x

An Chinh berjalan di tengah asap saat melakukan ritual Hau Dong di teater Viet di Hanoi, Vietnam, 9 Maret 2017. Melalui ritual Hau Dong, kepercayaan memuja Sang Ibu mengarah manusia ke hasrat-hasrat tentang satu kehidupan yang lebih baik, lebih berba

Iklan

Naufel Ahmad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kebangkitan Anti-intelektualisme

Ringkas kata, mereka sedang terjangkit epidemi gampangan. Gampang mengkafirkan, dan gampang menyalahkan orang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anti-intelektualisme merupakan gejala penolakan terhadap segala ikhtiar manusia untuk merumuskan ide, menemukan konsep, memperbincangkan teori, dan segala hal-ikhwal yang berkaitan dengannya. Secara gamblang, anti-intelektualisme ditandai dengan sikap merendahkan pemikiran dan menggampangkan segala sesuatu.

Lantas, bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah saat ini pendidikan gampang diakses oleh semua kalangan? Bukankah dengan canggihnya gawai yang kita miliki, kita bisa menelusuri sumber-sumber ilmu pengetahuan, yang terdapat di berbagai jurnal atau buku-buku digital? Anti-intelektualisme tidak pernah identik dengan itu semua.

Anti-intelektualisme bisa terjadi di semua lini kehidupan. Di lingkaran kaum religius, maupun kaum sekuler, bahkan kalangan akademisi sekalipun bisa terpapar sindrom anti-intelektualisme. Gejala semacam ini, biasa terjadi di negara-negara yang berada di bawah rezim otoriter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Forum-forum untuk mendiskusikan gagasan, ide, temuan dan buku-buku baru harus melalui persetujuan tangan besi rezim. Segala anasir yang berbeda dengannya akan ditolak mentah-mentah, bahkan secara paksa akan dihilangkan, tanpa ada pertimbangan logis. Akhirnya, kritik dibungkam, buku dilarang terbit, majalah dibredel, dan sawala ilmiah dicurigai tanpa henti.

Sehingga, meminjam bahasa Zen Rs (2016), jangan heran kalau Soeharto selalu menang secara aklamasi. Anti-intelektualisme mangandaikan sikap yang bertendensi pada egoisme ekstrem. Seolah-olah, sang rezim beperan sebagai hakim pengadil kebenaran. Sementara, suara-suara yang berbeda diasumsi sebagai bentuk kesalahan.

Lebih parahnya lagi, simbol-simbol yang dianggap identik dengan kaum intelektual diafirmasi untuk membinasakan seseorang. Kenyataan ini, yang terjadi ketika rezim Khamr Merah memimpin Kamboja. Orang akan sangat gampang dibunuh ketika memakai kecamata, sebagai tanda yang tampaknya intelek, dan karena itu berbahaya bagi rezim.

Belakangan, rupa-rupanya epidemi anti-intelektualisme menjangkiti banyak orang, justru ketika akses informasi mudah didapatkan dan sumber-sumber pengetahuan kian gampang digali. Semakin canggihnya teknologi-informasi, bukanlah tolok ukur sejauh mana seseorang masih berpegang teguh pada kekuatan nalar untuk meramu segala berita yang diterima menjadi kenyataan yang rasional.

Diane S. Claussen (2011) mendeskripsikan tipe anti-intelektualisme, yang digagas oleh Richard Hofstander dalam bukunya Anti-Intellectualism in American Life (1963) menjadi tiga bentuk, yakni; pertama anti-intelektualisme religius. Sikap ini banyak dipaktekkan oleh kalangan agamawan, yang memandang akal-budi sebagai musuh abadi keimanan.

Kedua, anti-intelektualisme populis. Hal ini, seperti yang dikemukan oleh Robertus Robert, berkaitan dengan penolakan terhadap standar pancapaian kesempurnaan, hanya untuk memenuhi keinginan massa yang lebih besar.

Ketiga, instumentalisme non-reflektif, yakni sebuah usaha untuk memangkas nilai-nilai edukatif demi mengejar keuntungan meterial yang lebih besar. Tipe ini bisa terbaca dari meluasnya logika pasar kapitalisme, yang justru mengalpakan aspek substansial hanya untuk kepentingan pragmatis.

Dalam kehidupan berbangsa belakangan gejala anti-intelektualisme menyeruak seiring dengan sengitnya kontestasi politik. Memang diskusi dan perdebatan tidak dilarang, tetapi diam-diam egoisme dan sektarianisme kian mengental. Para penghambanya adalah mereka yang gampang bersikap reaksioner dan tersulut amarah saat identitasnya diusik oleh orang lain. Alhasil, dialog, diskusi, debat, dan opini-opini ilmiah hanya dianggap angin berlalu yang tidak memiliki signifikansi apapun bagi mereka.

Pada sisi lain, perkembangan media-telekomunikasi, yang disertai dengan kebebasan pers dimanfaatkan untuk mendulang simpati para penghamba anti-intelektulisme. Mereka ini adalah orang yang senang menghujat, mencaci-maki, menghukumi atau melabeli seseorang, karena informasi yang didapatkan diterima tanpa ada upaya untuk mencari kedalaman maksud di baliknya. Tiba-tiba orang yang berbeda keyakinan layak untuk disalahkan. Ringkas kata, mereka sedang terjangkit epidemi gampangan. Gampang mengkafirkan, dan gampang menyalahkan orang lain.

Titik soalnya ialah tatkala hal semacam itu mendapat simpati dari mayoritas masyarakat. Sehingga, ketika kaum minoritas sedang menyuarakan keadilan, kebijaksanaan dan kebenaran akan dengan mudah bisa terpatahkan oleh tekanan massa yang begitu besar. Realitas semacam ini, mau tidak mau, harus diakui terjadi di tengah sengitnya kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta.

Maka, di sini kita bisa mencurigai bahwa menyeruaknya isu SARA (suku, ras dan agama) belakangan ini digerakkan oleh kepentingan pragmatis, yakni, demi memenangkan duel dalam kontesatasi politik. Mungkin saja, hipotesis itu benar atau malah salah. Namun, setidaknya tindakan-tindakan yang demikian, telah mengkonfirmasi tipe-tipe epidemi anti-intelektualisme yang dikemukan oleh Hofstander.

Sikap anti-intelektualisme adalah lorong menuju kemuduran. Gerak mundur suatu peradaban dan kehancurannya biasanya ditandai dengan sikap anti-intelektualisme. Sementara, kemajuan suatu peradaban bisa disongsong hanya dengan menjunjung tinggi intelektualisme. Para pendiri bangsa ini telah memberi teladan bagaimana cara untuk menjadi bangsa yang maju. Perdebatan yang berlangsung di antara mereka, mengarah pada upaya pencarian kebenaran, demi kemaslahatan dan kebaikan bersama. Sikap-sikap picik, yang menyembunyikan benih-benih primordialisme ditanggalkan.

Keyataan seperti itu, yang sekarang kian sulit ditemukan di negeri ini. Indonesia kini bagaikan lahan tandus, di mana intelektualisme sulit tumbuh subur. Inilah masa ketika dusta dianggap sebagai sebuah kebenaran. Seolah-olah tak ada celah waktu untuk sejenak berpikir dan merenung untuk menemukan kebenaran.

Bangkitnya epidemi anti-intelektualisme di negeri ini, harus menjadi alarm bagi semua pihak untuk menyadari agar tidak tercebur di dalamnya. Karena, seringkali seseorang tidak menyadari bahwa diam-diam nalar kritis di dalam dirinya telah mengalami kelumpuhan. Banyak para cendikiawan, elite politik, pemuka agama dan para sarjana yang tidak menyadari bahwa dirinya telah kehilangan sikap kritis. Pendidikan mereka tinggi-tinggi, tetapi tidak mampu melecutkan pendayagunaan akal-budinya. Jika situasi ini dibiarkan terus-menerus, kemunduran bangsa Indonesia akan begitu nyata di depan mata.***

Oleh: Ahmad Naufel

Peneliti di Pusat Studi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Ikuti tulisan menarik Naufel Ahmad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler