x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aku dan Kau Berselingkuh dengan Sadar dan Ikhlas

Keduanya masing-masing tak kuasa menjinakkan perasaaan, yang makin hari semakin tak terjinakkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perasaan yang tidak pernah terungkap secara utuh itu seakan tertuntun menemukan momentumnya untuk dirajut ulang. Sabdan dan Fatiah tiba-tiba saja seolah dipandu oleh takdir zaman dan ruang, untuk terlibat dalam berkomunikasi dan terdorong untuk saling mengungkap perasaan secara terbuka, yang dalam hal tertentu juga lebih berani. Keduanya masing-masing tak kuasa menjinakkan perasaaan, yang makin hari semakin tak terjinakkan saja.

Fatiah, wanita itu, meski telah berusia lebih dari 50 tahun, tapi masih terlihat cantik dan segar. Juga lebih terlihat muda dibanding wanita-wanita lain yang sebaya dan seusianya. Berkat pernikahannya – yang sudah memasuki tahun perak – dengan suaminya yang bekerja di lain kota, Fatiah dikaruniai dua anak, semuanya sudah pada kuliah.

Dan di lingkungan kerja dan pergaulannya, bolehlah disebut Fatiah merupakan bagian dari kelas menengah-atas di kotanya. Dan sejujurnya, dalam berbagai kesempatan, beberapa lelaki seusianya pernah mencoba mendekatinya. Namun bagi Fatiah tak satu pun yang layak direspon dengan serius.

Sampai suatu ketika, melalui akun Whatsapp, seseorang di seberang sana mencoba membuka komunikasi dengan Fatiah.

“Ini kamu, Fatiah? Masih tinggal di Ternate atau sudah di Balikpapan?”

“Iya, saya Fatiyah. Sekarang sudah di Balikpapan... Tapi maaf, ini dengan siapa ya?”

“Saya Sabdan, teman SMA-mu”, jawab Sabdan sambil menjelaskan tahun angkatan kelulusannya dari SMA.

“Hei apa kabar? Saya sering dan suka membaca artikel-artikelmu di media”, jawab Fatiah seolah ingin mengirim pesan bahwa sebenarnya dirinya telah lama mengikuti kegiatan Sabdan, dan tentu sekaligus ingin menutupi kegembiraannya setelah membaca sms sapaan dari Sabdan.

“Alhamdulillah, saya sehat afiat”, jawab Sabdan. “Saya melihat fotomu di profile akun wa-mu, terlihat masih cantik seperti dulu, segar, sehat dan semoga bahagia”, lanjutnya.

***

Lebih tiga puluh tahun lalu, ketika baru tamat dari SMA, Sabdan memang pernah jatuh hati kepada Fatiah. Hanya hasrat dan harapan itu tidak pernah tersampaikan secara utuh. Hasrat tak pernah menemukan momentum yang pas.

Sebaliknya, Fatiah pun tampaknya juga jatuh hati kepada Sabdan, tapi tak pernah memberikan respon, karena memang tidak pernah ada pernyataan hati yang perlu direspon dari Sabdan.

Sabdan melanjutkan kuliah di luar negeri. Fatiah lanjut kuliah di sebuah perguruan tinggi di Balikpapan. Setelah itu, tidak pernah terjadi komunikasi yang serius antara keduanya. Hanya sekedar say hello saja. Keduanya mungkin sekali juga tidak pernah saling mengingat.

Lalu, setelah menyelesaikan kuliah dan bekerja di sebuah instansi pemerintah, Fatiah dinikahi oleh seorang lelaki asal Sumatera. Mereka dikaruniai dua anak: cowok-cewek.

Sementara Sabdan, setelah bertahun-tahun di luar negeri, dan kembali ke tanah air, menikahi seorang gadis asal Jawa Timur. Keduanya juga dikaruniai dua anak cowok-cewek, yang tertua baru duduk di kelas 3 SMA.

Lalu, setelah lebih dari tiga puluh tahun, kedua insan itu Sabdan dan Fatiah dipertemukan oleh sebuah momentum untuk saling merajut benang kasih yang sebenarnya sejak awal tak pernah tersambung secara utuh.

***

Komunikasi yang awalnya berlangsung biasa saja itu, pelan-pelan menjadi terasa lain. Perasaan yang pernah terpatri di hati keduanya, lebih tiga puluh tahun silam, seakan menemukan momentumnya. Setiap kata dan kalimat, tertuturkan seperti pantun berbalas pantun, lincah dan mengikuti irama yang mengarah ke satu titik.

Terang saja, sejak komunikasi pertama melalui akun Whatsapp, hanya perlu sekitar dua minggu dan Sabdan sudah akrab berkomunikasi dengan Fatiah. Seakan mereka berdua pernah berpacaran akrab, lalu terpisah tanpa sebab yang jelas, dan jalinan hati itu kembali terajut.

Keduanya menyadari sepenuhnya bahwa komunikasi mereka adalah komunikasi intim yang tidak wajar. Meski sejauh ini masih berlangsung via gadget. Sebab Fatiah bersuami dan punya dua anak, keluarganya terlihat bahagia. Sabdan pun sudah beristri, punya dua anak, juga terlihat bahagia.

Tapi sejak komunikasi pertama itu, setiap hari mereka saling berbagi kabar, berbagi foto, dan lambat laun keduanya bersepakat untuk merawat komunikasi yang akrab dan sebisa mungkin tetap santun. Layaknya seorang bapak-bapak dan seorang ibu-ibu. Selanjutnya bisa diduga: komunikasi biasa dan lincah itu akhirnya berujung pada suasana hati yang saling merindukan, berlanjut untuk saling mengungkap perasaan. Kata-kata rindu berat, kangen banget, rindu dan sayang, akhirnya terucapkan spontan dalam setiap berkomunikasi.

Sampai akhirnya, suatu ketika, setelah berjalan sekitar sebulan sejak komunikasi pertama, Sabdan menulis sms, yang terkesan seperti puisi remaja usia 20 tahunan:

“Saya merindukan Fatiah, itu bukan rindu sembarang rindu. Ketika saya mengungkap bahwa mencintai Fatiah, itu juga bukan cinta sembarang cinta. Ketika saya mengucapkan sayang kepada Fatiah, pun bukan sayang sembarang sayang. Saya cukup dewasa dan tak ada gunanya bagi saya berbohong atau membohongi Fatiah. Sebab kalau saya membohongi Fatiah, itu sama dengan membohongi diri saya sendiri”.

Kalimat sms itu terbaca di layar handphone Fatiah, hampir gak percaya, tapi diam-diam merasakan getar yang tak biasanya, berbunga-bunga, harapan cinta tiga puluh tahun silam seolah menemukan momentumnya, dan tanpa pikir panjang, jemari Fatiah menulis kalimat balasan, “Cukup Bang, cukup banget, terima kasih yang tak terhingga atas kerinduan, kasih sayang dan cinta Abang untukku”.

Dan seolah merasa balasannya masih kurang setimpal dengan pernyataan hati Sabdan, Fatiah kemudian lanjut menulis kalimat ini: “...dan saya akan memposisikan diri sebagai kekasih gelap Sabdan...”

Kemudian, karena ingin memastikan pernyataan kesiapan menjadi kekasih gelap itu, Sabdan coba meminta penjelasan secara tidak langsung, dengan harapan Fatiah memberikan penjelasan lanjut yang menjelaskan: “Saya suka banget postingan Fatiah di atas – saya kutipkan ulang ya: ‘dan saya akan memposisikan diri sebagai kekasih gelap Sabdan...’.”

Fatiah menjawab dengan polos: “Mau ngomong apalagi, kenyataannya memang begitu... Akad sudah terucap, jadi jalani saja sesuai posisi masing-masing”.

Sabdan lanjut menimpali: “Singkat kalimat, ‘saya dan Fatiah, sadar penuh bersepakat untuk berselingkuh.”

Dan dengan tegas Fatiah kembali menjawab dengan kalimat yang menegaskan segalanya: “Sadar dan ikhlas, hehehe”.

***

Selama lebih sebulan sejak kontak pertama, semua komunikasi lanjutan antara Sabdan dan Fatiah berlangsung lewat telepon, sms-an, sesekali menggunakan video call. Keduanya merasakan kasmaran, yang getaran dan hentakannya jauh lebih dahsyat daripada kasmaran waktu muda dulu. Dan yang lebih seru, komunikasinya berlangsung lebih terbuka, tanpa tedeng aling-aling, lebih terkontrol menjaga perasaan lawan bicara, dan tentu keduanya sesekali terlibat obrolan ngeres, karena keduanya memang relatif sudah mapan dari segi usia dan pengalaman.

Mungkin karena keduanya menyadari posisinya masing-masing, yang sudah berkeluarga, Sabdan tak pernah mau bertanya tentang suami Fatiah. Begitu pula sebaliknya, Fatiah tidak pernah tertarik bertanya tentang istri Sabdan.

Ketika sedang berkomunikasi, keduanya merasa atau pura-pura melupakan kehidupan keluarga: istri dan anak-anak. Tapi sejauh ini, semua bentuk komunikasi itu masih berlangsung melalui gadget.

Sampai akhirnya, rasa kasmaran dua sejoli tua itu memasuki atau akan segera memasuki wilayah tahapan baru, ketika tiba-tiba Sabdan menulis sms: “Pekan depan, aku akan datang ke kotamu, dengan hanya satu tujuan: ingin ketemu Fatiah.”

Membaca sms Sabdan itu, Fatiah tak kuasa menjinakkan perasaan dan rindunya, dan tangannya spontan menulis, “Aku akan menantimu, terserah Sabdan mau datang kapan saja”.

Bahkan Sabdan dan Fatiah pun sendiri, masing-masing tak bisa membayangkan akan seperti apa nantinya suasana pertemuan yang berlangsung antara dua hamba yang pernah saling jatuh cinta, meski tak sempat terucapkan secara utuh, lalu terpisahkan oleh waktu dan ruang selama kurang lebih 30 tahun.

Syarifuddin Abdullah | Jeddah, 27 Mei 2017 /  01 Ramadhan 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler