x

Petugas dari Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan berusaha memadamkan hutan yang terbakar di Bukit Sibuatan, Karo, Sumatra Utara, 1 Oktober 2016. Kebakaran ini terjadi sejak Jumat, 30-09-2016 malam. TEMPO/Aditia Noviansyah

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Moratorium (tanpa) Perbaikan

Moratorium selama ini dinilai belum berhasil karena tidak menyentuh persoalan mendasar tata kelola hutan dan gambut

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tepat pada tanggal 13 Mei 2017, Moratorium (Penundaan) pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut telah berakhir. Menyikapi hal ini, Pemerintah telah memberikan sinyal akan melanjutkan kebijakan moratorium tersebut untuk jangka waktu tiga tahun mendatang, yang saat ini masih tahap perumusan.

Moratorium izin hutan dan gambut adalah kebijakan transisi untuk perbaikan tata kelola hutan dan gambut. Moratorium izin telah dilaksanakan secara berjilid-jilid sejak masa Pemerintahan SBY sampai dengan Pemerintahan sekarang, dimulai dengan Inpres No.10/2011 yang kemudian diperpanjang lagi dengan Inpres No 6/2013. Terakhir, Pemerintah Jokowi-Kalla melanjutkan kebijakan moratorium dengan Inpres No.8/2013.

Dua rezim Pemerintahan telah melaksanakan kebijakan moratorium selama enam tahun terakhir dengan hasil kurang memuaskan dalam kerangka perbaikan tata kelola hutan dan gambut, setidaknya terkonfirmasi dari dua fakta, pertama, masih berlangsungnya pemberian izin kehutanan dan perkebunan oleh Pemerintah melalui revisi-revisi areal moratorium dan pelepasan kawasan hutan (Walhi, 2017). Revisi areal moratorium telah terjadi sejak tahun 2011- 2013 yang mengurangi areal moratorium seluas 5.055.089 hektar. Selanjutnya, areal tersebut direvisi pada tahun 2015 dengan menambah kembali areal moratorium sebesar 2.353.151 hektar. Inkonsistensi penerapan areal moratorium tersebut membuka peluang pemberian izin baru, baik itu izin usaha kehutanan maupun perkebunan melalui pelepasan kawasan hutan (Walhi, 2017).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, masih berlangsungnya pembakaran hutan dan lahan secara masif dalam rangka pembukaan perkebunan kelapa sawit, terutama di tiga pulau utama Indonesia, Sumatera, Kalimantan dan Papua. Bank Dunia mencatat bahwa tahun 2015 saja terdapat seluas 2,6 hektar lahan terbakar pada areal perkebunan sawit yang menyebabkan kerugian mencapai 221 triliun Rupiah.

Sebagai kebijakan transisi, moratorium sejatinya adalah upaya intervensi Negara yang bersifat penting (prioritas) dengan jangka waktu tertentu untuk memastikan persoalan mendasar tata kelola hutan dan gambut terpecahkan. Urgensi kebijakan moratorium tersebut tentunya memerlukan indikator terukur dan progresif untuk mengatasi persoalan tersebut. Namun, kebijakan moratorium selama ini dinilai belum sepenuhnya berhasil karena tidak menyentuh persoalan mendasar tata kelola hutan dan gambut, yaitu tentang tumpang tindih regulasi dan sektoralisme pengelolaan hutan dan gambut.

Dua Penyakit: Tumpang Tindih Regulasi dan Sektoralisme

Hutan dan gambut setidaknya diatur oleh lima bidang regulasi sumber daya alam, yaitu bidang agraria, kehutanan, lingkungan hidup, pertanian dan perkebunan serta tata ruang. masing-masing bidang-bidang regulasi tersebut mengatur fungsi-fungsi tertentu pengelolaan hutan dan gambut, meskipun merujuk pada objek yang sama, yaitu lahan dan sumber daya alam yang terkandung.

Bidang-bidang Regulasi tersebut belum seluruhnya koheren dan harmonis satu sama lain sebagai suatu sistem regulasi yang mantap. Akibatnya, terjadi tumpang tindih substansi norma antar bidang-bidang regulasi dan sektoralisme pengelolaan. Hal ini terlihat pada, pertama, Rumusan norma yang beragam, misalnya dalam mendefinisikan gambut, masing-masing bidang-bidang regulasi menggunakan istilah, definisi dan kriteria sendiri, seperti ekosistem gambut, kawasan gambut, gambut, kawasan lindung dan kawasan budidaya. Istilah, definisi dan kriteria yang beragam ini melahirkan interpretasi jamak oleh pelaksana regulasi sehingga melahirkan ketidakpastian hukum.

Kedua, bidang-bidang regulasi hutan dan gambut memiliki semangat berbeda-beda dan saling berlawanan. Misalnya, bidang regulasi lingkungan hidup dan aturan pelaksananya pada PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mengutamakan fungsi perlindungan dan restorasi gambut, namun pada bidang regulasi pertanian dan perkebunan melalui aturan yang lebih teknis di tingkat Peraturan Menteri, yaitu Permentan No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit menyasar gambut untuk usaha perkebunan dengan memungkinkannya izin-izin baru muncul.

Ketiga, Sektoralisme kelembagaan. Kementerian – kementerian dan Lembaga Negara yang mengurus fungsi tertentu hutan dan gambut merujuk pada bidang-bidang regulasi sektoral tertentu. Akibatnya, masing-masing Kementerian dan Lembaga Negara tersebut menyuburkan “ego sektoral” dan seolah-olah mempunyai “yurisdiksi’ sendiri. Situasi ini terlihat jelas dalam pengaturan tentang hak masyarakat adat atas lahan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum sepenuhnya menerima konsep hak masyarakat adat dalam kawasan hutan dalam kerangka regulasi agaria, meskipun Kementerian ini memiliki regulasi sendiri tentang hutan hak dengan prosedurnya sendiri pula yang berbeda dengan regulasi agraria. Pada tingkat pelaksanaan di tingkat tapak, persoalan sektoralisme ini muncul dalam kasus-kasus tumpang tindih hak atas tanah pada kawasan hutan dan tumpang tindih izin yang kompleks.

Agenda Perbaikan

Tumpang tindih regulasi dan sektoralisme adalah penyakit kronis tata kelola hutan dan gambut. Penyakit ini seperti kanker yang mengrogoti agenda perbaiakan tata kelola hutan dan gambut. Tumpang tindih dan sektoralisme menunjukan bahwa “ law making process ” sangat buruk dalam perumusan regulasi dan kebijakan.

Dalam konteks ini, kebijakan moratorium izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan yang sedang disusun oleh Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla mesti menyentuh persoalan mendasar ini dengan memastikan dua hal; Pertama, Kebijakan moratorium perlu ditingkatkan bentuk regulasinya dari Instruksi Presiden menjadi Peraturan Presiden sehingga mempunyai kekuatan lebih untuk mengikat Kementerian dan Lembaga Negara sektoral. Kedua, Kebijakan moratorium mesti memasukkan agenda harmonisasi dan sinkronisasi regulasi hutan dan gambut dengan melibatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai leading sector bersama Kementerian-Kementerian dan Lembaga-Lembaga Negara yang terkait. Ketiga, Melibatkan partisipasi efektif organisasi masyarakat sipil, akademisi dan kelompok kepentingan ( interest group ) dalam agenda harmonisasi dan sinkronisasi regulasi serta pengawasan moratorium.

Oleh: Nurul Firmansyah

Peneliti pada Perkumpulan HuMa Indonesia

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler