x

Iklan

Ahmad Supardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pencakliknya Kisah Turun-temurun Tikar Purun

Bentang alam lahan gambut di Sumsel berlahan-lahan berubah, berikut cerita sebab dan akibatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rusli, 45 tahun, sigap mengikat tali ketek berwarna biru miliknya ke bibir kanal buatan Desa Perigi Talang Nangka, Kabupaten OKI. Ia menepi karena siang itu, Sabtu, 6 Mei 2017, langit Desa Peringgi mendung dan disusul hujan gerimis.

“Kanal buatan dan lahan gambut inilah sumber ekonomi keluarga saya,” Rusli mengawali cerita.

Ia menuturkan, dari kecil ia bersentuhan dengan gambut  yang terletak di belakang kebun karet milik warga Desa Perigi, dari mencari ikan dengan cara memancing, menangkul dan membubu hingga mengepul batang purun untuk dibuat tikar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lah, di gambut ini keperluan lauk pauk kami terpenuhi,” ia tersenyum.

“Jangankan lauk pauk, alas duduk atau untuk tidur: tikar, juga terpenuhi. Bahkan bisa menjadi sumber uang karena kami memproduksi tikar purun yang bisa untuk dijual,” lanjutnya.

Namun sayang, menurutnya limpahan berkah dari alam yang sudah turun-temerun dimanfaatkan nenek moyangnya itu berlahan-lahan sekarang mulai berkurang. Alasannya, alam di desa kelahirannya itu mulai berubah, penyebabnya karena mudahnya kebakaran lahan gambut yang hampir setiap tahun, semenjak perambahan lahan gambut untuk kebun sawit di Sembokor.

“Kadar air di gambut ketika musim kemarau sedikit dan mudah kering karena banyak kanal-kanal di perkebunan sawit,” katanya.

Selain itu, dampak lainnya dari kebakaran gambut  membuat bahan pokok tikar purun berkurang, “Bahkan sudah dua tahun ini saya tidak mengepul purun lagi,” jelasnya.

Akibatnya, Sania, 45 tahun, isteri Rusli juga tidak bisa lagi memproduksi anyaman purun. Padahal sebelumnya, menurut Rusli, satu hari Sania bisa memproduksi satu helai tikar.

“Kalau dijual satu helai tikar seharga 20 ribu,” ucapnya.

Pemasukan uang, bisa juga lewat menjual bidas-bidas purun. Satu bidas seharga 2 sampai 3 ribu.

“Satu bidas purun ini bila sudah dipipikan, bisa dianyam menjadi satu helai tikar.”

Harapan baru

Berkurangnya bahan pokok purun di Desa Perigi juga dirasakan Yahun, 48 tahun. Ia mengakui kadang harus membeli bidas purun dari desa-desa tetangga dengan harga lebih mahal, kadang mencapi 4 ribu.

Ia sadar betul, mengayam purun berlahan-lahan ditinggalkan masyarakat di Desa Perigi. Selain pengaruh berubahnya bentang alam yang berdampak minimnya bahan pokok, juga karena generasi muda yang tidak memiliki kempampuan untuk mengayam purun lagi.

“Karena itulah, saya mengajak dan mengajarkan ibu-ibu untuk kembali menganyam purun ini,” ujarnya sambil terus mempraktekkan menganyam purun. Tampak tanggannya lincah, selang seling ia menaikkan purun dengan hitungan dua diatas, dua di bawah dilanjutkan memasukan purun secara menyilang. Begitu terus sampai panjang dan lebar, hingga menjadi sehelai tikar.

“Nama kelompok kami Tunas Hijau,” ia memperkenalkan nama kelompok yang dibentuknya.

Ia menceritakan, Kelompok Tunas Hijau ini beranggota 30 orang dan berdirinya Januari 2017, lalu. Selama empat bulan ini, mereka telah mempraktekkan dan memproduksi tikar, tas, kotak tisu, toples dan kipas.

“Semuanya berbahan dasar purun,” katanya.

Bagi Yahun, mengajarkan kreativitas buah tangan ini selain untuk mendongkrak ekonomi masyarakat juga untuk menjaga keseimbangan lahan gambut di desanya.

“Purun itu tumbuh di lahan gambut desa, kalau masyarakat bisa memanfaatkannya, jelas nanti mereka akan menjaga gambut dengan kesadarannya sendiri. Bisa-bisa kebakaran tidak akan terjadi lagi. Yang penting itu, persediaan purun selalu ada di lahan gambut desa, jangan kalah melawan api dan perambahan perusahaan,” harapnya.

Persoalan pemasaran

Namun Yahun tidak menampik, mereka masih kesusahan untuk memasarkan hasil produksi mereka. Jadilah, mereka menghasilkan buah tangan dari purun itu tergantung permintaan saja.

“Kalau permintaannya ada, kami segera menyediakan. Tapi kalau membuat saja tanpa jelas pemasarannya kami sungkan juga, karena takut barang itu cuma sia-sia tersimpan,” jelasnya.

Yahun juga menjelaskan harga barang-barang produksinya tergantung besar dan kerumitan anyaman.

“Harganya ada yang 50 ribu hingga 150 ribu,” lanjutnya.

Potensi lain

Selain purun,Ketua Gabungan Tani Perigi Bersatu Makmur Eddy Saputra menjelaskan ada potensi lain untuk mengembangkan perekonomian masyarakat Perigi. Potensi itu gula aren dan bambu.

Menurutnya, dahulu kala desa perigi ini terkenal sebagai sentral gula aren. Namun sayang, seiring waktu, produksi gula aren itu berlahan-lahan ditinggalkan karena harga pasaran yang murah.

“Harga jual kami murah, padahal harga eceran tinggi.” tutupnya.

Ahmad Supardi

 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Supardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler