x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Logika Dagang Senjata Ala Trump, Stark, dan Orlov

Tony Stark dan Yuri Orlov tahu benar apa arti sebuah senjata. Persamaannya, mereka berdua hidup dari senjata dan menikmati kekayaan dari berbagai konflik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tony Stark dan Yuri Orlov tahu benar apa arti sebuah senjata. Persamaannya, mereka berdua hidup dari senjata dan menikmati kekayaan dari berbagai konflik di belahan dunia. Perbedaannya, Tony adalah ilmuwan cum pengusaha, sedangkan Yuri murni pedagang dan oportunis. Garis hidup menuntun mereka pada takdirnya masing-masing.

Dalam nadi Tony ada darah Howard Stark, sosok penting dalam Proyek Manhattan, sebuah kerja strategis untuk melawan ganasnya NAZI, juga underbouw-nya Hydra. Kegeniusan Tony diturunkan dari Howard, termasuk ego dan ambisinya soal teknologi perang. Tony juga meraih gelar dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Nah, Yuri sama sekali berbeda. Ia hanya anak keturunan Yahudi pengungsi asal Ukrania. Seperti kita tahu, ganasnya NAZI membuat orang-orang Yahudi terdiaspora ke banyak tempat. Awalnya ia hanya menjalankan bisnis restoran keluarga. Momen ketika segerombolan mafia Rusia merentetkan senapan kepada sejumlah orang memberinya inspirasi: menjual senjata sama pentingnya dengan menjajakan makanan di restoran!  

Lalu, Tony dan Howard memilih  untuk terjun ke industri persenjataan. Tony Stark melanjutkan bisnis Sang Ayah dengan bendera Stark Industries. Namanya bak selebriti. Gaya hidupnya super mewah. Lengkaplah sudah harta, tahta, dan wanita bagi Tony. Berbeda dengan Tony, Yuri bergerak di bawah tanah dan radar penegak hukum. Ia bertransasksi senjata secara ilegal di pasar gelap. Potensi keuntungannya sangat menggiurkan, apalagi pangsa pasarnya selalu ada, terutama di wilayah-wilayah konflik seperti di Lebanon, Kolombia, dan Afrika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Stark Industries ditopang oleh ribuan karyawan juga ilmuwan-ilmuwan pintar. Produknya bermacam-macam, mulai dari pesawat tempur hingga rudal jarak jauh. Setiap tahun, Stark Industries menggelar Stark Expo untuk unjuk gigi berbagai produknya. Sedangkan Yuri ditopang oleh kenekatan dan lobi-lobi dengan para pedagang senjata lainnya. Ia mengajak sang adik, Vitali Orlov, untuk membantunya menjalankan bisnis tersebut. Kelincahan Yuri yang membuat bisnisnya menjanjikan kekayaan, hingga ia sanggup memikat hati seorang supermodel.

Tony Stark dan Yuri Orlov adalah dua karakter yang bisa menggambarkan industri senjata secara sederhana. Keduanya adalah karakter fiktif.  Tony Stark sudah amat populer sebagai Iron Man, manusia baju zirah berteknologi canggih dan berkekuatan tempur super, salah satu karakter terpopuler milik Marvel Comics. Sosoknya lahir dari goresan seniman besar, Stan Lee dan Jack Kirby.

Yuri Orlov adalah tokoh utama dalam film Lord of War (2005),  yang ditulis dan disutradarai oleh Andrew Niccol. Sosok imajiner seperti Yuri Orlov (yang diperankan Nicolas Cage) lahir dari kisah-kisah suram para pedagang senjata gelap. Film Lord of War bahkan mendapat dukungan dari organisasi HAM dunia, Amnesti Internasional, untuk membuka mata publik tentang sisi gelap industri senjata.

Nasib Tony dan Yuri pun berbeda. Tony disadarkan betapa industri senjatanya menjadi bumerang baginya. Ia melihat bagaimana senjata-senjatanya dipakai oleh serdadu untuk membantai habis sebuah perkampungan, sekaligus mengancam nyawanya sendiri. Alhasil, sebagaimana kita tahu, Tony menjadi Iron Man untuk “mencuci bersih” dosanya dari mereguk keuntungan penjualan senjata. Tony Stark menjadi pahlawan. Sedangkan, nasib Yuri lebih nahas. Ia ditangkap oleh Interpol dan dijeblokan ke dalam penjara. Keluarganya hancur berantakan.

Berdagang senjata adalah sesuatu yang sangat menggiurkan. Bagi negara-negara rawan konflik, senjata adalah consumer goods. Selalu dicari dan laku cepat. Tengoklah Mogadishu, Somalia, pada medio 90-an. Senapan AK 47 lebih mudah didapat daripada sejumput beras atau sekerat roti.

Pada sabtu, 20 Mei 2017 lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani perjanjian jual beli senjata dengan Arab Saudi. Perjanjian senilai 110 miliar dolar AS ini mencakup pembelian tank, sistem rudal,helikopter, kapal perang, pesawat nirawak, hingga sistem keamanan siber.

Dalih keamanan melawan ekstremisme dipilih Trump saat itu. Namun, ekstremisme seperti apa yang dimaksud? Tidak jelas. Pada akhirnya ini semua logika berdagang dan mencari keuntungan. Semakin terancam sebuah kawasan, maka para pedagang senjata akan berbondong-bondong menawarkan produk mereka, baik di ruang yang terang maupun ruang gelap.

Siapa yang diuntungkan dari memanasnya Semenanjung Korea? Siapa lagi jka bukan industri persenjataan, baik Amerika Serikat maupun negara lain seperti Rusia. Amerika adalah pemasok senjata utama untuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang memiliki risiko terbesar dari krisis nuklir Korea Utara.

Eh, tunggu dulu, para pemain di industri senjata berhak protes. Senjata itu tidak hanya soal perang, lho. Perdamaian juga butuh senjata. Kemanan dan stabilitas nasional juga membutuhkan senjata. Begitulah logika dagang: selalu ada potensi keuntungan di musim apa pun.

Jadi, keributan yang menjalar hingga bumi pertiwi ini tak lebih dari persoalan perut, salah satunya pelaku industri senjata. Bagaimana agar sesuatunya bisa cepat terbakar dan menjalar? Semuanya disulut dari benturan ideologi hingga sektarianisme. Ketika kita bertengkar sampai titik darah penghabisan, Tony Stark dan Yuri Orlov sedang menikmati segelas anggur kualitas wahid di salah satu kapal pesiarnyaa. Sedangkan Donald Trump? Mencari celah untuk terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat.  ***

sumber gambar: hitman's desk by kanatochan

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler