x

Puluhan massa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta Selalatan menggelar aksi simpatik untuk memberi dukungan kepada korban dan polisi terkait teror bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, 26 Mei 2017. Tempo/Avit Hidayat

Iklan

muhammad saifuddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita dan Keutuhan NKRI

Saat inilah momentum yang paling tepat bagi warga bangsa untuk berfastabiqul khairat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adanya fakta begitu banyaknya warga bangsa ini yang menaruh simpatik, tertarik dan bahkan telah bergabung dengan kelompok radikal dan kelompok anti-pancasila sejatinya menandakan bahwa ajaran radikalisme, fundamentalisme dan anti-pancasila telah tumbuh subur di negeri ini. Lebih menyedihkan lagi pengikut paham radikal dan anti-pancasila itu justru didominasi oleh generasi muda. Kian hari kita saksikan penganut paham radikal dan anti-pancasila tersebut malah bertambah besar dan semakin nyata dapat mengancam keutuhan NKRI.

Untuk itu, terkait erat dengan kenyataan diatas, segenap komponen bangsa kini harus bersatu padu untuk menghadapi dan membendung pengaruh serta laju gerakan radikal dan anti-pancasila. Baik itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, pemerintah desa, Rt, Rw, TNI, Polri, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren dan perguruan tinggi hendaknya proaktif dan totalitas dalam menghadapi gerakan kelompok radikal dan kelompok anti-pancasila itu. Jangan sampai sekali-kali kita bersikap acuh tak acuh. Mengingat nasib NKRI mendatang semata-mata tergantung dari sikap kita sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apabila kita saat ini berlaku tegas terhadap semua gerakan yang mencoba merongrong keutuhan NKRI, maka pasti NKRI akan selamat dan makin kokoh eksistensinya. Sebaliknya, bila kita sekarang bersikap membiarkan berbagai gerakan dan aktifitas yang terus merongrong dan menggrogoti NKRI, maka pasti NKRI akan semakin rapuh, rapuh, rapuh dan hancur. Kiranya, saat inilah momentum yang paling tepat bagi kita sebagai warga bangsa untuk berfastabiqul khairat dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI tercinta. Dalam konteks i ni segenap warga bangsa, khususnya warga Muhammadiyah dan warga Nahdlatul Ulama harus berani dan siap tampil di barisan terdepan dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI. Apalagi bagi warga Nahdlatul Ulama keharusan tampil di barisan paling depan itu merupakan amanat dari Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama di Surabaya, selain itu juga merupakan keniscayaan sejarah.

Pertama, amanat Munas dan Konbes. Seperti kita ketahui bahwa dalam Munas dan Konbes NU pada 28-30 Juli 2006 di Surabaya itu secara resmi NU kembali mengeluarkan maklumat untuk mendukung Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Dalam maklumat tersebut diantaranya disebutkan bahwa NU bertekad meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Neg ara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Zudi Setiawan, 2007).

Berdasarkan amanat Munas dan Konbes di Surabaya itulah seluruh warga Nahdliyin sekarang hendaknya totalitas dalam menjaga NKRI. Segenap warga Nahdliyin dan pengurus NU di semua tingkatan wajib bekerja keras dalam menghadapi kelompok-kelompok ataupun pihak-pihak yang mencoba merongrong keutuhan NKRI. Dan dalam konteks sekarang ini, kelompok yang paling harus diwaspadai adalah ISIS.

Kedua, merupakan keharusan sejarah. Seperti juga telah kita ketahui bahwa NU bersama Muhammadiyah dalam sejarahnya selalu berada di garda depan dalam upaya membela dan mempertahankan NKRI. Dalam sejarah panjangnya berkali-kali keutuhan NKRI terancam, namun disaat itu pula NU senantiasa datang untuk menyelamatkannya. Seperti halnya pada waktu Presiden Soekarno belum berhasil memperoleh legitimasi yang memadai dari rakyat, utamanya dari kalangan muslim.

Dengan belum didapatkannya legitimasi memedai dari kalangan muslim itu, maka menjadikan kondisi perpolitikan nasional pada waktu itu sangat gawat. Bahkan ancaman perpecahan telah di depan mata. Nah, dalam situasi genting tersebut NU hadir sebagai penyeimbang dengan menerima Bung Karno sebagai presiden sah dengan gelar waliy al-amri al-dharuri bi al-syaukah. Penetapan Presiden Soekarno itu berdasarkan keputusan Konferensi Alim Ulama di Cipanas pada tahun 1954, dan kemudian dikuatkan dalam salah satu hasil keputusan pada Muktamar NU ke-20 di Surabaya pada tahun 1954.

Berikutnya sejarah perjuangan NU dalam menjaga, mempertahankan dan menyelamatkan keutuhan NKRI juga terlihat dengan jelas ketika banyak warga bangsa tidak bisa menerima asas tunggal Pancasila. Di mana pada waktu itu, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan bahwa Pancasila merupakan asas tunggal bagi kekuatan sosial dan politik di Indonesia (UU No. 3/1985 dan UU No. 8/1985). Perdebatan penerapan asas tunggal pada waktu itu, hampir saja mengancam keutuhan NKRI. Namun, walau harus melewati perdebatan seru di antara para ulama intern NU, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, terutama karena faktor pertimbangan persatuan nasional dan menjaga keutuhan NKRI, maka NU memastikan diri dapat menerima asas tunggal Pancasila.

Berdasarkan sejarah panjang komitmen NU dalam menjaga keutuhan NKRI di atas, maka saat ini hukumnya wajib bagi seluruh warga Nahdliyyin untuk mengambil posisi terdepan dalam menghadapi kelompok radikal dan kelompok anti-pancasila yang terusmerongrong keutuhan NKRI . A khirnya, se luruh elemen bangsa tanpa terkecuali hendaknya proaktif serta totalitas dalam menghadapi kelompok radikal dan anti-pancasila . Mari kita bersama-sama menjaga dan menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Wallahu A’lam.

Oleh: M Saifuddin Alia

Ikuti tulisan menarik muhammad saifuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler