x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendung Kelabu di Suriah

Negara-negara digdaya mengejar dominasi atas semua atau bagian-bagian dari sistem internasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Setelah berakhirnya Perang Dingin tahun 1989, yang ditandai runtuhnya Uni Soviet, maka dipastikan perang ideologi telah berakhir. Francis Fukuyama (1999), dalam bukunya, The End of History and The Last Man, telah menggambarkan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Pada pucuk-pucuk ideologi tersebut, lahirlah embrio-embrio liberalisasi di segala sektor, termasuk kapitalisasi ekonomi. Ekonomi telah menjadi semacam tulang segar yang diperebutkan anjing-anjing yang sedang kelaparan.

Tak peduli bagaimana cara mendapatkannya, semua dianggap halal. Mau dengan cara paksa atau membujuk, tujuannya tetap sama: profit. Mereka tak peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka, mencuri uang orang lain, mencuri tempat tinggal orang lain, mencuri wilayah orang lain sah-sah saja, dengan satu alasan menegakkan imperium jajahan. Secara logis, kita tentu akan berontak bila tempat kita diusik dan diganggu. Bahkan, kita siap mempertaruhkan nyawa untuk itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi itulah yang sekarang terjadi di Suriah. Negara yang merdeka pada 1 Desember 1924 ini tengah dibidik oleh dua blok yang dulu pernah terlibat dalam Perang Dingin, yakni Rusia dan Amerika Serikat. Rusia mendukung Assad (pemerintah berdaulat Suriah), sedangkan AS mendukung kaum oposisi. Apa di balik dukungan itu semua? Kepentingan distribusi minyak. Produksi minyak Suriah, menurut jurnal Oil and Gas, memang hanya 2,5 miliar bph per Januari 2014. Tetapi, Suriah menjadi jalur utama distribusi minyak.

Tidak hanya Suriah sebenarnya. Negara-negara di Timur Tengah saat ini masih terus bergejolak. Palestina-Israel masih bersitegang terkait urusan wilayah. Somalia dengan intensitas perang saudara maupun para perompaknya. Afganistan yang masih dirundung permasalahan internal pemerintahan yang akut, yang menyebakan banyak warga Suriah mencari suaka ke luar. Libya yang masih terus digempur oleh tentara-tentara pemberontak. Iran yang masih terus diincar oleh Amerika Serikat karena aktivitas nuklir yang ditengarai membuat hubungan dengan negara Paman Sam itu tidak mesra. Seluruh contoh tersebut merupakan kejadian yang menohok panggung global.

Maka, tidak mengherankan bila Suriah terus diincar oleh para predator minyak, terutama AS. Logikanya jelas. AS adalah konsumen BBM terbesar di dunia, mencapai 19,150 juta bph untuk memenuhi kebutuhan minyak domestik. Dengan bersandar pada doktrin globalisasi ekonomi, yang meretas tapal batas teritorial, maka dengan mudah negara maju melakukan penjajahan terhadap negara lain untuk mendapatkan apa yang menjadi kehendaknya. Suriah, seperti yang dikatakan di atas, adalah “anak manis” dalam jalur perdagangan minyak. Untuk memuluskan itu, AS harus menaklukkan Suriah.

Kondisi terbaru, pada 5 April 2017 lalu, Suriah dihujani bom kimia. Bom kimia itu ditengarai merupakan senyawa sarin. Sarin merupakan senyawa yang digunakan untuk membunuh serangga, namun pada perkembangan berikutnya zat ini dikembangkan menjadi gas racun yang menyerang sistem syaraf dengan merusak neurotrasmitter yang merupakan sistem komunikasi antarsyaraf dalam tubuh manusia. Sekitar 70 orang dinyatakan tewas dalam insiden itu (Tribunnews.com, 7 April 2017). Sampai saat ini belum diketahui siapa pelakunya. Semua pihak masih saling membantah.

Bahkan, sebelumnya, konflik di Suriah menggunakan zat kimia seperti klorin, fosgen, (merupakan agen kimia yang dapat membuat korbannya mati tersedak), gas mustard (yang menimbulkan luka bakar yang menyakitkan pada kulit), VX Poison (bentuk cair dan uap yang menyerang sistem syaraf pusat), dan zat kimia berbahaya lainnya. PBB melalui Dewan Keamanan harus mencegah efek berkelanjutan hal ini. Melalui Konvensi Jenewa (yang salah satunya memuat adanya perlindungan dari pembunuhan melalui kimia, biologi, dan lain-lain), PBB harus menjadi mediator negara berkonflik saat ini.

Hubungan Internasional dan Pendekatan Realis

Kalau kita kaji dalam analisis hubungan internasional (HI) melalui pendekatan realis, maka yang ditemukan, dunia selalu anarki. Keadaan chaos telah menimbulkan ketegangan di Timur Tengah. Akibat kuatnya cengkeraman aktor internasional; negara adidaya seperti Amerika dan Rusia yang memiliki kekuatan nuklir yang luar biasa memudahkan mereka untuk menjarah negara lain yang lemah seperti Suriah.

Keadaan inilah yang disebut sebagai stabilitas hegemoni. Negara-negara digdaya mengejar dominasi atas semua atau bagian-bagian dari sistem internasional. Mereka menciptakan hirarki dalam keseluruhan sistem anarki internasional. Negara hegemonik memiliki kapabilitas yang cukup sehingga berhasil menerapkan dan memaksa negara lain untuk mendukung aturan, norma dan lembaga yang dibuat oleh negara hegemonik.

Amerika Serikat menjadi negara hegemonik disamping kompetitornya Rusia. AS begitu hebat dengan kekuatan minyak dan teknologi mesin combusion. Kekuatan militer kedua negara itu juga sama kuat di dunia. Sehingga negara lain, semisal Suriah menjadi ketar-ketir. Dalam konteks ini, negara maju memainkan agenda setting, atau yang biasa dikenal dengan istilah “global setting”. Pendekatan ini dikembangkan oleh Richard Falk yang menekankan pada kekuatan-kekuatan politik internasional memengaruhi ataupun mengintervensi kebijakan-kebijakan pembangunan suatu negara.

Suriah tidak bisa tumbuh dengan mandiri. Ia terus diintervensi oleh negara maju. Pola penajajahan gaya baru nantinya membunuh secara perlahan negara Suriah, bila global tidak peduli. Apalagi dalam hal ini, Dewan Keamanan PBB yang ditampuk sebagai mediator dalam segala konflik perlu menampakkan tajinya. Kalau tidak, perlahan tapi pasti akan bermunculan konflik (anarki) internasional, karena tidak ada regulator diatas negara. Ditambah dunia yang mengglobal, tak ada dalil yang bisa memproteksi ancaman dari luar, apalagi itu menyangkut ekonomi.

Maka, sudah sepatutnyalah kita menunggu air hujan bahagia turun di Suriah. Suriah adalah negara yang berdaulat. Negara maju tak punya otoritas mengatur negara lain. Negara maju harus dihukum oleh PBB karena ulah mereka. Toh, regulasi sudah ada, bom kimia dilarang keras dalam hal peperangan. Dua blok yang dulu dan masih bersitegang, AS dan Rusia harus menarik mundur pasukannya. Itu bukan urusan mereka, tak boleh intervensi urusan internal negara lain. Semoga dewan keamanan PBB mengambil langkah solutif, agar mendung kelabu di Suriah usai.

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler