x

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Quo Vadis Peradilan Adat

“Peran adat sudah lama dicabut oleh negara, akibatnya keputusan yang dihasilkan oleh ninik mamak selalu kalah oleh peradilan formal,” (Bachtiar Abna)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Studi Kasus Peradilan Adat Nagari di Sumatera Barat)

Oleh

Nurul Firmansyah

 

Peran adat sudah lama dicabut oleh negara, akibatnya keputusan yang dihasilkan oleh ninik mamak selalu kalah oleh peradilan formal,” (Bachtiar Abna, LKAAM Sumbar dan Akademisi, 2008).

Kasus batas nagari Saniangbaka dengan Nagari Muaropingai di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2008 contoh kasus menarik untuk melihat bagaimana adat dan lembaga penyelesaian sengketanya (peradilan adat) mengatasi persoalan konflik batas wilayah nagari.

Konflik batas nagari adalah bersifat laten dan telah mencuat sejak tahun 1970-an sampai dengan sekarang. Dampak negatif dari Konflik tersebut adalah kerusuhan sosial yang serius. Kerusuhan sosial merupakan muara dari hulu konflik, yaitu soal batas wilayah nagari. Kasus dengan konflik-konflik serupa juga ditemukan pada wilayah-wilayah lain di Sumatera Barat. Paling tidak, antara 2004-2008 tercatat 33 kasus sengketa batas nagari (LBH Padang, 2004)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendekatan penyelesaian konflik secara formal melalui peradilan negara di rasa belum memadai untuk penyelesaian konflik batas nagari ini secara tuntas, karena pendekatannya yang melulu pada pembuktian formal (surat dan dokumen). Butuh pendekatan lain dengan basis ilmu sosiologi dan antropologi untuk melihat persoalan ini secara utuh.

Aspek penguasaan masyarakat nagari dengan tanah (tanah ulayat) menjadi penting untuk dilihat sebagai dasar penyelesaian konflik, bukan hanya pada adanya bukti formal (surat/dokumen) penguasaan wilayah/tanah. Dalam konteks ini, peradilan adat dengan pendekatan-pendekatan informal dibutuhkan.

Di sisi lain, menahunnya konflik – konflik tersebut akibat makin melemahnya kemampuan nagari dalam menyelesaikan konflik-konflik adat. Hal ini adalah dampak dari Kebijakan pemberlakuan pemerintahan desa di masa Orde baru yang menggoyang pundi-pundi ketahanan nagari sebagai persekutuan masyarakat adat (gemenschapts).

Pada masa itu, Negara memberlakukan sentralisme hukum dan melakukan penyeragaman desa, yang paralel dengan kebijakan sentralisme sistem penyelesaian sengketa berbasis peradilan formal. Kebijakan hukum yang menekan ini secara pasti dan perlahan mengurangi kemampuan nagari dalam penyelesaian konflik. Jiwa penyelesaian konflik adat adalah mengutamakan konsensus dan pemulihan ketimbang kalah-menang, namun saat ini jiwa tersebut dirasa semakin berkurang.

Sifat fleksibel dan kultural dalam jiwa peradilan adat nagari sebenarnya modal sosial dalam penyelesaian konflik di masa depan. Peradilan adat pada masa lalu telah terbukti mempertahankan tertib sosial nagari dengan kebijaksanaan para hakim adatnya dalam penyelesaian sengketa adat. Revitaliasi peradilan adat perlu dipikirkan kembali untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan hukum masyarakat adat saat ini.

Peradilan Adat : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Berbasis Adat

Mekanisme penyelesaian sengketa adat berlangsung pada tahap atau jenjang yang sesuai dengan susunan masyarakat nagari yang tertuang dalam pepatah “bajanjang naik, batanggo turun” (Qbar, 2002). Pertama. tingkatan kaum oleh kerapatan kaum dan suku oleh kerapatan suku, pada tingkatan ini, pola penyelesaian sengketanya bersifat mediasi atau mendamaikan. Selain itu, pada tingkat kaum yang lebih rendah di bandingkan suku bertaut koordinasi antar tingkatan tersebut dalam penyelesaian suatu sengketa, sehingga apabila dilimpahkannya sengketa pada tingkatan suku, maka kerapatan suku akan lebih mudah memutus sengketa. Kedua, pada tingkatan nagari, penyelesaian sengketa dilakukan apabila telah ada pelimpahan dari panghulu suku sebagai fungsionaris penyelesaian sengketa suku dan mamak kepala waris sebagai fungsionaris penyelesaian sengketa kaum kepada jenjang yang lebih tinggi, yaitu nagari.

Saat ini, penyelesaian sengketa adat terlembaga di Kerapatan Adat Nagari (KAN). Berdasarkan pelimpahan perkara tersebut, KAN membentuk majelis yang lepas kaitannya dengan sengketa tersebut, yaitu; prinsip independensi anggota majelis atau secara adat anggota majelis harus; pertama, “labo jo rugi,” yaitu majelis tidak punya kepentingan ekonomi dengan kasus/sengketa, kedua, “kasiah jo banci,” yaitu majelis tidak punya hubungan emosional dengan sengketa, ketiga, “takuik jo malu,” yaitu majelis bebas dari perasaan takut dan malu, keempat, “sayang jo ragu,” yaitu bebas dari hubungan keluarga dengan pihak yang bersengketa (Rivai Lubis, 2007).

Pola penyelesaian sengketa  pada masing-masing jenjang sosial di nagari mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai, namun bila sengketa tersebut gagal di selesaikan secara damai, maka pada tingkatan tertinggi di nagari, yaitu; majelis penyelesaian sengketa nagari memutus sengketa tersebut. Dahulu penyelesaian sengketa adat di nagari berlaku bagi semua sengketa masyarakat di nagari, baik itu yang sekarang disebut dengan sengketa perdata maupun sengketa pidana. Namun, setelah berlakunya unifikasi penyelesaian sengketa melalui satu jalur saja, yaitu; peradilan formal, melalui UU no.14 tahun 1970, maka semua peradilan adat dan model kelembagaan penyelesaian sengketa berbasis adat tidak diakui, (Abdurrahman, 2007).

Keberadaan Peradilan Adat

Kebijakan hukum tentang peradilan menekan keberadaan peradilan adat ini. Hal tersebut mengakibatkan lembaga penyelesaian sengketa adat kehilangan legitimasi formal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di masyarakat.

Di sisi lain, juga terjadi dinamika perubahan dalam tubuh peradilan formal untuk mengakomodasi keberadaan kelembagaan penyelesaian sengketa berbasis adat ini, yaitu melalui kebijakan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat dalam Surat Edaran Kepala Pengadilan Tinggi Sumatera Barat No.W3.DA.HT.04.02-3633. Kebijakan pada tingkat Pengadilan Tinggi tersebut menghidupkan kembali lembaga penyelesaian sengketa adat untuk kasus-kasus adat berdimensi perdata, yaitu terkait sengketa gelar adat dan perdata adat (sako pusako).

Kebijakan ini memposisikan KAN sebagai semacam “peradilan pendahuluan” yang putusannya tidak bersifat final dan perkara yang dipersengketakan bisa diajukan kembali Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan Negeri mempertimbangkan putusan yang dilahirkan KAN namun tidak mengikat, sehingga, putusan peradilan adat model KAN ini hanya bersifat rekomendasi dan tidak memiliki daya mengikat yang kuat.

Sengketa-sengketa adat tetap berlangsung dalam model kalah-menang mengikuti karakter peradilan formal (Negara), setidaknya terlihat dalam indikator banyaknya kasus sengketa adat yang diperkarakan pada jenjang peradilan lebih tinggi (Banding dan Kasasi). Pada tahun 2003 saja memperlihatkan bahwa 80 persen dari perkara kasasi di tingkat Mahkamah Agung dari Sumatera Barat adalah sengketa tanah adat (Padeks, 2003).

Fakta-fakta tersebut tentunya berdampak pada kualitas keadilan dalam penyelesaian sengketa adat. Selain itu, kondisi ini juga berdampak pada makin berkurangnya kepercayaan masyarakat nagari (masyarakat adat) terhadap hukum adat dan lembaga penyelesaian sengketa adatnya.

Alternatif Penguatan

Keberadaan peradilan adat memiliki tantangan dan juga peluang seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam konteks ini, Penguatan peradilan adat adalah dengan memperbesar peluang kelembagaan dan hukum untuk merevitalisasi hukum adat dan model penyelesaian sengketa berbasis adat, , yaitu sebagai berikut;

Pertama; mendorong kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa berbasis adat dengan memperkuat kualitas hakim adat dan kelembagaannya, Penguataan kualitas hakim adat tersebut bisa dilakukan dengan melahirkan program peningkatan kapasitas dan dampingan dari Pengadilan Negeri setempat, Pemerintah Daerah, organisasi adat dan masyarakat sipil serta akademisi.

Kedua, mendorong Peradilan Negara (Pengadilan Tinggi Sumatera Barat) untuk lebih memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa berbasis adat dengan menjadikan putusan penyelesaian sengketa adat di tingkat KAN sebagai hasil kesepakatan damai (daading). Model ini memungkinkan putusan-putusan peradilan adat (KAN) mempunyai kekuatan hukum yang tetap “Incraht van bewij.”

Ketiga, memperkuat keberadaan status hukum peradilan adat melalui UU Desa dengan pengaturannya lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten tentang Nagari. Peraturan Daerah tentang Nagari tersebut adalah Peraturan Daerah yang mengakomodasi nagari sebagai desa adat sehingga memungkinkan adanya pengakuan peradilan adat di tingkat nagari berdasarkan UU Desa tersebut.

Keempat, pada konteks sengketa batas nagari perlu segera mungkin melaksanakan pemetaan wilayah nagari secara partisipatif dan demokratis sebagai bentuk upaya preventif. Pemetaan wilayah nagari tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota setempat. Selain itu, perlu juga membentuk kelembagaan penyelesaian konflik lintas nagari (supra-nagari) dengan menerapkan prinsip-prinsip adat untuk menyelesaikan sengketa batas nagari yang telah mencuat dengan melibatkan para pihak (multistakeholders).

Kelima, Pengaturan tentang pengakuan peradilan adat, pemetaan batas nagari dan lembaga penyelesaian sengketa batas nagari diatas dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang Nagari. Saat ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sedang menyusun Peraturan Daerah Provinsi tentang Nagari sebagai rujukan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat. Harapannya, Peraturan Daerah yang sedang disusun tersebut memasukkan muatan pengaturan tentang Peradilan adat, pemetaan wilayah nagari dan lembaga penyelesaian sengketa batas nagari tersebut.

 

 

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler