x

Sejumlah massa Hizbut Tahrir Indonesia membawa banner saat mengikuti puncak acara Muktamar Khilafah 2013 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (2/6). TEMPO/Dian Triyuli Handoko

Iklan

fathurrahman ghufran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

HTI dan Penyelundupan Demokrasi

Toleran terhadap HTI dengan dasar hak kebebasan berserikat justru akan menjadi virus negatif yang akan menggerogoti tubuh keindonesiaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fathorrahman Ghufron

Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta

Tulisan Noorhaidi Hasan, "HTI Ujian bagi Demokrasi", di Koran Tempo edisi 12 Mei lalu menyampaikan pandangan bahwa pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilakukan oleh pemerintah adalah tindakan blunder. Noorhaidi pun menguraikan bahwa jika HTI dihadapi dengan cara yang tidak demokratis, apalagi pembubaran tanpa proses hukum, ide-ide HTI justru akan semakin mendapat pembenaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal penting yang perlu dikritik dari tulisan Noorhaidi adalah ketika dia menyatakan bahwa keberadaan HTI adalah ujian demokrasi dalam negara ini. Negara tak perlu membubarkan HTI karena masyarakat sudah melek Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila serta dianggap mempunyai sistem imun yang memadai untuk menangkal berbagai kelompok penentang dasar negara, seperti yang ditunjukkan oleh HTI.

Posisi Noorhaidi yang cenderung "pasif" dan "membiarkan" keberadaan HTI sebenarnya menyimpan sebuah dilema dan mencerminkan pandangan yang blunder pula. Di satu sisi, toleran terhadap HTI dengan dasar hak kebebasan berserikat justru akan menjadi virus negatif yang akan menggerogoti tubuh keindonesiaan. Sejak kelahirannya, HTI sudah mengambil sikap tegas untuk menjunjung tinggi sistem khilafah yang diilhami oleh Taqiyuddin Al Nabhani (1909–1977), yang ingin menyatukan semua umat Islam yang tersebar di berbagai penjuru dunia melalui gerakan daulah islamiyah.

Di sisi lain, pembubaran HTI dianggap sebagai benalu bagi iklim demokrasi yang mulai tumbuh subur di Indonesia. Bahkan, tindakan ini merepresentasikan sikap despotik pemerintah yang, menurut Noorhaidi, bisa berlaku kepada kelompok-kelompok lainnya.

Bila argumen demokrasi yang digunakan sebagai alasan untuk membiarkan HTI, lalu bisakah kita menerapkan hak-hak demokrasi kepada HTI yang menyatakan demokrasi adalah sistem kufur? Dapatkah kita membiarkan pergerakan HTI yang selama bertahun-tahun menjadikan khilafah sebagai strategi wacana dalam relasi kuasa di negara ini--yang berarti mengabsahkan adanya pendirian negara di dalam negara--dengan hanya mengandalkan keyakinan bahwa rakyat memiliki modal sosial yang cukup untuk menangkalnya?

Tidakkah resonansi NKRI yang bertalu-talu disuarakan oleh masyarakat sesungguhnya memiliki keterbatasan oktaf yang tak lagi akan melengking, seiring dengan masif dan intensifnya HTI membiakkan pandangan dunianya? Dan, patut diingat bahwa HTI adalah jejaring transnasional yang sangat lihai memanfaatkan berbagai peluang dengan segala macam modus operandi, baik secara material maupun imaterial, sehingga dalam beberapa tempo mampu mempengaruhi barisan massa yang ada di berbagai lini dan lembaga.

Bahkan, HTI tak segan-segan menggunakan jargon demokrasi sebagai modus untuk mengamankan dirinya dari segala macam reaksi masyarakat yang dapat merugikan dirinya. HTI juga menggunakan istilah hak asasi manusia sebagai payung untuk menyuarakan pikiran-pikiran "makar"-nya terhadap pemerintah.

Padahal, dalam platform politiknya secara tegas HTI mengusung sistem teokrasi dengan kekuasaan dan kedaulatan mutlak milik Tuhan melalui mekanisme khilafah. Akan tetapi, dalam berbagai praktiknya, kedaulatan rakyat digunakan sebagai ruang defensif untuk menyamarkan agenda merongrong negara dan pemerintah yang sudah diatur dan dikelola melalui prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu, bisakah kita menerima argumen hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat, sedangkan HTI sesungguhnya tidak mempercayai kedaulatan rakyat dan hanya menjadikannya sebagai pemanis bibir untuk memuluskan agenda utamanya?

Di sinilah kerancuan sebagian pihak yang bersikap toleran terhadap keberadaan HTI, yang sejak 1980-an sudah berkembang di Indonesia dan memperoleh momentum aktualisasi dirinya pasca-reformasi, ketika demokrasi digunakan sebagai alat penyelundupan berbagai ajaran dan agendanya. HTI sesungguhnya sudah melakukan penyelundupan demokrasi untuk mencapai negara Islam yang dicita-citakan.

Apa yang dilakukan pemerintah perihal pembubaran HTI sebenarnya dapat dipahami dalam dua aspek. Pertama, ini tindakan pemerintah dalam melindungi segala macam simbol negara yang selama ini didiskreditkan oleh HTI dan melindungi bangunan NKRI agar masyarakat tidak dipengaruhi dan terseret arus ajaran dan agendanya yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan kebinekaan.

Kedua, ini merupakan tindakan pemerintah dalam melakukan intervensi sosial terhadap HTI, sekaligus isyarat terhadap berbagai kelompok sosial dan keagamaan yang merongrong dasar negara dan konstitusi. Ini juga isyarat kepada kelompok yang melakukan tindakan otoriter untuk mengintimidasi pihak lain atas dasar kepentingan dan kebenaran dirinya semata.

Apa yang dilakukan pemerintah dengan membubarkan HTI sebenarnya merupakan langkah yang tepat. Pemerintah juga tidak menghalang-halangi HTI untuk melakukan gugatan hukum di pengadilan karena, bagaimanapun, Indonesia adalah negara hukum.

Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 19 Mei 2017

Ikuti tulisan menarik fathurrahman ghufran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB