas, non pribumi. Apakah harus merasa menang dengan menjadi  mayoritas dan pribumi pula.

Kadang pula minoritaspun menganggap salah mayoritas sudah bodoh, fanatik, apalagi di tambah satu penderitaan  miskin. “itu derita Lo”. Kalau sudah begini apalah arti  khotbah berbusa-busa, berdoa berjam-jam, teriak-teriak tentang benar dan salah menurut agama. Jika manusia selalu mempertajam perbedaan dengan memainkan jurus “sombong”, sok agamis, merasa suci, dan merasa paling beradab, tinggal menunggu runtuhnya sebuah peradaban.

Ingat cerita tentang Sodom dan gomorah, ketika manusia merasa bisa menciptakan surga, menabrak moralitas, batas-batas  sopan santun dan yakin bahwa  mereka tidak butuh Tuhan. Ketika kebebasan seks diumbar, ketika manusia merasa tidak butuh Yang Maha Pencipta. Maka kehancuran, bencana, dan penghukuman dari Tuhan menjadi pengingat manusia tetaplah manusia, yang penuh keterbatasan, penuh dengan kekurangan penuh dengan dosa. Menghakimi  manusia lain karena merasa  ada pelanggaran hak beragama,  karena perlu membela agama dan memberangus kepercayaan lain dengan mengintimidasi, menuduh kafir, murtad dan tuduhan -  tuduhan keji lainnya hanya akan menambah luka dan dendam pada manusia yang merasa dikangkangi oleh manusia lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di kota yang hiruk pikuk ini ternyata ada suara-suara sumbang yang terus digemakan, terus menerus dikumandangkan untuk membenci, membatasi dan menelikung kebebasan dalam memeluk sebuah “kepercayaan”. Banyak manusia lelah yang terus menapaki bara kebencian, terus diberi energi untuk menciptakan kotak-kotak perbedaan hingga munculnya kata-kata nyinyir yang terus membandang dalam arus teknologi modern yang susah dihentikan.

Dalam kesunyianpun hati masih ribut, mata masih kesuh oleh lintasan-lintasan kata-kata yang terus bergema di mesin pintar bernama Gadget. Semua orang  yang mencari sepi di taman, di sudut rumah, di warung kopi, di kafe mewah tengah kota  menemukan  suasana  ramai di gawai masing-masing. Aku, dia, mereka, bisa tersenyum, memaki, merayu, tegang, terangsang, klimaks dalam  arus kata dan gambar di sebuah barang kecil yang bisa tergenggam. Barang yang terus disentuh, dipuja dan disayang itu adalah dewa baru tempat manusia saling berinteraksi, ngobrol panjang tapi lupa bahwa mereka, aku, dia, teman tersayang terjebak dalam autisme.

Ah, bagaimana mungkin merasakan penderitaan sesama  jika hanya melihat  dalam bingkai layar kecil. Kadang lebih banyak basa-basinya “tinimbang”  ketulusan.

Kau lihat lukisan " Nyanyian Air Mata " ini, sebuah permenungan dari seniman yang melihat dengan mata bathinnya betapa biadabnya manusia, memperlakukan alam hingga hancur lebur.  Partitur lagu tentang  kebangsaanpun tidak bisa membendung manusia untuk membakar hutan demi kekayaan.

Indonesia, Bangkitlah  sesekali resapi jalan sunyi, tidak larut dalam gemuruh demo di jalanan, tidak tersandera oleh perang kata-kata di media sosial. Jernihkan pikiran barangkali setiap sisi manusia ada yang salah, ada yang  kurang. Manusia tempatnya salah hanya Tuhanlah kebenaran hakiki, tempat semua manusia berharap akan kebahagiaan abadi. Jangan kotori tangan dan jarimu oleh ukiran-ukiran jelaga pikir yang menyusup dari hati dengkimu. Mari bangkit berdiri, bergandengan tangan  lupakan perbedaan. Perbedaan  itu indah, seperti partitur yang menterjemahkan setiap bunyi dalam   harmoni yang maha dahsyat. Jika itu terjadi dunia pasti berpaling dan berdecak kagum. Kenapa itu yang tiidak dilakukan.  

 Sumber: Buku Katalog Nisan Kristiyanto, berjudul Partitur dan Pemandangan yang ( Tidak ) Biasa, Pameran Tunggal , di Bentara Budaya Jakarta. 18 - 28 Mei 2017. Kurator , Penulis, Efiks Mulyadi, dan kurator, penulis Mikke Susanto.

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler