x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Winning the Race Inside Ourselves

Tantangan utama para leaders adalah menerjemahkan dengan baik prestasi masa lalu untuk fit menghadapi kekinian

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: 3 Elements to the Next Stage of Your Success

Tantangan utama para leaders adalah menafsirkan ulang keberhasilan mereka dulu untuk mengatasi kondisi sekarang.

(Di pedang yang dipakai Tom Cruise dalam film The Last Samurai tersebut tertulis: "Since ancient times to the present, God is with those who serve with dignity and honor.")

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

           

Hampir pada setiap rapat dengan para deputi dan timnya, Mr. Minister nyaris selalu melontarkan tanggapan-tanggapan negatif. Misalnya, saat anak buahnya presentasi rencana strategi, Mr. Minister bilang, “Kalau yang begitu saya nggak usah diajari, sudah tahu saya.” Di lain waktu, beliaunya akan komentar lain lagi, seperti, “saya ini dulu CEO terbaik, …etc.”

Di perusahaan-perusahaan yang gemar menggunakan jargon-jargon sekolah bisnis, bahkan di lingkungan bisnis berbasis IT yang mestinya cara berpikirnya sudah canggih, ternyata masih ada yang CEO-nya atau bosnya gemar berkata, “Kalian ketemu saya jangan bawa persoalan, sajikan solusi dong.”

Fakta-fakta tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di negara-negara yang ekonomi dan kegiatan bisnisnya lebih baik, katakanlah Amerika dan Inggris.

Dari keterlibatannya dalam kegiatan pengembangan leadership di ribuan perusahaan dan lembaga penting di banyak negara selama lebih dari 25 tahun, Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) menyimpulkan, “The major challenge faced by executives today: NOT understanding the practice of leadership (KNOW HOW), BUT practicing their understanding of leadership (SHOW HOW).”

Mereka, Mr. Minister atau para CEO yang bertendensi bossy tersebut, adalah orang-orang baik, dengan rencana-rencana terpuji untuk terus sukses, dan memang memiliki prestasi sehingga berhasil menempati pos mereka sekarang.

Lalu, apa masalahnya? Situasi akan gawat, membahayakan legitimasi kepemimpinan mereka dan dapat merugikan institusi jika cara memimpin model Mr. Minister atau dengan gaya CEO yang menolak anak buahnya melaporkan persoalan itu, terus dipertahankan.

Seorang leader dapat kehilangan legitimasi bukan karena dicopot dari jabatan, tapi ketika tim atau anak buah kehilangan rasa hormat. Mereka menjalankan tugas karena takut dimarahi atau khawatir kehilangan pekerjaan. “No one is truly leader who engages people primarily through coercion,” kata Nancy J. Adler, professor di International Management McGill University, Kanada.

Legitimasi tersebut makin lemah akibat informasi yang dihidangkan kepada Mr. Minister dan si CEO merupakan hasil rekayasa, sudah tidak sesuai dengan the real challenges yang dihadapi institusi.  Anak buah cenderung munafik, menjilat, dan memberikan laporan sesuai kehendak bos, bukan sebagaimana faktanya.

Institusi yang dipimpin dengan pola seperti itu cenderung  melakukan rekayasa laporan tahunan. Tentu ini membahayakan para pemegang saham atau pemerintah (bagi kementrian).

Mr. Minister yang konon mantan CEO terbaik dan para CEO yang menolak anak buahnya melaporkan fakta, jika bersedia rendah hati, dapat belajar menghadapi kenyataan dan mencari inspirasi pihak lain. Misalnya dari Alan Mullaly, CEO Ford Motor Company (2006 – 2014).

Alan Mullaly berhasil menyelamatkan Ford dari merugi US$ 12.7 miliar dan memimpin tim mencetak laba, justru dengan bersedia membuka diri untuk menerima info apa adanya dari para direkturnya dan tim mereka. Kebiasaan lama, berupa  memberikan laporan yang seolah-olah bagus tapi bertentangan dengan fakta perusahaan merugi, dihapuskan oleh Alan Mullaly.

Di rapat rutin mingguan Business Plan Review, Alan membiasakan para direktur plus tim secara terbuka memperlihatkan fakta-fakta perusahaan sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Juga ketika menghadapi persoalan pelik di bidang sales, keuangan, human resources, atau pun teknologi.

Dengan keterbukaan dan kerendahan hati Alan untuk memberikan support, para direktur dibiasakan bekerja sama saling membantu untuk mengatasi setiap tantangan dengan spirit One Ford.  Keberhasilan Alan memimpin Ford jadi legenda bisnis Abad 21.

Kepemimpinan itu lebih banyak tentang kepentingan mereka, bukan pemimpinnya, kata Alan Mulally, yang kemudian oleh majalah Fortune diranking sebagai the third greatest leader in the world sesudah Paus Francis dan Angela Merkel.

Alan Mulally, seperti juga para leaders yang berhasil dan terus menjaga kualitas profesionalisme mereka, tampaknya menerapkan nasihat para guru kelas wahid dalam bidang manajemen dan leadership. Antara lain Peter Drucker, yang mengatakan, “Our mission in life should be to make a positive difference, not to prove how smart or right we are.”

Kita dapat membuat analogi, memimpin institusi dimulai dengan keberhasilan mengelola “balapan di dalam diri”, managing the race inside self, antara ego, keterikatan pada masa lalu (cling to the past performance) dan kepongahan yang menyertainya,  kecerdasan,  akal sehat, kerendahan hati, dan keberanian menghadapi kenyataan, serta visi memajukan institusi. Mana yang Anda menangkan merupakan pilihan sesuai kemampuan leadership masing-masing.

Tantangan utama para leaders yang (pernah) sukses adalah bagaimana menafsirkan kembali dengan baik keberhasilan mereka dulu untuk jadi referensi dalam mengatasi tantangan saat ini. Untuk tetap eksis, hiduplah di waktu sekarang. Ibarat mengemudi kendaraan, apakah Anda akan  lebih banyak nengok ke belakang lewat kaca spion atau melihat kenyataan di depan mata?

Dalam mengembangkan kompetensi dan perilaku (behaviors) yang fit untuk tanggung jawab sekarang, umumnya mereka didampingi coach (atau coaches, sesuai kebutuhan).  Coach membantu para leaders agar lebih kontekstual dengan kekinian. Alan Mullaly saat jadi President Boeing Commercial Aircraft sudah bekerja sama dengan Coach Marshall Goldsmith.

Di negara-negara maju, jika ada eksekutif yang keras kepala atau defensif menolak dibantu untuk lebih berprestasi, diminta mundur oleh atasannya – kalau CEO oleh pemegang saham.  Karena orang-orang semacam itu, kalau pinjam istilah M. Quraish Sihab (Tafsir Al-Misbah, 2002), jiwanya tertutup gerhana.

Ini kata seorang CEO sebuah perusahaan kategori Fortune 100  (100 perusahaan terbaik menurut majalah bisnis Fortune) yang sudah dibantu MGSCC, “Success can lead to arrogance. When we began arrogant we quit listening. When we quit listening we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.

Pola kepemimpinan yang selalu menyombongkan prestasi masa lalu dan menolak anak buah melaporkan fakta, sebagaimana cerita di awal tulisan ini,  lazimnya dapat diubah.

Orang-orang berprestasi di level Mr. Minister atau para CEO yang bossy, kemungkinan hebat di sejumlah hal. Hanya sedikit kekurangannya, umumnya di perilaku (behavioral) -- namanya juga manusia, selalu ada ketidaksempurnaan. Kompetensi? Barangkali perlu selalu di-update saja.

Namun, ketidaksempurnaan yang sedikit itu, jika tidak diubah dan dibiarkan kelamaan, dapat membahayakan banyak pihak. Apalagi kalau mereka tidak meng-update kompetensi masing-masing.

Disamping shareholders, juga ribuan manusia lainnya kena dampak negatif jika institusi yang mereka pimpin mengalami stagnasi, tidak berprestasi, atau mengeluarkan kebijakan publik yang misleading.  

Kemampuan leadership seseorang menentukan ukuran pencapaian, kualitas dan warna institusi yang dimpimpinnya.

Perubahan behavioral secara sistematis dan terstruktur untuk mengembangkan kepemimpinan, sebagaimana sudah dipraktikan oleh Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) selama lebih dari 25 tahun membantu ribuan perusahaan dan lembaga lain, dapat meningkatkan prestasi individu dan institusi.

Dimulai dengan tiga elemen sederhana tapi fundamental, yaitu courage (berani keluar dari zona nyaman, be vulnerable, pikirkan ulang belief yang selama ini diyakini, melakukan hal baru, siap ambil langkah apa pun untuk berubah jadi lebih baik); humility (melibatkan stakeholders dan menghormati pendapat mereka, mengakui diri tidak sempurna); discipline (implementasi dan asah terus perilaku efektif/habits/processes).

Ketiga elemen tersebut, dalam praktiknya, sering berat dilakukan oleh para leaders – yang sebagiannya ada yang sempat sesumbar “Ah, begitu saja saya bisa.”  

Proses pengembangan kepemimpinan ibarat menempa baja untuk pedang samurai atau keris pusaka. Setiap layer perlu dipanaskan dan ditempa. Memerlukan sikap sungguh-sungguh, tabah, dan tulus. Tidak ada jalan pintas dalam pengembangan kepemimpinan yang berhasil memiliki long lasting and positive impact.

Program coaching memang hanya untuk para juara atau yang terbuka hati dan pikirannya untuk meningkatkan diri to be the champion.

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting

Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

  

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler