x

Iklan

Adi Prima

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer

Hidup di era yang sama, namun dua tokoh besar ini bertentangan dan berbeda secara pandangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PENGGEMAR sastra dan novel Indonesia pasti sangat mengenal sosok Buya Hamka dan Pramoedya, karya-karya dan pemikiran dua orang ini memang terus saja menginspirasi.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah pekerjaan untuk keabadiaan.” Pramoedya Ananta Toer.

“Peliharalah sebutan ketika engkau sudah tiada nanti, sebutan ketika engkau sudah tiada nanti, adalah umur yang kedua kalinya bagimu.” Ceramah Buya Hamka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hidup di era yang sama, namun dua tokoh besar ini bertentangan dan berbeda secara pandangan.

Awal tahun 1963 Indonesia di gemparkan oleh Harian Bintang Timur, lembaran Lentera, mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alvanso care, seorang pujangga Prancis. Lembaran ini diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.

Buya Hamka tidak pernah terusik dengan apa yang diperbuat sastrawan tersebut. Ia tetap tenang menyikapinya. Bahkan pribadi Buya pun ikut diserang.

Puncaknya, pada suatu hari Buya Hamka kedatangan sepasang tamu. Perempuan orang pribumi, sedangkan yang laki-lakinya seorang keturunan China. Kepada Buya Hamka si perempuan kemudian memperkenalkan diri bahwa ia adalah Astuti, anak sulung dari Pram. Sedangkan yang laki-laki adalah Daniel Setiawan.

Astuti bermaksud menemani Daniel menemui Buya Hamka untuk masuk Islam dan belajar Islam. Cerita Astuti, selama ini Daniel adalah seorang non-muslim. Ayahnya, Pramoedya, tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang beda kultur dan agama.

Buya Hamka dengan senang hati membimbing Daniel dan meminta calon menantu Pramoedya ini untuk berkhitan dan mengatur jadwal untuk mulai belajar agama.

Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr. Hoedaifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pramoedya, apa alasan untuk mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjelaskan kepada temannya itu. “Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka.” (Kisah lebih lengkap baca Buku Ayah, Irfan Hamka)

Jelas sekali meskipun berbeda pandangan, tidak membuat kedua tokoh ini saling membenci untuk semua hal. Yang benar tetap mereka akui. Pram tidak memungkiri ilmu agama Buya Hamka, ia dengan mantap megirim calon menantunya. Buya Hamka tidak memusuhi semua yang berbau Pramoedya, terbukti ketika Buya bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantu Pram.

Ikuti tulisan menarik Adi Prima lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu