x

Kemunduran Demokrasi

Iklan

Sulardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kemunduran Demokrasi

Proses demokratisasi di Indonesia baru sampai tahap konsolidasi. Dari sisi ini, ada kemajuan yang sangat signifikan dibanding rezim sebelumnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sulardi

Dosen hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Malang

Samuel P. Huntington telah membicarakan gelombang demokratisasi ketiga. Gelombang itu konon membersihkan anasir-anasir nondemokrasi di berbagai negara. Menurut dia, Indonesia pun ikut merasakan dahsyatnya gelombang tersebut dengan runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang membuka pintu lebar lahirnya rezim Orde Baru. Padahal rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru tidak ada bedanya: sama-sama otoriter. Artinya, gelombang demokratisasi ketiga yang digambarkan oleh Huntington tidak terbukti menyapu otoritarianisme di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 1998 disebut-sebut sebagai tanda reformasi yang terjadi di Indonesia. Mengikuti perhitungan Huntington, bisa jadi ini disebut gelombang demokratisasi keempat. Walau nyatanya tidak ada gelombang demokratisasi. Yang ada hanya riak dan percikan demokratisasi.

Proses demokratisasi di Indonesia baru sampai tahap konsolidasi. Dari sisi ini, ada kemajuan yang sangat signifikan dibanding rezim sebelumnya. Pada era ini, kebebasan berpolitik warga negara sangat terbuka. Ada kebebasan untuk mendirikan partai politik dan menentukan pilihan partai, termasuk menentukan pilihan kepala daerah (sejak 2000), serta menentukan presiden dan wakil presiden yang bebas tanpa intimidasi dan ancaman sejak pemilihan presiden 2004.

Penyelenggara pemilihan umum pun dibentuk secara transparan dan menghadirkan lembaga penyelenggara pemilihan yang cukup independen. Terbentuk pula lembaga negara penguat checks and balances (perimbangan kekuasaan), seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Bahkan penguatan kinerja penegak hukum dalam pemberantasan korupsi pun terbentuk pula.

Ada harapan yang cukup besar akan terselenggaranya demokrasi yang tidak sekadar prosedural tapi substansial, yang mengakui rakyat sebagai pemegang kedaulatan, proses pengambilan keputusan yang transparan dan adil, serta menghasilkan kebijakan yang menguntungkan rakyat. Ternyata tidak. Demokrasi itu mengalami involusi, kemunduran, bahkan diinjak-injak. Bukan oleh penentang demokrasi, tapi oleh mereka yang berada pada poros demokrasi.

Titik awal terjadinya involusi adalah sesaat setelah disetujuinya rumusan kedaulatan rakyat yang ada di tangan rakyat tapi dilaksanakan berdasar undang-undang dasar. Sejak itu, demokrasi yang semestinya bertumpu pada apa maunya rakyat bergeser menjadi apa maunya partai politik. Pembentukan lembaga-lembaga negara sangat ditentukan oleh apa maunya partai melalui fraksi-fraksi di DPR, misalnya seleksi untuk anggota Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Pemilihan Umum. Penentu akhirnya adalah apa maunya DPR-dalam hal ini partai politik yang ada di dalamnya. Kedaulatan rakyat pun menjadi kedaulatan partai politik.

Pada 22 Februari lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa demokrasi kita telah kebablasan. Menurut dia, demokrasi yang kebablasan itu membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti radikalisme, sektarianisme, terorisme, dan ajaran-ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Demokrasi yang kebablasan terjadi karena cara memahami demokrasi yang berlebihan. Seolah-olah atas nama demokrasi setiap orang boleh bicara apa saja dan boleh menentukan apa saja. Padahal demokrasi itu dibatasi oleh nilai-nilai, paling tidak norma, etika, agama, dan hak-hak individu serta kelompok lain.

Jika di Eropa demokrasi berjalan secara linier, semakin hari semakin baik, di sini demokrasi berjalan berputar-putar, kadang zigzag, seringnya bersiklus. Lihatlah proses demokratisasi di Eropa yang berjalan secara evolusi. Pelan-pelan tapi pasti raja-raja di kawasan Eropa kehilangan kekuasaan atas nama demokrasi. Namun hingga kini tidak ada raja yang menuntut kekuasaannya dikembalikan lagi.

Di Indonesia, ada wacana mengembalikan wewenang MPR untuk menyusun undang-undang dasar, pemilihan kepala daerah yang muter-muter: oleh rakyat atau DPRD atau bahkan ditunjuk Presiden atau Menteri Dalam Negeri? DPD bergaya partai politik dan Mahkamah Agung masih kesulitan memahami posisi dirinya dalam pelantikan "Ketua Dewan Perwakilan Daerah" yang baru.

Kemunduran lain adalah munculnya gagasan dalam rancangan undang-undang tentang pemilihan umum yang mengusulkan keanggotaan DPD dipilih oleh DPRD. Jika hal ini terwujud, demokrasi tidak hanya kebablasan atau bahkan mundur, tapi justru merosot. Sebaiknya segera urungkan niat ini dan perbaiki cara memilih anggota DPD, sehingga DPD betul-betul mewakili rakyat di daerah, bukan mewakili kepentingan partisan.

Maju-mundurnya demokrasi sangat bergantung pada pelaku demokrasi itu sendiri. Pelaku itu, ya, kita, bangsa Indonesia ini. Maka, supaya demokrasi tidak mundur tapi maju, marilah kita berpikiran progresif untuk memajukan demokrasi. Demokrasi tidak hanya dikuasai dalam alam pikir, tapi di alam nyata: menghargai pendapat orang lain, mempercayai adanya kompetisi yang sehat, serta saling menghormati antara yang kalah dan menang, yang didukung semangat saling percaya. Nilai-nilai inilah yang semestinya kita bangun bersama untuk memajukan demokrasi kita.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 24 Mei 2017

Ikuti tulisan menarik Sulardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB