x

Sejumlah massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa ormas Islam lainnya berorasi di depan Gedung Kementerian Pertanian saat Basuki Tjahja Purnama alias Ahok membacakan nota pembelaan atau pledoi di Jakarta, 25 April 2017. TEMPO/Frannoto

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

FPI Adalah Wajah Kita

Pada tahun 1999, kerusuhan demi kerusuhan dilakukan oleh kelompok-kelompok pendukung politik PDIP dan parpol lain terjadi di mana-mana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertama saya mengingatkan, bahwa apa yang disebut sebagai kekerasan itu bukanlah hanya berupa kekerasan fisik. Tekanan terhadap psikologis juga merupakan bentuk kekerasan. Penghinaan, caci maki, bahkan perkataan lembut yang menghina, adalah kekerasan. Korban kekerasan juga bukan cuma manusia, tapi juga alam atau lingkungan manusia yang di dalamnya ada bermacam-macam bentuk kehidupan. Eksploitasi kasar terhadap sumber daya alam adalah kekerasan kepada alam yang dinikmati para penikmat ekonominya, Tapi masa depan dihancurkan.

Saya memberi contoh pilihan suatu perbuatan terhadap diri Anda: Jika Anda tak punya pilihan selain dua hal yang harus diambil: Pilih mana: 1. orang memaki atau menghina ibu Anda, atau 2. orang memukul Anda? Orang yang mempunyai jiwa pengorbanan besar kepada ibunya tak mungkin membiarkan ibunya terluka jiwanya.

Anda bisa membandingkan itu dengan ikatan jiwa manusia dengan agamanya yang mengandung kecintaan dan rasa pengorbanannya kepada Tuhan yang melebihi apapun. Asalkan bahwa jika Anda bukan orang yang punya ikatan rasa jiwa dengan agama maka Anda tak akan mampu merasakan apa yang orang lain rasakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika Anda adalah orang yang berpikir dari perspektif diri-sendiri, ogah untuk sekali waktu berpikir dari sudut pandang perasaan orang lain, maka Anda ternyata adalah salah satu makhluk yang menjadi masalah di dunia ini, sebab setiap keegoisan adalah masalah bagi dunia: Jika Anda menjadi seorang pemimpin, maka akan banyak orang lain yang menjadi korban keegoisan atau kekerasan Anda, sebab Anda akan mengambil kebijakan-kebijakan tanpa memahami parasaan-perasaan orang lain. Seorang teis yang tak memahami perasaan orang ateis, itu egois. Sebaliknya seorang ateis yang tak memahami perasaan orang teis, juga egois.

Sekarang jika membicarakan FPI yang dikenal dibenci oleh umat prodemokrasi dan harus dibubarkan karena cenderung melakukan kekerasan dalam aksi-aksi yang diberitakan (karena tidak ada pula pemberitaan media tentang aksi-aksi posisitfnya), sebenarnya kekerasan fisik itu bukanlah menjadi dominasi perbuatan FPI. Bahkan mungkin kekerasan yang dilakukan FPI itu lebih kecil dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam kurun waktu dan ruang yang sama. Apalagi jika dibandingkan dengan kekerasan-kekerasan eksploitasi sumber daya negara.

Siapa yang melakukan kekerasan paling kasar dan leluasa dalam kerusuhan pada Mei 1998? Setelah itu, reformasi bergulir. Pada  Oktober 1999, Bali dilanda amuk massa dan kerusuhan di Buleleng, Badung, Denpasar, Jembrana, dan Tabanan, dipicu kekecewaan massa karena Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri kalah dalam pemilihan presiden RI dalam Sidang Umum MPR. Megawati dikalahkan oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Bali lumpuh. Banyak gedung pemerintah dibakar massa, pepohonan ditebangi digunakan untuk merintangi jalanan, fasilitas umum juga dirusak. Kerugian negara dan masyarakat ratusan miliar rupiah, akibat kekerasan hebat itu. Bukan hanya di Bali, di Solo juga dilakukan pembakaran gedung Balaikota Surakarta.

Pada tahun 1999, kerusuhan demi kerusuhan dilakukan oleh kelompok-kelompok pendukung politik PDIP dan parpol lain terjadi di mana-mana. Pembakaran posko PDI di Cilacap, bentrokan massa PDIP dengan massa parpol lainnya di Yogyakarta, perusakan kantor PDI di Surabaya oleh massa karena konflik pemilihan pengurus, bentrokan massa PDIP dengan PPP di Yogyakarta sehingga ada korban tewas, amuk massa beratribut PDIP pendukung Paimin merusak fasiltas umum di Madiun gara-gara Paimin  ditangkap Polres Madiun karena pencopotan atribut Golkar, pawai massa PDIP yang mencabuti dan membakar atribut dan bendera Golkar di Cirebon, Kerusuhan antar PKB dan PPP juga terjadi di Pekalongan dan Jepara.

Tahun 2001, saat Gus Dur dilengserkan oleh MPR, amuk massa juga terjadi di Pasuruan dengan membakar Kantor Golkar, Kantor PDIP dan PPP. Tahun-tahun selanjutnya masih terus terjadi amuk massa di berbagai tempat yang bersifat merusak. Di Tuban juga pernah terjadi kasus amuk massa yang dikenal dengan Tuban Lautan Api akibat pasangan calon Bupati-Wakil Bupati dari PKB-PDIP (Nahar Husein – Go Tjo Ping) kalah melawan pasangan dari Golkar (Haeny Relawati – Lilik Soehardjono). Sekitar 50 ribu orang mengamuk membakar rumah, hotel dan gudang.

Dalam amuk massa yang terjadi, ada kantor-kantor KPUD dan kantor kecamatan yang dibakar oleh massa yang merasa kecewa. Itulah gambaran umum masyarakat di Indonesia ini, masyarakat yang masih suka mengumbar kekerasan di mana-mana. Apakah kita menilai seluruh vandal itu sebagai sinetron semata?

Belum lagi kekerasan-kekerasan yang bersifat struktural seperti pengadaan tanah dengan cara menggusur, tidak memakai Hukum Pengadaan Tanah, seperti yang terjadi di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menimbulkan puluhan ribu korban. Juga perampasan terhadap tanah-tanah petani oleh pemerintah maupun oleh TNI dan perusahaan-perusahaan besar.

Apa yang membedakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI dengan yang jauh lebih besar dan merata akibat konflik politik dan ekonomi itu?

Kalau mau membenarkan kekerasan lainnya dengan mengambil pilihan bahwa FPI adalah pelaku kekerasan berdasarkan dalih agama, lalu apakah politik dan ekonomi itu bebas nilai sehingga diberikan prioritas untuk dimaklumi? Seharusnya apapun motifnya, seluruh kekerasan yang sederajat mempunyai level yang sama.

Artinya, kekerasan yang dilakukan oleh partai-partai politik dan pejabat atau lembaga-lembaga negara atau pemerintah serta korporasi-korporasi yang skalanya jauh lebih besar dan masif itu tidak semestinya jika hanya dinilai lebih kecil daripada kekerasan yang dilakukan oleh FPI, sehingga ketika Anda meminta pembubaran FPI maka Anda tidak merasa perlu membubarkan Lapindo, PDIP, Freeport, PKB, PPP, Exxon, Newmont, dan lain-lainnya.

Sepanjang pikiran kita masih terjebak dalam kotak yang disusun dengan teori akademik yang tidak menyediakan mata penglihatan yang komprehensif terhadap sesuatu hal, maka pikiran kita belum merdeka. Mungkin Anda masih meletakkan kata “diskriminasi” atau “toleransi” dalam bingkai kelompok ras, etnis, agama, tetapi Anda lupa bahwa manusia juga berkelompok-kelompok dalam politik, ekonomi, dan budaya.

Anda bisa melihat bahwa mengganggu pembangunan gereja atau masjid adalah bentuk intoleransi, tapi Anda tidak menilai bahwa dominasi atau monopoli atau oligopoli ekonomi, politik dan budaya juga sebagai bentuk diskriminasi dan intoleransi. Jika ada anak orang miskin yang tidak bisa masuk bangku kuliah gara-gara miskin dan tidak pintar, maka itu adalah diskriminasi sosial dan intoleransi. Tapi kaum liberal menilai itu sebagai konsekuensi alamiah.  

FPI adalah bagian dari kita. Kekerasan yang dilakukan memantulkan bayangan wajah kita. Sama halnya PDIP, Golkar, PKB, Pemuda Pancasila, PSSI. para suporter klub-klub bola yang sering tawuran dan saling bunuh itu adalah wajah kita. Para pemabuk dan diskotik tempat-tempat maksiat yang distroni FPI itu juga wajah kita. Sebab mereka bagian dari entitas yang menjadi bagian tubuh negara ini. Dengan demikian sikap kita adalah niat hati untuk memperbaiki bagian-bagian tubuh kita yang tidak normal. Bukan menyingkirkan mereka.

Jika Anda ingin menyingkirkan FPI, maka Anda juga akan menyingkirkan PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan partai-partai korup, PP, HMI, PMII, para suporter bola, dan lain-lainnya yang pernah melakukan kekerasan fisik ataupun kekerasan struktural, dan setelah itu kita bercermin di kaca, ternyata wajah kita lenyap. Yang tinggal hanya Yang Dipertuan Agung Freeport, Exxon, Chevron, Conoco Philips, Newmont, Kodeco, dan lain-lain yang menikmati tubuh kita, yang diidolakan para orang tua yang menghendaki anak-anaknya bergaji besar hidup makmur.  

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler