x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Umrah di Ujung Syaban

Sudah Tuhan. Aku telah banyak menikmati karunia-Mu. Engkau saja yang menentukan apa yang terbaik untuk saya. Apapun pilihan-Mu akan selalu lebih baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sesekali saya melakukan perjalanan ke Saudi Arabia dan tidak sempat menunaikan ibadah umrah. Bahwa kali ini saya dikaruniai kesempatan menunaikan umrah, sungguh luar biasa nikmatnya.

Seusai mengikuti sebuah acara di Kota Riyadh pada 21 Mei 2017, lalu sempat rehat sehari, saya bergeser dari Riyadh ke Jeddah pada 23 Mei 2017. Dan sudah berniat, kegiatan pertama yang akan saya lakukan setiba di Jeddah adalah menunaikan umrah.

Dan saya tidak menyia-nyiakan peluang itu. Setiba di Jeddah, checkin di sebuah hotel dekat pusat belanja Balad, mandi, beli dan mengenakan kain ihram, shalat sunat dua rakaat berniat ihram. Lalu berangkat menuju tanah suci Makkah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepanjang perjalanan selama kurang lebih 90 menit, berkali-kali saya meneteskan air mata haru dan bahagia saat membaca kata awal talbiyah: "labbaika ..... (aku datang memenuhi panggilan-Mu...)".

Tiba di Masjidil Haram sekitar pukul 23.00 waktu Makkah. Lalu mengawali ritual umrah: tawaf di Ka'bah tujuh kali, kemudian sai. Selesai sekitar pukul 01.00 Rabu dinihari. Lalu kembali dan tiba di Jeddah menjelang shalat fajar.

Dibanding umrah pertama yang saya lakukan di bulan Ramadhan 1986, sekitar 31 tahun silam, dan mungkin puluhan atau ratusan kali saya berumrah setelah itu, namun umrah kali ini (di akhir Sya'ban 1438H, bertepatan dengan 23 Mei 2017) agak atau malah sangat jauh terasa beda. Meski banyak juga persamaannya.

Pertama, tetap terharu dan memanjatkan syukur tulus begitu melangkahkan kaki memasuki pelataran Masjid Haram, dan bola mataku tertuju menatap Ka'bah, bangunan kubus yang dibalut kiswah hitam itu. Nikmat rasanya meneteskan air mata, ketika berada di samping dan di dekat titik hadap semua umat Islam dalam shalatnya.

Kedua, di saat sedang tawaf dan sai, saya baru menyadari bahwa saya seakan tidak ingin memohon sesuatu kepada Allah. Saya berjalan begitu saja mengelilingi Ka'bah dan lalu sa'i dengan niat menunaikan perintah ibadah. Hatiku berbisik dan akhirnya saya mengatakannya dengan lidah: "Sudah Tuhan. Aku telah banyak menikmati karunia-Mu. Kali ini, saya hanya ingin menunaikan tawaf dan sai, dan aku ingin Engkau saja yang menentukan apa yang terbaik untuk saya. Saya tidak ngotot memohon itu-ini atau meminta ini-itu".

Ketiga, saya tidak tahu, selama tawaf dan sai kali ini, selain terus mengucapkan syukur tulus, lidah saya berkali-kali seolah dikomando untuk melantunkan shalawat kepada Nabi dengan bacaan tarhim Imam Al-Husary (ashshalatu wassalamu alaik... Ya imam-al-mujahidin...).

Keempat, sebelum-sebelumnya, setiap kali bertawaf dan bersai, saya terkesan memberondong Tuhan, sering malah terkesan setengah memaksa agar Tuhan mengabulkan doa-doaku dan keinginanku.

Kelima, bahkan pernah pada satu periode, saya fokus pada permohonan tertentu pada setiap kali putaran. Misal, di putaran pertama tawaf, mohon dikaruniai rezki banyak yang halal; putaran kedua minta sukses di karir pekerjaan; putaran ketiga mohon dikaruniai kesehatan dan bahagia; putaran keempat, minta dikaruniai kehidupan keluarga yang qurratu a'yun (pelipur lara atau pencipta kebahagiaan); di putaran kelima, memohon agar selalu dikaruniai kesempatan untuk dapat membahagiakan orang lain; pada putaran keenam, berdoa agar dapat sukses meraih cita-cita prioritas dalam kehidupan; dan ditutup pada putaran ke tujuh dengan permohonan agar aku termasuk orang yang berhak meraih karunia syafaat Nabi Muhammad di akhirat kelak.

Keenam, tentu dalam bertawaf dan bersai, saya teringat kepada orang-orang terdekat: anggota keluarga, para guru, teman dekat, mereka yang pernah berbuat kebajikan kepadaku, dan saya hanya menyingkat doa agar mereka semua tetap sehat dan bahagia. Seseorang yang dekat, yang tahu saya sedang berada di Ka'bah meminta didoakan agar tahun depan dia dikaruniai kesempatan berumrah, dan saya tulus mendoakannya.

Ketujuh, seperti lazimnya ketika bertawaf dan bersai, di samping kiri-kanan dan muka-belakang, akan terdengar suara doa yang dikeraskan, yang diikuti oleh anggota kelompoknya. Sesekali saya ikut mengaminkan doa mereka.

Kedelapan, saya lalu kembali teringat pada pesan seorang guru: ya Allah, bila doa saya tak layak Engkau kabulkan, maka masukkanlah aku ke dalam doanya orang yang Engkau terima doanya, saat ini. Subhanallah. Dan saya tiba-tiba merasa, nyaris dengan keyakinan penuh, yang disusul munajat tulus agar Allah swt mengabulkan doa orang-orang yang tawaf-sai barengan dengan saya.

Kesembilan, berdoa dengan setengah memaksa Tuhan agar mengabulkannya, mengandung dua makna sekaligus: (1) memposisikan diri sebagai hamba yang berhak agar doanya dikabulkan; (2) seolah-olah saya lebih tahu daripada Tuhan tentang apa yang terbaik untuk saya.

Lalu di depan Multazam, usai menunaikan sunat dua rakaat sebelum sai, saya kembali mengulangi catatan kedua di atas: "Sudah Tuhan. Aku telah banyak menikmati karunia-Mu. Kali ini, saya hanya ingin menunaikan tawaf dan sai, dan aku ingin Engkau saja yang menentukan apa yang terbaik untuk saya. Sebab apapun pilihan-Mu akan selalu lebih baik dibanding pilihanku".

Syarifuddin Abdullah | 24 Mei 2017 / 27 Sya'ban 1438H

Sumber foto: arsip pribadi

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu